Take The Best Shot – SWA.co.id

Ilustrasi pemimpin (Foto istimewa).

Dunia, dari rakyat jelata sampai pemimpin tertingginya, saat ini sedang galau dan bahkan ada yang sudah masuk tahap kacau. Galau karena angka-angka ekonomi sedang diguncang oleh kekuatan yang tidak kasat mata tapi nyata.

Inflasi tak terkendali justru terjadi pada negara yang menerapkan ekonomi transparan dan tak banyak intervensi pemerintah. Bahkan, banyak negara penerap demokrasi ekonomi terbuka yang mengalami rekor inflasi dibandingkan tiga sampai empat dekade sebelumnya.

Belum lagi krisis energi akibat pemanasan global, perubahan iklim, disertai perang dagang akibat perang antara Russia dan Ukraina. Harga minyak dunia melejit tinggi sehingga mengatrol harga yang mendorong inflasi tadi.

Diperparah dengan disrupsi pada rantai pasok, yang membuat harga transportasi melambung tinggi. Kontainer yang menumpuk di Amsterdam, misalnya, membuat kosong alat angkut barang dari Asia.

Ini lebih diperparah lagi dengan banyaknya pemimpin yang tak berani mengambil langkah profesional tapi lebih mementingkan aspek politik. Harga minyak dan komoditas yang tinggi diredam dengan kebijakan tidak naik harga sehingga timbul disparitas yang lebar.

Lalu, siapa yang membiayai gap tersebut ?

Apa lagi kalau bukan pos yang namanya subsidi. Ini adalah kebijakan politik. Yang didasari kepentingan pemilihan sesaat, bukan kepentingan jangka panjang. Akibatnya, rakyat jelata tidak merasakan dampak inflasi tinggi karena harga bahan pokok dikontrol negara.

Pertanyaannya, apakah tindakan tersebut akan langgeng? Lalu, sampai seberapa lama hal itu bisa ditoleransi karena mengorbankan alokasi pos anggaran lainya. Belum lagi ditambah pos yang tak terduga, yaitu anggaran buat corona.

Kondisi ini tentunya membuat pemimpin negara atau pengusaha lokal tidak nyaman. Mau berinvestasi dengan kecepatan tinggi, takut terkena disrupsi kebijakan yang membuat perhitungan bisnis jadi kacau, apalagi kalau intervensi kebijakan semakin ke arah populis.

Mau wait and see, juga takut ketinggalan kereta, alias fear of missing out atau FOMO.

 Lalu, mesti bagaimana?

Nah, ini yang akan membedakan pemimpin kelas rajawali dengan pemimpin kelas ayam. Kelas ayam, selalu mengikuti arah angin, menunggu badai berlalu, menanti waktu teduh dan angin sepoi untuk mulai bergerak lagi. Tidak salah memang, tapi ini akan membuat keadaan semakin tidak menentu dan status quo. Ini sangat tidak kita butuhkan dan kalau bisa kita hindari semangat kelas ayam ini.

Yang kita butuhkan adalah pemimpin kelas rajawali. Dalam keadaan badai dan guncangan, pemimpin ini justru berani melawan arus dan melakukan terobosan yang menciptakan lanskap baru yang menyegarkan.

Lalu, bagaimana caranya agar menjadi pemimpin kelas rajawali?

Pertama, buang sikap “paralysis by analysis”. Terlalu banyak analisis dan pertimbangan dalam berbagai aspek itu tidak baik dalam kondisi ketidakstabilan seperti saat ini. Ini menghambat kecepatan, padahal speed is the name of the game.

 Menurut saya, inilah sumber utama kebingungan para founder startups yang biasa buang uang untuk meraih pelanggan tiba-tiba kehabisan dana baru. Mau berubah takut dianggap berulah. Dengan tiktok analisis yang kompleks, keberanian untuk “take the best shot” pun jadi mandul. Alhasil, proses tidak bisa menipu hasil. Banyak yang kolaps dan megap-megap walaupun sudah punya predikat triliun bahkan unicorn.

Kedua, usir mentalitas “prisoned by past success and experiences”. Mengingat dan meneladani kunci sukses dan pengalaman masa lalu adalah hal yang baik. Namun, kalau sampai hal itu menjadi penjara untuk berubah dalam kondisi yang mengharuskan perubahan justru pada saat titik kulminasi, yang terjadi justru sebaliknya. Mentalitas sukses membuat organisasi terjun bebas di saat yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Kasus Netflix menjadi catatan sejarah. Euforia sukses sehingga saham mencapai titik kulminasi di akhir tahun lalu, beberapa bulan kemudian jatuh tinggal sepertiganya. Ini mengejutkan banyak pemerhati. Namun, fakta tadi menyiratkan satu pesan penting, bahwa sukses itu pesta yang amat pendek.

Ketiga, kedua penyakit itu makin diperparah dengan kelakuan “procrastination”, alias suka menunda dan menunggu sampai badai berlalu.

Pemimpin bergaya rajawali pasti tidak terjangkit penyakit 3P tersebut. Karena, rajawali memang suka terbang tinggi, melawan arus, dan bahkan senang bermain dengan badai.

Ketika organisasi Anda memerlukan terobosan dan transformasi, Anda juga membutuhkan pemimpin kelas rajawali, bukan pemimpin bergaya lama yang melestarikan budaya alon alon asal kelakon, atau santai saja dan ojo kesusu. Kalau ini tidak dilakukan, dan Anda tidak berani take the best shot, ada kemungkinan besar jurang sedang menanti anda.

Bagi karyawan atau anggota organisasi yang merasa organisasinya termasuk pemimpinnya sedang mengidap 3P, segera cari kapal dan nakhoda baru, kalau Anda tidak mau tenggelam atau mati pelan pelan. Killing you softly bukan sesuatu yang patut kita alami. Take your best shot. (*)

Paulus Bambang WS

www.swa.co.id


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

error: Content is protected !!
Exit mobile version