Siasat Partai Demokrat agar elektabilitas melesat

Menurutnya, para kader mengolah isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat sebagai bahan kritik kepada pemerintah. Isu yang diolah itu kemudian bakal disebar ke banyak saluran media, agar ditangkap publik, terutama pemilih muda yang aktif di media sosial.

“Misalnya, UU Omnibus Law (UU 11/2020 tentang Cipta Kerja). Saat banyak penolakan dari masyarakat, kami menyuarakan penolakan itu,” kata Herzaky.

“Kami memainkan isu populer, agar ditangkap oleh rakyat bahwa kami serius. Strategi ini tidak hanya kami lakukan di parlemen pusat. Tapi di ruang publik dan di parlemen daerah.”

Contoh isu keresahan anak muda yang diolah Demokrat adalah soal jaminan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan. Semisal perihal pencairan jaminan hari tua (JHT) di usia 56 tahun yang sempat ramai beberapa waktu lalu.

“Nah, kita kan keras di sini. Akhirnya pemerintah mengalah, mengembalikan ke kebijakan semua,” ujarnya.

“Kami memahami bahwa bagi anak-anak muda Gen Z, soal pekerjaan menjadi isu penting.”

Segala upaya itu membuat Demokrat “naik kelas”. Dalam survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 26 Mei-4 Juni 2022 dan diikuti 1.200 responden, peringkat elektabilitas Demokrat ada di posisi tiga di bawah PDI-P dan Gerindra. Demokrat berhasil meraih 11,6%, sedangkan PDI-P 22,6% dan Gerindra 12,5%.

“Hasil ini merupakan kerja keras kami selama 1,5 tahun,” ujar Herzaky. “Kalau di tataran pemilih muda, kami peringkat dua.”

Selama 1,5 tahun, jelas Herzaky, Demokrat rutin melakukan kajian terhadap isu-isu strategis yang melibatkan beberapa orang ahli. “Kami menggunakan data driver atau istilahnya evidence-based policy,” ujarnya.

Setiap kebijakan, kata dia, akan diambil berdasarkan data. Misalnya, soal kebijakan isolasi mandiri dan bantuan saat pandemi Covid-19 tahun lalu.

“Kami melihat di sebuah desa di Kalimantan Timur itu tidak terjangkau bantuan sosial berbulan-bulan,” tuturnya.

“Progam pemerintah tidak terjangkau bantuan isolasi mandiri. Padahal mereka memenuhi kriteria. Itu kami jadikan bahan.”

Herzaky mengatakan, strategi kampanye saat ini tak bisa hanya mengandalkan gaya lama, yang cenderung ke lapangan. Namun juga perlu ekspansi di ranah digital untuk menjaring pemilih muda.

Hasil survei Litbang Kompas itu, diakui Herzaky sebagai kabar baik sekaligus mengganggu pikiran. Sebab, hasil itu menjadi pertanda partai lain untuk berlomba merebut suara pemilih muda dari Demokrat. Akan tetapi, ia mengungkapkan, Demokrat tetap berusaha melakukan upaya mempertahankan suara pemilih muda dengan cara transformasi isu kampanye yang relevan.

Demokrat pun rajin melakukan regenerasi di tingkat cabang dan ranting. Kata Herzaky, AHY menghendaki mesin partai dikendalikan kader muda yang potensial.

“Selama konsolidasi 1,5 tahun kami meregenerasi kepengurusan menjadi anak muda sekitar 40%,” kata Herzaky.

Saat ini, kepengurusan Demokrat di pusat dan daerah diisi kader muda dengan rentang usia 20 hingga 40 tahun. “Tidak hanya jumlah, tapi posisinya juga strategis. Ada di ketua DPD, sekretarisnya, atau kepala badan,” ujarnya.

Meski begitu, Herzaky mengakui bukan perkara mudah meningkatkan elektabilitas Demokrat. Apalagi partainya sempat mengalami gejolak karena nyaris “dibajak” Moeldoko.

“Tapi kami memilih jalan untuk melawan dan berhadap-hadapan dengan kubu Moeldoko, beradu fakta dan data,” kata Herzaky.

PR Demokrat

Sementara itu, peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa melihat, meningkatnya elektabilitas Demokrat yang cukup tinggi terkait erat dengan pemberitaan partai itu yang kerap menampilkan diri berseberangan dengan penguasa. Ardian menilai, isu-isu yang dikelola Demokrat cenderung diterima masyarakat.

“Selain itu, Demokrat berhasil membuat image partai anak muda. Pucuk pimpinannya, AHY ini salah satu yang muda di antara para ketum (partai) yang lain,” ujar Ardian, Selasa (5/7).

“Sehingga ada efek juga secara psikologis, anak-anak muda melihat AHY sebagai representasi dari mereka.”

Ardian menjelaskan, strategi AHY menempatkan kader muda di beberapa lumbung suara turut mengerek elektabilitas partai dari pemilih muda. Ia mencontohkan, Ketua DPD Demokrat Jawa Timur yang dijabat Emil Elestianto Dardak. Emil juga menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur.

“Kesan partai muda itu muncul. Tidak mengherankan ketika di pemilih muda, suara Demokrat naik,” kata Ardian.

Menurut Ardian, kesuksesan Demokrat bertengger di posisi tiga besar dalam survei Litbang Kompas merupakan sinyal pemilih muda mulai dilirik partai politik untuk bisa meraih suara signifikan pada Pemilu 2024.

“Secara populasi (pemilih muda) memang hampir 50% dari total populasi. Itu angka yang lumayan besar,” ucap dia.

Walau begitu, Ardian mengingatkan Demokrat tak berpuas diri dengan hasil survei Litbang Kompas. Karena menurut dia, karakter pemilih muda sangat mudah beralih pilihan.

“Pemilih muda itu melek informasi. Jarang anak muda ini yang sangat militan,” tuturnya.

“Kalau misalnya Demokrat bisa mempertahankan image-nya, tentu (pemilih) anak muda enggak ke mana-mana.”

Dihubungi terpisah, pakar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad menilai raihan ciamik di survei Litbang Kompas tak lepas dari posisi Demokrat yang berada di luar kekuasaan alias oposisi. Sehingga berpeluang mendapat atensi publik.

“Demokrat cukup aktif selama berapa bulan terakhir dalam merespons suatu hal dan menghadirkan perspektif berbeda dari partai yang berkuasa di pemerintahan,” kata Nyarwi, Kamis (7/7).

Di samping itu, AHY yang belakangan melakukan konsolidasi ke beberapa pimpinan partai juga membuat figurnya mendapat sorotan. “Meskipun belum secara riil menunjukkan dia (AHY) menjadi episentrum dari koalisi, tapi saya lihat exposure terhadap Demokrat cukup lumayan,” katanya.

Kendati belum menjadi calon kuat bursa capres, namun Nyarwi memandang AHY cukup taktis membangun citra partainya lewat berbagai saluran media. AHY pun cukup kuat menjangkau pemilih muda.

Namun, Nyarwi mengingatkan, dalam konteks pemilihan anggota legislatif (pileg) bukan figur partai yang menjadi penentu mendulang suara, melainkan para calon anggota legislatif (caleg) yang bertarung di masing-masing daerah.

“Demokrat punya tantangan sendiri untuk merekrut atau menempatkan caleg-caleg yang potensial demi memenangkan pertarungan di dapil (daerah pemilihan) yang ditargetkan,” ucap dia.

Di sisi lain, Nyarwi memandang, bermain di media sosial tak cukup untuk mengambil hati pemilih muda, tanpa menyelipkan isu-isu ekonomi. Sebab, katanya, saat ini banyak pemilih muda yang resah karena ketidakpastian ekonomi global.

“Saya kira Demokrat juga dituntut berinovasi dengan solusi-solusi yang bisa memberikan harapan, atau paling tidak bisa meyakinkan pemilih muda tadi, Gen Z, dan Milineal,” tuturnya.

“Bahwa Demokrat bisa menjadi partai yang mereka harapkan untuk mengawal kebijakan atau melahirkan produk-produk regulasi, yang bisa memberikan harapan mereka.”

Walau Demokrat punya pengalaman di pemerintahan, Nyarwi merasa, kondisi kini tak bisa diselesaikan dengan cara-cara lama. “Tentu butuh inovasi, dengan situasi global yang penuh ketidakpastian,” kata Nyarwi.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

error: Content is protected !!
Exit mobile version