Jalan panjang membangun rumah susun 

“Daerah yang padat penduduknya bisa ditemukan di kota bagian dalam, seperti Sawah Besar yang pada 1957 ditinggali 300 penduduk per hektare,” tulis Susan.

Banyaknya musibah kebakaran di permukiman padat mendorong pemerintah Kotapraja Jakarta membangun kembali rusun atau flat di bekas lokasi kebakaran. Kebakaran di Krekot Bunder, Jakarta Pusat adalah salah satu yang terbesar. Terjadi pada 1952, musibah itu memusnahkan 600 rumah dan menyebabkan sekitar 10.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Dua tahun terkatung-katung di pengungsian, isu kebakaran Krekot Bunder jadi bahan diskusi di sidang Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS)—sebelum jadi DPRD DKI Jakarta—pada 1955. Menurut Sudiro dalam Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966 (1977) karena sangat banyaknya korban kebakaran diputuskan membangun rumah bertingkat di lokasi itu.

Rencana itu ditolak anggota DPKS. “Kalau penghuni yang di atas kencing, penghuni yang di bawah bisa basah,” kata seorang anggota DPKS. Berkelakar, Sudiro menjawab. “Kalau orang bermaksud mengencingi orang lain, tidak perlu dari atas. Dari samping atau belakang pasti juga basah,” ujar Sudiro dalam Karya Jaya.

“Inilah satu-satunya peristiwa Pemerintah Kotapraja (Jakarta) yang berencana membangun akomodasi bertingkat untuk wilayah penduduk padat, ditentang oleh DPKS,” tulis Susan.

Ide rumah susun tercetus kembali di masa Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sostroatmodjo (menjabat 1960-1964 dan 1965-1966). Demi cita-cita itu, kata Soemarno dalam Karya Jaya, pemerintah harus menguasai sebanyak-banyaknya tanah untuk mencegah spekulasi harga.

Lantas, Pulo Mas disiapkan untuk mewujudkannya. Bahan bangunan yang cocok dengan kondisi tanah di Jakarta juga diperhatikan. Pemda Jakarta bekerja sama dengan pemerintah Polandia untuk memproduksi bahan bangunan yang ringan.

“Sayang sekali karena adanya perubahan-perubahan di tanah air, usaha di Pulo Mas tidak dapat dilanjutkan, seperti yang dicita-citakan Yayasan Perumahan Pulo Mas yang didirikan pada 1963,” kata Soemarno.

Swasta justru bergerak cepat membangun rumah bertingkat bagi kalangan menengah ke atas. Misalnya, rusun Arjuna Plaza di bunderan Slipi, Jakarta Barat dibuka pada 1974.

Dicuplik dari Tempo edisi 5 Februari 1981, rusun ini dibangun PT Bangun Cipta Sarana. Bertingkat 12 dan punya 36 unit, masing-masing berukuran 120 meter persegi. Rusun sewa (rusunawa) ini diisi mayoritas orang asing, dengan harga unit kelas sedang 850 dolar AS per bulan dan unit luks 1.100 dolar AS per bulan.

Di kompleks perumahan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) Pasar Jumat, Jakarta Selatan pada Oktober 1975 mulai dibangun rusun tingkat empat, terdiri dari dua bangunan. Rusun ini menggunakan sistem beton pracetak, kerja sama dengan Building Research Establishment (BRE) dari Inggris.

“Pembangunan flat tersebut merupakan pembangunan contoh perumahan kota dan pilot proyek yang dilaksanakan Direktorat Perumahan Departemen PUTL,” tulis Kompas, 29 Agustus 1975.

Pemerintah pusat pun bergerak. Presiden Soeharto menyadari perumahan bagi rakyat masalah krusial. Maka, pada 1974 dibentuk Perum Perumnas di bawah naungan Departemen Pekerjaan Umum (PU). Cosmas Batubara ditunjuk sebagai Menteri Urusan Perumahan Rakyat.

“Dalam kesulitan mendapatkan serta menghemat tanah karena juga memperhitungkan tempat untuk bertani, pembangunan industri, serta pemeliharaan lingkungan, maka kita tetapkan bentuk yang tepat untuk wilayah perkotaan adalah rumah susun,” ujar Soeharto dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).

Dalam wawancaranya dengan Prisma, Cosmas mengemukakan beberapa alasan rusun jadi pilihan hunian perkotaan.

“Dari waktu ke waktu kita menghadapi sukarnya mencari tanah di kota. Dengan rumah susun, kita bisa menghemat tanah dan para penghuni akan lebih mudah bepergian ke mana-mana,” katanya dalam Prisma Nomor 5, Mei 1986.

Selain itu, kata Cosmas, rusun pun dapat dimanfaatkan untuk berdagang. Mengubah fungsinya menjadi rumah toko.

Masalah-masalah

Paulus Widiyanto dalam laporan khusus Prisma Nomor 5, Mei 1986 bertajuk “Tempat Tinggal untuk yang Tak Punya Rumah” menyebut, selama Pelita III (1979-1984) Perumnas membangun 81.323 unit rumah yang tersebar di 66 lokasi dalam 45 kota di seluruh Indonesia.

“Sebagian besar (61, 81%) rumah yang dibangun berwujud rumah inti atau rumah tumbh tipe kecil, selebihnya berupa rumah sederhana dan rumah susun,” tulis Paulus.

Jakarta menjadi kota pertama percontohan pembangunan rusun. Direktur Utama Perumnas Sunarjono dalam Kompas, 3 April 1979 mengatakan, dalam tahun 1979 bakal dibangun 7.000 unit rusun di Jakarta. Permulaan pembangunan dimulai di rusun Kebon Kacang, Jakarta Pusat, dengan luas empat hektare.

Selain di Kebon Kacang, rusun dibangun pula di Tebet, Manggadua, Tanah Abang, dan Jalan Jenderal Sudirman belakang Hotel Indonesia.

Kompas menulis, rusun yang akan dibangun itu bertipe F-36 dan F-54, dengan kepadatan 1.500 jiwa setiap hektare. “Dengan perhitungan sekitar Rp40.000 tiap meter persegi, maka harga sebuah unit rusun yang luasnya 36 meter persegi sekitar Rp1,5 juta,” tulis Kompas.

“Sedangkan untuk yang luasnya 54 meter persegi setiap unitnya akan sekitar Rp2,2 juta. Rusun-rusun ini bisa dibeli secara cicilan.”

Rusun di Tanah Abang, yang memanfaatkan lahan bekas kuburan seluas empat hektare, mulai dipasarkan pada Oktober 1980. Pembangunannya sendiri baru rampung pada Februari 1981, siap huni pada Maret 1981.

Dinukil dari Kompas, 1 Agustus 1980, rusun di Tanah Abang berjumlah 960 unit. Tingginya empat lantai. Harga sewanya bervariasi, mulai dari Rp39.000-Rp45.000 per bulan, tergantung memilih di lantai berapa. Sasaran penghuninya adalah pegawai yang punya penghasilan Rp100.000 per bulan.

Klender, Jakarta Timur menjadi satu titik tambahan pembangunan rusun Perumnas pada 1980, dengan jumlah 336 unit.

Keberhasilan pembangunan rusun di Ibu Kota, kemudian membuat pemerintah membangun rumah vertikal di Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Palembang, dan Medan. Selain untuk “meremajakan” kota, rusun dibangun di lokasi bekas musibah kebakaran.

“Daerah bekas kebakaran, seperti di Ilir Barat, Palembang dan Sukaramai, Medan dimanfaatkan sebagai tempat pembangunan rumah susun,” kata Cosmas dalam Prisma.

Gandrungnya pemerintah membangun rusun, mendapat catatan dari arsitek Herlianto, dalam tulisannya di Kompas edisi 1 Februari 1980 berjudul “Pembangunan Flat dan Permasalahannya”.

Menurutnya, perubahan “mendadak” hunian dari horizontal ke vertikal bukan sekadar perubahan arsitektur bangunan belaka. Namun, banyak aspek kehidupan yang bakal terdampak, seperti masalah sosial, ekonomi, dan kultur.

Aspek sosial yang disorot Herlianto adalah hubungan antartetangga yang telah terjalin di kampung bakal terbatas karena struktur flat.

“Target yang ingin dicapai pembangunan flat adalah golongan menengah ke bawah, yang sudah biasa dengan pola hidup berorientasi keluar, sedang kehidupan flat memaksa orang untuk hidup dengan pola berorientasi ke dalam,” kata Herlianto.

Kalau si penghuni tak dapat menyesuaikan diri, ia khawatir terjadi goncangan budaya dan malah mengubah situasi baru ke selera lama. Contohnya menjadikan ruang umum, seperti tangga atau koridor, sebagai tempat “pribadi”.

“Tentu dapat menimbulkan pertengkaran dengan tetangga kalau terjadi benturan kepentingan,” tuturnya.

Hal itu, sebut Herlianto, tak akan terjadi di rusun untuk kalangan menengah ke atas yang punya fasilitas lengkap. Dalam artikel “Rumah Susun, Lambang yang Lain” di Tempo, 5 Februari 1981 disinggung, rusun yang dibangun swasta cukup mewah dan jadi lambang serba berkecukupan.

“Berlawanan dengan rusun Perumnas di Tanah Abang. Keadaannya serba sederhana, sempit,” tulis Tempo.

Aspek kultur yang dicatat Herlianto terkait kedisiplinan dalam kebersihan, terutama membuang sampah. “Jangan sampai nantinya penghuni tingkat atas begitu saja membuang kaleng Coca-Cola, kulit pisang, atau bungkus susu Ultra keluar dari jendela,” tulis Herlianto.

Sementara aspek ekonomi berkaitan dengan biaya pembangunan dan pemeliharaan rusun yang besar. Dengan demikian, kelak akan menuntut uang kembali berupa biaya sewa yang cukup tinggi bagi kemampuan ekonomi rakyat.

“Kecenderungannya kelak, hanya golongan yang mampu saja yang akan sanggup menyewa flat,” tulis Herlianto.

Program membangun perumahan bagi rakyat memang mahal. Sebagai ilustrasi, Direktur Pengusahaan Pengelolaan Perum Perumnas Alibasah Samhudi dalam Prisma Nomor 5, Mei 1986 menuturkan, untuk tahun anggaran 1986/1987 Perumnas diberi tugas memasukkan uang Rp89 miliar, lebih besar 20% dibanding tahun 1985/1986.

“Uang sebesar itu harus diperoleh dari penjualan bangunan baru di samping stok lama yang belum terjual,” kata Alibasah.

Demi mengejar target itu, minimal mesti diproduksi unit rumah yang lebih banyak dengan harga terjangkau warga. Sebab, jika tingkat penyerapan masyarakat kecil, maka rumah-rumah yang dibangun bakal menambah banyak rumah “mati” yang sulit terjual. Pembangunan flat di Ilir Barat, Palembang pada 1983 yang mencapai Rp27 miliar adalah salah satu yang sia-sia.

“Uang ini mati tertanam di sana,” kata Alibasah.

Cosmas mengakui, hanya segelintir orang yang bersedia tinggal di flat Ilir Barat, yang dibangun di lahan bekas kebakaran. “Banyak penghuni eks daerah kebakaran yang memilih tinggal di pinggir kota setelah menerima uang pesangon yang cukup besar,” ujar Cosmas.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

error: Content is protected !!
Exit mobile version