News  

Kapan Hobi Menimbun Barang Menjadi Masalah?

Suara.com – Cangkir teh, toples kosong, kaleng, boneka satwa, kontainer plastik, CD…

Di rumah Edward Brown, Anda dapat menemukan hampir semua barang.

Bertumpuk di atas satu sama lain tanpa logika organisasi yang jelas, barang-barang yang telah terkumpul sepanjang hidupnya telah membuat rumah Brown tempat yang sulit ditinggali.

“Tidak ada ruang lagi bagi orang untuk bergerak kalau mereka berkunjung ke sini,” kata pria berusia 60 tahun dari Blackburn, Inggris utara itu kepada BBC.

Baca Juga:
Gacor! Hokky Caraka Cetak Quattrick di Babak Pertama Timnas Indonesia U-19 vs Brunei Darussalam U-19

Brown menyadari ia punya masalah, tetapi kesulitan mengatasinya. Ia menderita kondisi yang disebut gangguan menimbun (hoarding disorder), masalah kesehatan mental yang menyebabkan penderitanya amat kesulitan melepas barang-barang yang bagi orang lain tidak penting.

Baca juga:

“Kesulitan ini kerap mengakibatkan tempat tinggal berantakan, sehingga susah bergerak di sana,” kata Gregory Chasson, psikolog klinis dan Profesor Madya di Institut Teknologi Illinois, AS kepada BBC.

“Ruangan tidak bisa digunakan sesuai fungsinya: Anda tidak bisa menggunakan dapur untuk memasak atau kamar tidur untuk tidur,” imbuhnya.

Dari surat kabar, majalah, wadah makanan, sepatu, kabel, hingga payung atau tutup botol – barang-barang dalam kondisi bagus atau bahkan cacat karena penggunaan menjadi berharga bagi si penimbun.

Baca Juga:
Tampilkan Karakter Terbaikmu dengan Rangkaian Wewangian Terbaru dari Koleksi Choice

Gangguan menimbun dapat terjadi pada orang dari semua gender, budaya, atau situasi sosio-ekonomi.

Kondisi tersebut dialami 2,5% populasi dunia, dengan persentasi lebih tinggi di antara orang-orang di atas usia 60 tahun dan mereka yang mengidap kelainan jiwa seperti gangguan cemas dan depresi, menurut Asosiasi Psikiater Amerika.

Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Psychiatric Research pada Desember 2021 mengatakan keparahan gejala menimbun “memburuk secara signifikan” selama pandemi Covid-19.

Hubungan emosional

Karakteristik penting lainnya dari gangguan menimbun adalah dorongan kuat untuk mendapatkan dan mempertahankan barang-barang.

“Tidak hanya kekacauan yang bisa kita lihat, tapi juga desakan untuk membeli barang atau mengoleksi barang gratisan atau menjaga barang yang secara pasif datang ke dalam hidup Anda,” ujar Christiana Bratiotis, Profesor Madya di Universitas British Columbia, di Kanada, yang berspesialisasi dalam studi tentang perilaku menimbun.

“Orang-orang ingin mempertahankan barang-barang karena keyakinan yang mereka pegang terkait barang-barang tersebut, dan karena hubungan emosional yang kuat dengan mereka.”

Bratiotis mengatakan beberapa pasiennya mengatakan hal-hal seperti, “koleksi barang-barang ini penting bagi saya dan adik perempuan saya. Bila saya melepasnya, rasanya seperti memutus semua ikatan dengan adik saya.”

“Itu merepresentasikan bagian identitas mereka,” imbih Bratiotis.

Para penimbun juga percaya bahwa suatu hari nanti mereka mungkin akan membutuhkan barang-barang yang mereka timbun.

Bahaya menimbun

Menimbun dapat menyebabkan banyak bahaya kesehatan – dan mereka lebih serius dari kelihatannya, mulai dari bahaya fisik.

“Menimbun secara kompulsif dapat berbuntut pada berbagai macam bahaya: kebakaran, jatuh, luka, dan risiko infestasi yang meningkatkan kemungkinan berkembangnya penyakit seperti asma,” kata Gregory Chasson.

Dalam hal kesehatan mental, ini dapat menyebabkan penderita menjadi terisolasi secara sosial.

“Mereka menyimpan kondisi rahasia yang distigmatisasi oleh masyarakat, yang menafsirkannya sebagai persoalan kemalasan, amoralitas, atau standar pribadi yang rendah, dan tidak memahaminya sebagai persoalan kesehatan mental,” Bratiotis berpendapat.

Kapan dorongan menimbun bisa dianggap sebagai kelainan?

Banyak dari kita dapat memahami keinginan untuk menyimpan barang-barang karena berbagai alasan. Faktanya, dari sudut pandang evolusi, manusia pada dasarnya adalah pemburu-peramu dan cenderung mengumpulkan dan menyimpan benda-benda dalam hidup kita.

Tapi itu tidak serta merta membuat kita menjadi penimbun kompulsif.

Bratiotis menjelaskan penting untuk dipahami bahwa penimbunan adalah suatu perilaku dan, karena itu, “terjadi pada kontinum, mulai dari ringan hingga berat”.

Tetapi bagaimana kita membedakan seorang penimbun dengan seseorang yang memiliki “jiwa kolektor”?

“Kadang-kadang batasannya tidak begitu jelas,” kata Chasson.

“Namun suatu perilaku menjadi masalah dan sesuatu yang dapat didiagnosis ketika menyebabkan gangguan atau kesusahan bagi individu atau orang-orang di sekitar mereka.”

Ini juga berlaku untuk situasi ketika aktivitas sehari-hari di dalam rumah menjadi tidak mungkin karena kondisi berantakan akibat akumulasi barang-barang.

Ketika berpikir tentang menimbun, Anda mungkin membayangkan sebuah rumah yang dipenuhi dengan tumpukan benda-benda yang hampir tidak menyisakan ruang bagi pemiliknya untuk berjalan.

Itu adalah kasus yang paling ekstrem, dan yang – karena alasan jelas – menjadi topik berita utama dan program televisi.

Untuk ide yang lebih akurat, Anda dapat merujuk ke foto di bawah ini. Ini adalah salah satu tolok ukur yang digunakan untuk menilai apakah penimbunan telah menjadi masalah kesehatan jiwa.

Ini adalah bagian dari serangkaian kolase yang menunjukkan sembilan foto ruang tamu, sembilan foto dapur, dan sembilan foto kamar tidur, diurutkan dari 1 hingga 9 berdasarkan jumlah objek yang terakumulasi (1 tidak berantakan, 9 paling parah). Level di atas 3 dapat mengindikasikan penimbun kompulsif.

Foto-foto itu berasal dari sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Psychopathology and Behavioural Assessment pada tahun 2008.

Akar perilaku menimbun

Bagaimanapun, akumulasi barang-barang hanyalah manifestasi dari masalah, ibarat gunung es.

“Di bawah barang-barang yang berserakan, baik secara metaforis maupun harfiah, adalah bagian dari masalah ini yang kurang terlihat, namun merupakan pendorong yang sangat penting untuk pengembangan perilaku ini,” jelas Bratiotis.

Ada ciri-ciri kepribadian tertentu – kesulitan dalam membuat keputusan, perfeksionisme, dan penundaan – yang bila digabung dapat memengaruhi seseorang untuk mengembangkan gangguan menimbun.

“Kita tahu bahwa orang-orang seperti ini lebih lambat dalam membuat keputusan dan mempertanyakan keputusan mereka segera setelah membuatnya,” ia menjelaskan.

Tetapi penyebab gangguan ini tidak hanya satu.

“Tidak cuma biologi evolusi, tidak cuma genetik, atau neurobiologi, tapi semua itu berperan,” kata sang peneliti.

“Kita tahu bahwa otak seorang penimbun kompulsif bekerja dengan cara yang berbeda,” imbuh Bratiotis, menerangkan bahwa perbedaan ini diamati dalam hasil CT scan orang-orang yang diminta melakukan tugas yang meliputi melepaskan dan membuang barang-barang.

“Kami paham bahwa kombinasi penyebab-penyebab ini dengan beberapa pengalaman hidup – khususnya pengalaman seputar kehilangan – adalah hal yang mendorong masalah ini.”

Meskipun baru jelas terlihat pada usia paruh baya, gangguan menimbun mulai berkembang pada usia kanak-kanak atau remaja.

“Penelitian menunjukkan bahwa dalam lebih dari 50% kasus masalahnya muncul di antara usia 11 dan 20,” kata Bratiotis.

“Ia dapat muncul dalam bentuk-bentuk seperti menyimpan benda-benda yang oleh orang lain dianggap sampah, tetapi di atas itu semua proses berpikir dan keyakinan seputar itu,” imbuh Gregory Chasson.

Alasan perilaku menimbun baru menjadi jelas belakangan dalam hidup, kata sang psikolog, adalah karena ketika anak-anak ada orang yang berberes-beres untuk mereka dan mereka tidak benar-benar mampu mengoleksi dan menyimpan barang-barang sampai mereka tumbuh dewasa.

Perawatan

Sampai saat ini, belum ada obat untuk sindrom penimbunan. Tetapi perawatan yang paling menjanjikan adalah Cognitive-Behavioural Therapy (CBT).

Tujuan CBT dalam arti luas adalah mengubah cara seseorang berpikir untuk mengubah perilaku mereka dan memperbaiki perasaan mereka.

“Hasilnya menengah. Memang ada gunanya, tetapi tidak sepenuhnya berhasil,” kata Bratiotis.

CBT bertujuan melakukan “intervensi untuk mengurangi keparahan dan dampak konsekuensi menimbun, dan meningkatkan kualitas hidup orang yang menderita karena gangguan itu,” Chasson menjelaskan.

“Dan ada sumber daya lain misalnya kelompok-kelompok self-help dengan fasilitator atau pendekatan yang berbeda-beda,” ia menambahkan.

Begitu pula, keluarga dan orang-orang terkasih dapat membantu dengan berbagai cara.

Pertama, Bratiotis menjelaskan, mereka harus mendekati masalah “dengan empati dan kehangatan, alih-alih mengambil posisi menyalahkan”.

Ia memberi contoh: “Anda bisa bilang ‘saya khawatir kamu tinggal di rumah ini, karena saya tahu kamu sedang ada masalah dan kamu tidak bisa menggunakan lorong ini karena terhalang barang-barang, dan saya tidak mau kamu jatuh.'”

“Itu sangat berbeda dari mengatakan ‘Kamu harus membereskan lorong ini, karena kamu akan jatuh.”

Juga tak kalah penting untuk memahami bahwa betapapun baiknya maksud mereka, teman-teman dan keluarga tidak selalu menjadi orang-orang terbaik untuk membantu, para peneliti menambahkan.

Meski begitu, orang-orang ini dapat menawarkan bantuan kepada si penimbun untuk mencari intervensi dari luar.

Sementara itu, Edward Brown, si penimbun di Blackburn, sedang berusaha memperbaiki situasinya dan telah membantu membentuk kelompok dukungan di kotanya untuk membantu orang-orang lain dengan kondisi serupa.

“Saya sangat bersemangat mendukung sesama penimbun dan menyaksikan bagaimana mereka memperbaiki kehidupan mereka,” ujarnya.


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!