Mubarokfood Makin Berjaya di Tangan Generasi Ketiga

Gerai Mubarokfood (foto: Gigin W Utomo)

Ada pameo tentang bisnis keluarga yang mengatakan bahwa generasi pertama membangun generasi kedua menikmati dan generasi ketiga menghancurkan. Tapi pameo tersebut tidak berlaku untuk PT.Mubarokfood Cipta Delifia.  

Muhammad Hilmy, yang kini memegang manajemen perusahaan yang memproduksi makanan khas daerah ini, berhasil menggugurkan pameo tersebut. Bahkan di tangan pria yang akrab disapa Hilmy ini,  perusahaan makanan tradisional yang berpusat di kota Kudus, Jawa Tengah ini makin berjaya dengan  lompatan pertumbuhan yang luar biasa.  “Alhamdulillah perusahaan ini makin eksis,” kata Muhammad Hilmy.

Mubarokfood merupakan  produsen makanan khas jenang  dodol terbesar di Jawa Tengah. Usaha ini  sudah berusia  seabad lebih, tepatnya 122 tahun. Usia yang tak lagi bisa dibilang muda. Perusahaan ini dirintis oleh Hajah Alawiyah sejak 1910 silam.

Awalnya Hajah Alawiyah merintis usaha tersebut hanya suka membuat jenang dodol, hanya untuk kebutuhan camilan keluarga dan kadang  berbagi untuk tetangga. Karena banyak yang suka, perempuan tersebut mencoba untuk memproduksinya secara rutin.

Hajah Alawiyah mencoba menjual  jenang dodolnya di Pasar Bubar yang lokasinya berdekatan dengan komplek Masjid Al Aqso yang merupakan peninggalan Sunan Kudus. Ternyata produknya laris manis. Karena itulah, ia memproduksi secara rutin dan menjadikan jenang dodol sebagai sumber penghasilan.

Semangat Hajah Alawiyah mengembangkan usaha jenang dodol makin berkobar tatkala mendapat dukungan penuh dari sang suami. Haji Mabruri, sang suami yang sebelumnya menekuni usaha pande besi, mengihklaskan diri untuk menutup usahanya dan memilih menemani istrinya menggeluti produksi camilan khas daerah tersebut.

Selama berpuluh tahun, suami-istri tersebut setiap hari berpeluh keringat untuk mengolah tepung beras dan gula kelapa menjadi produk camilan yang legit. Saat itu masih dikelola secara home industry, belum terpikir badan usaha untuk menjalankan roda bisnisnya. Mereka dibantu tenaga kerja dari tetangga dan sanak famili dekat.

Kala itu, jenang dodol made in Hajah Alawiyah hanya dijual dalam timbangan. Dodol yang sudah jadi ditempatkan dalam wadah tampah, lalu dipotong menjadi irisan dan ditimbang sesuai permintaan pembeli.  Situasi dan kondisi memang belum memungkinkan mereka berpikir untuk membuat kemasan khusus.

Tahun 1936, untuk pertama kalinya mereka mulai memperkenal merk ‘HMR” yang berarti Haji Mabruri. Pembuatan merek ini sebagai bentuk promosi karena saat itu, mulailah bermunculan produsen jenang dodol mengikuti jejak mereka.

Sepeninggal H. Mabruri  tahun 1940-an, usaha jenang dodol dilanjutkan oleh putranya yang bernama H. Achmad Shochib. Di tangan generasi kedua ini mulai muncul beberapa ide kreatif dan  inovasi yang membawa kemajuan usaha secara signifikan. Hal ini seiring dengan kesadaran akan pentingnya penggunaan merek dagang yang mulai tumbuh.  Mereka memperkenalkan nama usaha Perusahaan Jenang Sinar Tiga Tiga (PJ Sinar Tiga Tiga).

Sebagai catatan penting, memasuki fase generasi kedua mulai muncul kesadaran untuk melindungi merek dagang. Ini pemikiran yang bisa dibilang sangat visioner. Ketika masa penjajahan masih berlangsung di negeri, merupakan hal yang langka ada pengusaha mengajukan hak paten, dan itu dilakukan H. Achmad Shochib.

Tahun 1942 merupakan catatan penting dalam sejarah perusahaan jenang ini. Pada tahun ini, H. Achamd Shochib mengajukan merek Sinar Tiga Tiga dan dikabulkan oleh Dirjen Merk dan Paten Departemen Kehakiman dengan dikeluarkannya surat izin nomor : 188.4/1651/1946 tertanggal 9 September 1946, sampai sekarang ini terus dilakukan perpanjangan, untuk saat ini merek Sinar Tiga Tiga masih terdaftar di Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek dengan nomor: D98-11702-424554.

Pasca kemerdekaan, di Kudus mulai bermunculan pengusaha jenang lain. Namun demikian, pamor jenang Sinar Tiga Tiga tetap moncer dan menjadi pilihan penggemar makanan tradisional tersebut.

Menghadapi persaingan bisnis yang mulai terasa, H. Achmad Shochib memunculkan jurus untuk meluncurkan merek lain di pasaran. Tahun 1975, ia meluncurkan tiga merek baru yakni Mubarok, Mabrur, dan Viva.

Muhammad Hilmy, Generasi Ke-3 Mubarokfood (Foto: Gigin W Utomo)

Ternyata ketiga merek baru tersebut mendapatkan respon positif di pasar. Hal ini terlihat dari peningkatan penjualan. Di sisi  lain, mulai muncul pengusaha yang nakal yang menghalalkan cara yang tidak etis. Ini terlihat dengan munculnya pembajakan atas merek yang dimiliki H. Achmad Shocib. “Banyak yang meniru merek kami khususnya yang Mubarok,” ungkap Hilmy.

Pada tahun 1992, H. Achmad Shochib yang telah lanjut usia memberikan kepercayaan kepada salah satu putranya, Muhammad Hilmy, untuk memegang kendali perusahaan. Di tangan generasi ketiga inilah, bisnis keluarga ini  mulai dikelola dengan manajemen modern.

Hilmy melakukan tranformasi total terhadap usaha yang dirintis oleh dari neneknya itu. Perusahaan mulai ditata dengan manajemen yang lebih baik.  Agar perusahaan gesit dalam melangkah, ia mendirikan badan usaha CV. Mubarokfood Cipta Delifia. Dalam perkembangannya, badan hukum perusahaan diubah menjadi perseroan terbatas. “Dulu tidak ada nama usaha yang jelas, yang penting asal jalan,” ungkap alumni `Fakultas Ekonomi UII (Universitas Islam Indonesia) ini.

Singkat cerita, Hilmy mulai menata perusahaan dengan manajemen yang diyakini bisa membawa lompatan besar. Ia mulai mengenalkan nilai-nilai dan misi visi perusahaan. Semua lini dari produksi, ditribusi marketing dijalankan dengan standard operation precedure (SOP) yang jelas.

Hilmy juga mulai menerapkan standar manajemen mutu dengan melibatkan lembaga yang kompeten dan kredibel. Sebagai buktinya perusahaan telah meraih serfitikat ISO, label halal dari LPPOM MUI dan sertifikat keamanan pangan dari Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). “Untuk melindungi merek kami juga sudah punya hak paten” tutur lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor ini.

Pada tahap awal memegang kendali perusahaan, salah satu yang menjadi perhatian Hilmy adalah masalah yang terkait dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Karyawan yang bergabung di Mubarokfood harus memenuhi kriteria kreatif, inovatif, profesional dan amanah. “Kami ingin menciptakan manajemen yang yang profesional dan bersih, karena itulah amanah menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi,“ dia mengungkapkan.

Untuk mendukung kinerja perusahaan yang lebih baik, Hilmy menggelontorkan dana untuk melakukan modernisasi peralatan produksi. Proses mekanisasi dijalankan untuk mengurangi ketergantungan tenaga manusia, seperti dalam proses pembuatan tepung dan santan.

Demi menjamin kualitas produk, perusahaan juga membuka unit kerja baru, yakni divisi R & D (research and development) yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium fisika dan kimia. Keberadaan R & D ini dirasakan sangat penting untuk mendukung jaminan keamanan produk yang dihasilkan Mubarokfood.

Dengan tranformasi yang dijalankan, Mubarokfood menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Dengan berbagai strategi pemasaran yang dijalankan, perusahaan ini tidak lagi hanya menguasai pasar lokal, tapi sudah menembus pasar internasional.

Melalui kerjasama dengan beberapa maskapai penerbangan, produk jenang dodol Mubarokfood sudah melanglang buana di berbagai benua. Awalnya produk Mubarokfood digunakan menjadi snack bagi calon jamaah haji di Jawa Tengah. Dari sini berkembang menjadi snack bagi penumpang pesawat Garuda. “Dari sini mulai ada permintaan untuk ekspor,” papar Hilmy.

Museum Gus Jigang

Inovasi tiada henti. Inilah yang terus dilakukan Hilmy semenjak dipercaya memegang kendali bisnis keluarga.  Setelah manajemen baru berjalan sesuai rencana, ia tak lupa mempercantik tampilan outlet Toko Oleh-oleh Mubarok yang berada di Jl. Muria No 33, Kudus.

Satu hal yang menarik, Pusat Oleh-oleh Mubarok tidak lagi hanya hanya menjual produk makanan khas daerah dan sovenir, tapi telah berkembang menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik. Sejak tahun 2017 di lokasi yang sama telah didirikan museum jenang Gus Jigang.

Menurut Hilmy, pembangunan Museum Gus Jigang merupakan bagian dari upaya untuk mengaktualisakan kembali nilai ajaran yang diwariskan Sunan Kudus. Salah satu Sunan dari Walisongo ini mengajarkan keselarasan antara kehidupan dunia dan akhirat. Selain pintar ngaji, para santri juga harus menguasai ilmu dagang. Gus Jigang merupakan akronim dari Gus yang berarti bagus, Ji berarti ngaji dan Gang artinya berdagang.

Sayangnya nilai-nilai yang diajarkan Sunan Kudus tersebut kini mulai tergusur kemajuan zaman. Untuk memberikan pemahaman dan menumbuhkan kembali akan pentingnya ajaran Gusjigang kepada generasi saat ini, Muhammad Hilmy mendirikan Museum Jenang Gus Jigang sebagai tempat belajar, memaknai, menjiwai, meresapi, memahami serta menerapkan nilai-nilai ajaran Sunan Kudus. “Ajaran ini kami terapkan di Mubarokfood,” Hilmy menegaskan.

Dari informasi yang disampaikan Meilani, PR Mubarokfood, Museum Gus Jigang sejak dibangun lima tahun silam telah menjadi destinasi wisata yang menarik bagi pelancong. Pada hari biasa pengunjung rata-rata mencapai 200 orang yang datang dari berbagai daerah. Tapi pada museum liburan mencapai 600 pengunjung. “Untuk masuk ke museum, pengunjung hanya dikenakan tiket Rp 10 ribu per orang.” kata Meilani kepada SWA`

Berapa tokoh menyambut positif pendirian museum tersebut. Seperti yang disampaikan Ketua PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Muhaimin Iskandar dan kiai Kondang Anwar Zahid. Mereka mendukung pendirian museum tersebut karena sangat relevan menjadi media dakwah, untuk kembali menyebar luaskan ajaran Sunan Kudus.


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

error: Content is protected !!
Exit mobile version