Suara.com – Pada tahun 1997 Hong Kong diserahkan kembali ke China dari Inggris, momen yang menjadi awal dimulainya sebuah eksperimen politik besar.
Banyak yang cemas tentang nasib bekas koloni Inggris yang kapitalis dan bebas itu di bawah pemerintahan Komunis Tiongkok.
Jadi Beijing berjanji kebebasan sipil di Hong Kong – yang tidak dimiliki warga di China daratan – akan dipertahankan setidaknya selama 50 tahun di bawah pengaturan baru yang disebut “satu negara, dua sistem”.
Sekarang, setelah 25 tahun yang penuh gejolak, percobaan itu sudah mencapai titik tengahnya.
Baca Juga:
Topan Chaba Hantam China hingga Hong Kong, Sebanyak 400 Penerbangan dari Kota Haikou Dibatalkan
Apa yang akan terjadi dalam 25 tahun ke depan?
Perubahan politik
Salah satu pertanyaan besarnya ialah berapa banyak otonomi politik dan kebebasan yang akan masih dimiliki Hong Kong.
Sebelum penyerahan, banyak yang berharap China pada akhirnya akan menjadi lebih liberal dan, pada waktunya, mengizinkan demokrasi penuh untuk Hong Kong.
Baca juga:
Ini adalah janji yang diabadikan di dalam Hukum Dasar kota itu, konstitusi mini yang muncul dari kesepakatan antara Inggris dan China.
Baca Juga:
Influencer Asal Hong Kong Dikabarkan Meregang Nyawa di Tangan Mantan
Hukum tersebut menetapkan reformasi pemilu progresif sehingga kepala eksekutif dan semua anggota badan pembuat undang-undang pada akhirnya akan dipilih melalui pemilihan umum.
Namun beberapa pengamat berpikir Beijing telah menghancurkan janji ini dalam beberapa tahun terakhir dengan undang-undang keamanan nasional yang restriktif dan reformasi elektoral yang hanya mengizinkan “patriot” untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin Hong Kong.
Undang-undang tersebut disahkan pada 2020, menyusul aksi protes pro-demokrasi besar-besaran pada 2019, yang diwarnai bentrokan antara demonstran dan polisi.
Sekarang, kata para pengamat, harapan untuk sistem politik yang lebih demokratis telah menipis; dan mereka khawatir karakter Hong Kong telah berubah secara fundamental, di bawah kendali penuh Beijing.
“Kebanyakan warga Hong Kong berpikir bahwa ‘satu negara, dua sistem’ sudah hilang,” kata Ted Hui, mantan anggota parlemen pro-demokrasi yang telah meninggalkan kota itu.
Pemerintah mengatakan undang-undang kemanan nasional hanya berdampak pada segelintir orang, namun Hui mengatakan itu membungkam masyarakat sipil Hong Kong yang dahulu penuh semangat.
Setelah UU itu berlaku, puluhan kelompok, termasuk partai politik dan serikat, telah bubar. Peringatan pembantaian di Lapangan Tiananmen tahun 1989 dan pawai peringatan penyerahan Hong Kong dari Inggris setiap tanggal 1 Juli telah secara efektif dilarang oleh pihak berwenang.
Sejumlah outlet media pro-demokrasi, termasuk Apple Daily dan Stand News, telah tutup dalam setahun terakhir.
Kebebasan pers di Hong Kong terjun bebas, padahal dahulu ia pernah menjadi model kebebasan pers di Asia. Reporter Lintas Batas menempatkan Hong Kong di peringkat 148 daftar indeks kebebasan pers dunia, jatuh 80 peringkat dari tahun sebelumnya.
Dan “kota demonstrasi”, dengan riwayat panjang demosntrasi damai, menjadi senyap sejak undang-undang keamanan nasional berlaku.
“Bisa dikatakan aksi protes skala besar, turun ke jalanan akan terjadi lagi di Hong Kong di masa depan,” kata Jeffrey Ngo, peneliti kebijakan dari Hong Kong Democracy Council yang berbasis di Amerika Serikat.
“Mulai 2020, ada orang-orang di Hong Kong yang berada di penjara dan karena itu tidak bisa melakukan apa-apa, atau yang berusaha untuk tidak masuk penjara sehingga mereka menyensor diri mereka sendiri karena alasan itu.”
Pemerintah China mengklaim bahwa perubahan baru-baru ini merupakan “perbaikan” penting pada “satu negara, dua sistem”, yang mereka puji sebagai “kesuksesan yang diakui secara luas” dan dapat berlanjut bahkan setelah 2047.
Dominic Lee, seorang anggota parlemen pro-Beijing, juga berpendapat warga Hong Kong masih menikmati kebebasan sipil.
“Orang-orang dapat mengekspresikan pendapat mereka tentang berbagai isu, selama itu tidak ada kaitannya dengan keamanan nasional,” ujarnya. “Akan ada persidangan lagi, dan pengadilan akan memutuskan apa saja yang menyangkut keamanan nasional.”
Ia juga mengatakan Beijing meloloskan undang-undang keamanan nasional dan mengubah sistem elektoral karena Hong Kong “semakin terpolitisasi” dan itu mencapai “titik kritis” pada 2019 ketika badan legislator kota itu dilumpuhkan oleh kubu pro-demokrasi.
“Kalau Anda tanya saya, baik undang-undang keamanan nasional dan peraturan pemilu adalah akibat perbuatan kubu pro-demokrasi sendiri,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa suara-suara moderat telah “dimarjinalkan”.
Lee percaya bahwa banyak ciri khas Hong Kong tetap ada – dan kemungkinan akan tetap sama setelah 2047.
“Saya tidak bisa bicara mewakili pemerintah pusat, tapi saya pikir tujuan utamanya ialah menjaga kemakmuran Hong Kong.”
Pusat keuangan China atau Internasional?
Pertanyaan lainnya ialah apakah Hong Kong dapat mempertahankan statusnya sebagai pusat keuangan internasional terkemuka.
Pada tahun 1997, kota dengan julukan “mutiara dari Timur” itu adalah kota makmur yang PDB-nya setara dengan hampir seperlima Cina. Sekarang, itu hanya sekitar 2%, dan Hong Kong menghadapi persaingan ketat dari banyak kota lainnya di China, terutama Shanghai.
“Dua puluh lima tahun yang lalu ketika China belum begitu berkembang dibandingkan sekarang, Hong Kong menonjol sebagai kota yang sangat maju dan terhubung secara internasional,” kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia Pasifik dari S&P Global Ratings.
“Banyak kota telah mengejar Hong Kong secara ekonomi.”
Kuijs mengatakan kota itu masih menjadi “pintu gerbang utama masuk dan keluar China” karena memiliki sistem hukum yang diakui secara internasional dan pasar keuangan yang “sangat terbuka untuk seluruh dunia”.
Tetapi ketegangan baru-baru ini dengan Beijing dan strategi nol Covid yang ketat membuat banyak orang bertanya-tanya apakah kota itu kehilangan daya tariknya dengan perusahaan internasional.
Jumlah kantor regional perusahaan internasional di Hong Kong turun hampir 10% dari 2018 hingga 2021. Tetapi jumlah perusahaan China daratan yang membuka kantor di kota itu naik hampir 28%.
“Wajah Hong Kong berkembang dan mungkin menjadi sedikit kurang internasional … dan sedikit lebih berorientasi ke [China] daratan,” kata Mr Kuijs.
Warga Hong Kong atau China?
Tetapi salah satu pertanyaan yang paling mendesak adalah apa artinya menjadi warga Hong Kong.
Diaspora berkembang pesat dengan meningkatnya jumlah warga yang meninggalkan kota itu dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah Hong Kong tidak memantau emigrasi. Tetapi banyak dari mereka yang pergi secara permanen kemungkinan besar pindah ke Inggris, yang menerima lebih dari 123.000 aplikasi untuk visa BNO sejak diberlakukan pada Januari 2021 hingga akhir Maret tahun ini.
Sekitar 70% dari populasi Hong Kong – 5,4 juta – dapat mengajukan permohonan visa, yang memberikan pemegangnya hak untuk tinggal dan bekerja di Inggris.
Ketidakpastian politik telah memicu gelombang imigrasi dari kota itu di masa lalu – seperti ketika Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris ditandatangani pada tahun 1984, atau setelah pembantaian di Lapangan Tiananmen di Beijing pada tahun 1989.
Tapi Ngo yakin kali ini berbeda.
Bagi mereka yang pergi lebih awal, “ancaman politik dapat dibayangkan, tetapi masih ada kemungkinan bahwa keadaan tidak akan terlalu buruk”.
“Saat ini, kemungkinan itu hilang. Kali ini, orang-orang meninggalkan Hong Kong dengan harapan bahwa mereka mungkin tidak akan kembali.”
Ngo mengatakan para diaspora kemungkinan besar akan mempertahankan identitas mereka sebagai Hongkongers, dan para aktivis di antara mereka, mungkin akan melanjutkan perjuangan mereka untuk demokrasi di Hong Kong dan “membangun perlawanan dari luar negeri”.
Tetapi Lee percaya bahwa generasi muda yang tumbuh di Hong Kong akan menjadi lebih patriotik.
“Anak saya suka memberi tahu saya tentang upacara pengibaran bendera dan kadang-kadang menyanyikan lagu kebangsaan [China] secara spontan.”
“Bagi generasi ini, mereka mungkin tidak memiliki perasaan yang sama dengan anak-anak muda yang turun ke jalan pada 2019.”
Beberapa orang, seperti Ngo, khawatir ini akan menghilangkan identitas unik Hong Kong.
“Kekhawatiran terbesar saya adalah bahwa Hong Kong dan China tidak akan lagi berbeda satu sama lain pada tahun 2047,” katanya.
Artikel ini bersumber dari www.suara.com.