Tak Perlu Revisi, PP 109/2012 Dinilai Seimbang Mengatur Kebijakan Tembakau

Jakarta: Rencana perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai sejumlah pihak tidak ada urgensinya. Sebab, kebijakan ini masih relevan digunakan dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.
 
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Hikmahanto Juwana mengatakan, PP 109/2012 yang ada saat ini sudah baik mengatur secara seimbang antara concern kesehatan, industri hasil tembakau (IHT), perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja, sehingga tidak perlu direvisi.
 
Ia menjelaskan, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik. Apalagi dalam kasus rencana revisi PP 109/2012, ada banyak aspek yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, kelangsungan usaha industri hasil tembakau, hingga penerimaan negara,” kata dia kepada wartawan dilansir di Jakarta, Jumat, 29 Juli 2022.
 
Hikmahanto menegaskan, isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam kebijakan publik tetapi kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan. Menurutnya, PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan, namun merupakan titik temu berbagai kepentingan.
 
“Maka itu, kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif. Selain itu, naskah akademis sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan,” ungkapnya.
 

Ia menambahkan, IHT di Indonesia melibatkan lebih dari enam juta pekerja dan mata rantainya hulu ke hilir. Oleh karena itu, setiap negara berdaulat pasti memiliki pertimbangan terkait kebijakan yang diterapkannya dan tidak semata-mata mengikuti tekanan dari luar, termasuk soal rencana revisi PP 109/2012.
 
“Jika industri ini dimatikan, bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau? Bagaimana juga jika penyelundupan hasil tembakau dari luar negeri dan rokok ilegal jadi menjamur? Belum lagi pemerintah harus mampu mengganti sumber pemasukan negara,” ujar dia.
 
Hikmahanto mensinyalir, LSM dari luar negeri hanya memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan mengadopsi poin-poinnya dalam revisi PP 109/2012 tanpa memberikan solusi nyata akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan pada perekonomian dan masyarakat luas.
 
Untuk itu, ia menegaskan, kedaulatan negara perlu diwujudkan dalam kemandirian pemerintah mengambil kebijakan yang dibutuhkan. Hikmahanto mengingatkan, secara umum hukum internasional melarang suatu negara atau pihak asing lainnya untuk campur tangan urusan negara lain, atau mengintervensi kedaulatan negara lain.
 
“Suara rakyat berhak didengarkan Pemerintah Indonesia, utamanya mereka yang hajat hidupnya bergantung pada IHT. Oleh karenanya tidak ada tempat bagi siapapun di luar Indonesia yang dapat mendikte pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan, termasuk perubahan PP 109/2012,” pungkasnya.
 

(AHL)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!