Pemaksaan gunakan jilbab di sekolah timbulkan trauma psikis

Pemaksaan pemakaian jilbab kembali terjadi kepada siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Lembaga Imparsial menilai, pemaksaan penggunaan jilbab di satuan-satuan pendidikan yang dikelola pemerintah merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin oleh undang-undang.

“Satuan pendidikan seharusnya menghormati keragaman agama atau keyakinan peserta didik. Sebaliknya, sekolah harus mempromosikan kesadaran untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman agama atau keyakinan, serta mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menghilangkan kebijakan dan praktik diskriminatif,” demikian keterangan tertulis Imparsial, dikutip Kamis (11/8).

Kejadian bermula dari tiga guru SMAN 1 Banguntapan, yang diduga melakukan pemaksaan terhadap salah satu siswi untuk mengenakan jilbab.

Dugaan pelanggaran tersebut ditegaskan oleh Kemendikbudristek, yang kemudian melakukan investigasi dan berkoordinasi dengan Ombudsman DIY. Dari penelusuran tersebut, ditemukan adanya unsur pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi SMAN 1 Banguntapan.

Menurut Imparsial, tindakan pemaksaan tersebut tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial korban, tetapi juga menimbulkan trauma secara psikis. Padahal, persoalan seragam sekolah telah diatur dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Selain itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Klausul tersebut menyatakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri harus mengedepankan prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

“Aturan ini seharusnya menjadi acuan oleh satuan-satuan pendidikan dalam menyusun peraturan tentang seragam sekolah, sehingga menjamin hal-hal prinsipil, seperti hak untuk beragama dan mendapat pendidikan. Persoalan mengenai penggunaan simbol dan atribut keagamaan merupakan bagian dari hak beragama atau berkeyakinan, di mana negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhinya,” tulis Imparsial.

Imparsial mengapresiasi respons dan tindakan tegas Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru yang terlibat dalam kasus tersebut. Namun, Imparsial menilai, proses pengusutan lebih lanjut perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan menerapkan prinsip non-diskriminasi dan keberpihakan kepada korban. 


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!