AI dan Gangguan Psikologis Karyawan

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

AI dan Gangguan Psikologis Karyawan
Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Revolusi Industri  (RI) 4.0 menghasilkan berbagai lompatan teknologi mencengangkan. RI 4.0 membentuk era baru ditandai oleh dominasi teknologi digital disertai munculnya fenomena big data, machine learning, dan lainnya termasuk teknologi artificial intelligence (AI).

Kini, pemanfaatan AI oleh dunia bisnis kian meluas dalam bentuk otomatisasi, analisis data, robotika, dan bahkan natural language processing (NLP). Dengan NLP, perusahaan memiliki smart searcher machine dan aksesibilitas lebih baik bagi karyawan berstatus sebagai penyandang disabilitas, khususnya gangguan penglihatan.

Sementara itu, manfaat nyata otomatisasi adalah mengurangi tugas-tugas repetitive atau berulang. Bahkan untuk tugas yang sangat berisiko (high risk) dan berbahaya, perusahaan dapat mengandalkan keberadaan robot sebagai substitusi tenaga manusia.

Dalam proses pengambilan keputusan berbasis AI, perusahaan juga sangat terbantu. Dengan menggunakan aplikasi berbentuk data analysis, misalnya, perusahaan memperoleh informasi sangat akurat sehingga pimpinan dapat membuat keputusan lebih tepat dan efisien.

Sebagai strategi korporat, H. James Wilson dan Paul R. Daugherty (2022) dalam tulisannya berjudul “How AI Can Make Strategy More Human” yang diterbitkan Harvard Business Review, mengilustrasikan fenomena AI berada dalam jangkauan semua perusahaan serta membuka tabir bagi perusahaan dalam berinovasi mengembangkan strategi perusahaan secara berkelanjutan.

Namun, tatkala pimpinan perusahaan fokus membangun strategi acapkali mengabaikan keresahan karyawan terhadap implementasi kebijakan baru. Penggunaan AI secara masif dan dependen bukan tanpa risiko dengan kemunginan besar menggangu kondisi psikologis karyawan.

Gangguan Psikologis

Meski teknologi AI positif bagi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi, namun realitas menunjukkan ada sejumlah gangguan AI terhadap tenaga kerja atau keberadaan karyawan. Gangguan tersebut dapat dirumuskan sebagai “gangguan sosial” AI bagi manusia yang boleh jadi mengurangi manfaat AI secara keseluruhan.

Tak sekadar jenis pekerjaan, revolusi di tempat kerja juga mengubah metode pelaksanaan pekerjaan berbasis AI berbeda dengan masa lalu. Dahulu, adalah normal ketika karyawan bekerja bersama rekan kerja dalam sebuah lokasi Bernama kantor. Karyawan kerja berkumpul rekan saat bekerja membentuk budaya kerja kebersamaan.

Kini, dengan kantor sangat modern berbasis AI terjadi reformatting di tempat kerja. AI membentuk kembali metode pelaksanaan kerja yang memungkinkan seorang karyawan bekerja di tempat berbeda (hybrids) dan meninggalkan kebersamaan dengan rekan sekerja.

Sebagaian besar jenis pekerjaan mengalami perubahan metode pelaksanaan, sementara pelaksana tugas dialihkan (rotated) ke posisi baru, mengikuti retraining, atau upskilling alias ditingkatkan keterampilannya agar mampu bekerja sesuai arah dan tuntutan transformasi digital.

Dengan jenis pekerjaan baru dan metode pelaksanaan yang berbeda akibat transformasi digital, gangguan nyata AI terhadap karyawan adalah memicu perasaan sepi akibat kesendirian (loneliness) dalam bekerja. Suasana bekerja mempengaruhi kondisi psikologis setiap karyawan.  

Kondisi psikologis karyawan yang terganggu tak sekadar dapat diatasi dengan retraining atau penyelenggaraan ulang pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan. Upaya mengatasi gangguan AI bagi karyawan harus merujuk pada masalah psikologis yang dialami tiap individu.  

Orientasi pengatasan masalah psikologis karyawan yang didera rasa sepi dan kesendirian dalam bekerja adalah memastikan bahwa setiap orang dipersiapkan untuk mampu melaksanakan pekerjaan masa depan yang mengandalkan kemampuan individual.

Karyawan harus pula memperoleh pendampingan khusus dari perusahaan yang berfokus pada upaya mempersiapkan karyawan agar selalu siap menerima dan menghadapi berbagai bentuk perubahan akibat kemajuan teknologi digital. Perubahan teknologi kemungkinan akan terus terjadi diakselerasi oleh AI.

Guna menyeimbangkan manfaat dan kerugian, perusahaan juga perlu meminimalisir dampak negatif AI. Untuk itu, perusahaan perlu pula berkolaborasi dengan perguruan tinggi (PT), perusahaan penyedia teknologi, pemerintah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lainnya bersatu padu membentuk konfigurasi atraktif bersama mengatasi berbagai masalah.

PT menyediakan ahli atau pakar di bidang hukum, kesehatan, dan psikologi yang dapat membantu perusahaan mengatasi kondisi psikologis karyawan. Sementara pihak lain juga aktif memikul tanggung jawab bersama sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

Pemerintah pun diharapkan hadir dalam memberi dukungan berupa regulasi kondusif bagi pelaksanaan pekerjaan. Hubungan industrial yang selama ini diatur dengan value berupa keseimbangan atau harmoni memiliki momentum tepat untuk diwujudkan di tempat kerja.

Wujud kebersamaan berbagai stakeholders perusahaan mengatasi problem yang dialami karyawan tampak rinci dalam tulisan Caroline Knight, Doina Olarum, Julie Anne Lee, dan Sharon K. Parker (2022) dalam artikel berjudul “The Loneliness of the Hybrid Worker”. Artikel tersebut diterbitkan MIT Sloan Management Review edisi Summer 2022.

Dalam artikel tersebut, para penulis berargumen bahwa setiap orang diidealkan tetap memiliki rekan kerja yang mendukung. Dukungan rekan kerja merupakan kunci bagi pengatasan masalah psikologis dan perasaan terisolasi. Kepuasan kerja pun dapat dicapai tatkala seseorang dapat berdiskusi dengan rekan kerja.

Selain itu, peran manajer sangat penting dalam menumbuhkan gairah bekerja dengan mendorong terwujudnya supportive collegial relationships dalam kondisi bekerja terpisah serta berjalan dalam kesendirian. Upaya ini dapat diwujudkan dengah membangun social climate yang kaya dengan suasana collegial support.

Dukungan kolegial menunjukkan nuansa kegiatan kerja secara kolektif. Dukungan kolegial ini merupakan sebuah istilah merujuk pada terbentuknya sistem kepemimpinan (leadership system) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya karyawan. Dalam membuat keputusan atau kebijakan misalnya, pimpinan bijaksana merujuk mekanisme yang tak sekadar bernilai distributive justice, namun juga procedural justice. 

Keputusan atau kebijakan menjamin terciptanya keadilan distributif yang dapat memuaskan semua pihak. Setiap keputusan yang dibuat juga di tempuh secara prosedural sesuai ketentuan dan menuju arah kesepakatan bersama. Musyawarah untuk mufakat merupakan pendekatan kultural khas bagi perusahaan di Indonesia yang mengedepankan spirit kolegial.

Spirit kolegial bukan berarti mengabaikan kemampuan karyawan. Caroline Knight et al (2022) menegaskan setiap karyawan berhak mendapat kesempatan atau terbukanya pintu otonomi atau kewenangan dalam pengambilan keputusan di area tugas kerjanya. Sejumlah studi dan praktek menunjukkan otonomi merupakan trust sekaligus kebanggaan bagi karyawan.

Teknologi AI dan derivasinya akan terus berkembang dan tak terhindarkan. Perusahaan harus mampu menerima kemajuan teknologi sebagai instrumen efektif mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Di samping siap menerima dan menerapkan teknologi, perusahaan dituntut pula siap mengembangkan alternatif solusi mengatasi berbagai masalah akibat penggunaan teknologi tersebut.  

Referensi:

H. James Wilson & Paul R. Daugherty, (June 22, 2022). How AI Can Make Strategy More Human. Harvard Business Review. Retrieved from:

Caroline Knight, Doina Olarum, Julie Anne Lee, & Sharon K. Parker (2022). The Loneliness of the Hybrid Worker. MIT Sloan Management Review. Summer 2022, 63:4 (10-12).


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!