Empati di Masa Krisis | SWA.co.id

Oleh: Ratu Eneng Kusumaningrat – Trainer, Jasa Pengembangan Eksekutif PPM Manajemen

Ratu Eneng Kusumaningrat – Trainer, Jasa Pengembangan Eksekutif PPM Manajemen

Pagi itu cuaca agak mendung, penulis melirik jam tangan, menunjukkan pukul 6 pagi. Penulis berjanji dengan Cindy pagi ini sebelum mulai bekerja akan joging bersama di sekitar kantor.

“Hai Cindy! Yuk!” tiba di lobi kantor, segera mengajaknya berjalan ke arah Jalan Sabang Jakarta Pusat, rute favorit kami. Cindy tersenyum lebar, ia sudah siap dengan kostum olahraganya serta handuk kecil yang melilit di lehernya.

“Yuk!” jawabnya singkat sambil memamerkan sepatu joging yang baru ia beli lewat online shop kemarin.

“Cindy! Semalam aku baca artikel bagus tentang empati yang ditulis Tracy Brower. Artikelnya dirilis Desember 2021 lalu. Tracy Brower adalah penulis buku The Secret to Happiness at Work,” penulis mulai bercerita sambil berjalan kaki santai menyusuri trotoar Jalan Kebon Sirih bersama Cindy.

“Oh ya, apa kata Ms. Brower?” Cindy bertanya sambil berjalan ringan di samping saya.

“Dalam artikel itu disebutkan bahwa empati adalah skill yang paling penting untuk kesuksesan seorang leader. Sikap empati mendorong kinerja positif dari bawahan. Ada hasil riset yang menunjukkan evidence ini, lho,” penulis bersemangat bercerita.

“Wow really!! Tell me more about it!” kata Cindy antusias.

“Iya, aku mengambil kesimpulan dari beberapa artikel tentang leadership bahwa ternyata banyak hasil riset menunjukkan sikap empati para leader di dalam organisasi sangat kritikal untuk mendorong peningkatan target bisnis. Apalagi dalam situasi krisis. Selama ini yang aku tahu empati itu positif karena mendorong motivasi karyawan, itu saja. Ternyata dampak positif sikap empati seorang leader itu lebih jauh dan lebih luas terhadap organisasi. Tracy menyatakan bahwa “Great leadership requires a fine mix of all kinds of skills to create the conditions for engagement, happiness and performance, and empathy tops the list of what leaders must get right.”

Kepemimpinan yang super membutuhkan kombinasi skill yang mumpuni untuk menciptakan kondisi yang mendorong engagement serta kebahagiaan karyawan sekaligus kinerja yang optimal, dan empati adalah skill yang paling dibutuhkan dari seorang leader,“ kami mulai memasuki Jalan Sabang. Suasana mulai ramai orang lalu lalang pergi ke kantor di pagi hari.

Cindy memperlambat langkahnya,”Wah menarik juga ya!  Tapi masa krisis seperti ini, mana ada sih leader yang berusaha empati? Sepertinya nomor 1 adalah target bisnis. Titik! Ya kan?” tambahnya.

“Nah di sinilah menariknya. Justru dalam situasi krisis, komunikasi di dalam organisisasi secara efektif akan sangat memengaruhi kinerja dan motivasi karyawan, terutama cara leader berkomunikasi terhadap karyawan. Banyak hasil riset menunjukkan bahwa karyawan mengalami stres baik dalam masa pandemi ataupun pasca pandemi saat ini.  Salah satunya sebuah riset global yang dilakukan akhir-akhir ini oleh Qualtrics, yang menunjukkan bahwa 42% responden mengalami masalah kesehatan mental, yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, cemas, kelelahan emosi, frustrasi, kesulitan konsentrasi, dan kesulitan dalam menyelesaikan tugas. Nah, karena hal inilah maka leader dituntut harus memiliki sikap empati,” penulis berapi-api menjelaskan.

“Bener juga ya, tentunya kita tidak mau karyawan terus menerus tenggelam dalam frustrasi sehingga tidak dapat memberi kinerja optimal bagi perusahaan. Padahal kalau leader-nya tidak empati, maka hal-hal negatif seperti hasil riset Qualtrics tadi yang akan muncul. Kalau itu terjadi, sebetulnya perusahaan juga yang rugi, ya” sahut Cindy sambil mengangguk-anggukan kepalanya menunjukkan bahwa ia mengerti.

“Betul sekali. Dua hari yang lalu aku baca hasil riset Qualtrics juga, kali ini tentang perilaku konsumen. Katanya di seluruh dunia terutama di Asia Tenggara, perilaku konsumen telah berubah dan berkembang sangat dinamis. Kebanyakan pelanggan tidak akan kembali seperti semula, mereka telah beradaptasi dengan konteks baru yang lebih mengedepankan experience digital. Dengan demikian, perusahaan dituntut untuk menciptakan produk dan layanan yang berorientasi pada masa depan, harus benar-benar inovatif, tidak lagi mencoba kembali masa lalu. Bagaimana mungkin itu semua terwujud kalau SDM yang ada di dalam organisasi stres dan demotivasi, sedangkan tuntutan pelanggan semakin kritis seperti itu” Cindy semakin semangat berkomentar.

“Nah tumben kamu cepat paham, hahaha” penulis meledek Cindy, ia pun tergelak. “Sebuah riset lainnya yang dilakukan oleh  Georgetown University juga menunjukkan ketika karyawan mendapatkan perlakuan negatif yang tidak mencerminkan sikap empati dari atasan atau rekan kerja akan menurunkan kinerja mereka, menurunkan kemauan untuk bekerjasama, menurunkan pelayanan terhadap pelanggan serta meningkatkan turnover,” penulis melanjutkan cerita.

“Ooo begitu ya, Aku jadi ingat beberapa waktu lalu membaca sebuah hasil survei yang dilakukan  oleh Catalyst, menyatakan sikap empati akan mendorong karyawan untuk menjadi lebih inovatif. Selain itu, leader yang empati juga akan mendorong engagement serta retention karyawan dalam perusahaan,” Cindy menambahkan.

Exactly! Jadi seorang leader itu tidak perlu menjadi seorang ahli kesehatan mental untuk menunjukkan sikap empati terhadap bawahan. Cukup dengan memberi perhatian dan menunjukkan sikap peduli. Tulisan Aimee Greeter, MPH, FACHE, seorang Healthcare Strategist dan Crisis Communicator dari SullivanCotter US dalam artikelnya berjudul Communication techniques during and after a crisis yang dimuat dalam Physician Leadership Journal edisi Maret/April 2022 mengatakan bahwa “During and after times of crisis, leaders must ensure they are confident and direct, while still maintaining a level of compassion and empathy.”

Dalam masa krisis ataupun pasca krisis, leader harus memiliki kepercayaan diri dan mampu memberi arahan, dan pada saat yang bersamaan ia juga dituntut harus memiliki sikap compassion dan empati.

Dalam artikel itu juga disebutkan beberapa tips untuk menunjukkan sikap empati, seperti berikut ini:

  1. Listen first, speak second. Dengarkan keluhan dan rasa frustrasi bawahan sebelum memberi komentar atau arahan.
  2. Peka dengan apa yang terjadi di sekitar Anda. Aware bahwa mungkin bawahan Anda merasakan dampak yang lebih besar dari krisis yang terjadi daripada yang Anda rasakan sebagai leader. Hal ini penting untuk membentuk personal connection dengan bawahan.
  3. Gunakan gesture yang positif  saat berdiskusi. Beri perhatian lebih dengan menunjukkan sikap dan ekspresi penuh perhatian untuk mendengarkan dan berusaha memahami bawahan.
  4. Tawarkan bantuan jika diperlukan

“Wah, tips yang bagus nih! Baiklah, aku sudah lebih mengerti sekarang,” ujar Cindy.

Tak terasa kami berdua tiba kembali di teras kantor. Kami duduk di kursi di samping Galeri ATM sambil meneguk minum dan menyeka keringat. Olahraga yang sehat dan diskusi yang menambah wawasan.

“OK. Kesimpulannya, sikap empati itu memberi kontribusi yang positif terhadap pencapaian target bisnis, ya. Dan sebagai leader, kita harus bisa menunjukkan perilaku empati jika ingin tim kita meraih kinerja yang optimal,” Cindy menyimpulkan lalu mengajakku segera memasuki gedung kantor dan bergegas mandi, bersiap untuk bekerja.


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

error: Content is protected !!
Exit mobile version