Pimpinan Bergaji Rp 20-30 Juta dan Dibekali Mobil Innova

Mengumpulkan dana masyarakat dan dikelola untuk disalurkan pada kegiatan filantropi adalah sebuah pilihan. Mengelola dana publik tentu dihadapkan dengan pertanggungjawaban yang jelas, meskipun ada yang diambil sebagian untuk operasional lembaga kemanusiaan itu sendiri.

SABIK AJI TAUFAN, Jakarta

TANTANGAN itu sangat disadari sekali oleh Irvan Nugraha yang kini mendapat amanah sebagai chief marketing officer di Rumah Zakat. Maka dari itu, Irvan Nugraha bersama pimpinan Rumah Zakat berusaha patuh pada regulasi. Di antara regulasi yang mengatur keuangan untuk dana filantropi itu dipayung oleh Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011 dan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 606 Tahun 2020.

Dalam aturan itu secaara gamblang dijelaskan bahwa dana operasional yang boleh diambil oleh lembaga kemanusiaan dari zakat sebesar 12,5 persen dari donasi terkumpul. Kemudian untuk infak maksimal 20 persen, sedangkan pengumpulan uang dan barang (PUB) maksimal 10 persen.

“Kalau untuk sumbangan-sumbangan konteksnya, ikuti 10 persen,” ujar Irvan saat berbincang dengan JawaPos.com pada Kamis (7/7).

Irvan Nugraha adalah satu dari sejumlah pimpinan yang mengelola Rumah Zakat. Lokasinya di Jalan Matraman, Jakarta Timur. Seperti biasa, Rumah Zakat belakangan salah satu fokus programnya terkait kurban.

Saat JawaPos.com sempat berkunjung, kantor Rumah Zakat yang berada di antara jejeran ruko beroperasi seperti lembaga perkantoran lainnnya. Sibuk. Ada resepsionis yang selalu menyambut setiap tamu atau masyarakat yang sengaja berkunjung. Kantor ini mengedepankan warna oranye untuk interior kantornya.

Irvan menyebut, berdasar data laporan keuangan periode 2021, Rumah Zakat mampu mengumpulkan donasi zakat sebanyak Rp 201,6 miliar. Dari jumlah tersebut, 12,5 persen atau sebanyak Rp 25,06 miliar untuk dana amil.

Untuk penerimaan sedekah dan infak tidak terikat lembaga kemanusiaan yang diidentik dengan warna oranye itu menerima Rp 49,5 miliar. Lantas 20 persen dari jumlah itu yakni Rp 9,47 miliar dipakai sebagai dana amil alias operasional.

Sementara untuk sedekah atau infak terikat, Rumah Zakat mampu membukukan sebesar Rp 58,58 miliar. Sebagaimana ketentuan regulasi, kata Irvan, 20 persennya atau Rp 10,9 miliar dipakai untuk amil.

Irvan mengaku bahwa penggunaan dana amil di antaranya untuk gaji pegawai, direksi, dan kegiatan lainnya. Untuk gaji pimpinan Rumah Zakat mendapat Rp 25 juta per bulan. Selain gaji, pimpinan Rumah Zakat juga mendapat fasilitas kendaraan Toyota Innova dan Rush.

Sama dengan pegawai lainnya, seorang pimpinan di Rumah Zakat juga mendapat tunjangan kesehatan, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan biaya kunjungan kerja, dan lain sebagainya.

Penjelasan soal gaji pimpinan Rumah Zakat ini diungkapkan Irvan karena ada sejumlah donatur yang ikut tergugah dengan pemberitaan yang ramai menimpa Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). “Alhamdulillah hari selasa kemarin sudah tidak ada yang mempertanyakan ini. Sudah terbantu terjawab,” kata Irvan.

Sasma seperti Rumah Zakat, Dompet Dhuafa juga menerapkan sistem serupa dalam pengelolaan dana yang diterima dari donatur. Mereka mengikuti regulasi yang menaunginya lembaga kemanusiaan. Untuk potongan pada dana operasional diambil sebanyak 12,5 persen dari dana zakat terkumpul. Untuk sedekah dan infak diambil 20 persen dana terkumpul. Sedangkan untuk PUB, Dompet Dhuafa mengambil 10 persen sebagai dana operasional.

Direktur Komunikasi & Aliansi Strategis Dompet Dhuafa, Bambang Suherman mengatakan, komposisi biaya operasional yang diterapkan pihaknya mencakup beberapa item. Seperti biaya kelembagaan, pengelolaan aset, pengembangan sistem kelembagaan dan SDM, gaji, kompensasi, dan lain-lain.

Khusus untuk gaji, maksimal 50 persen dari 12,5 persen biaya operasional, atau sebesar 6,5 persen. “Itu yang menjadi panduan lembaga zakat termasuk Dompet Dhuafa dalam mengelola keuangan operasional kelembagaan. Sisanya biaya program yang harus disalurkan kepada masyarakat,” kata Bambang kepada JawaPos.com.

Secara keseluruhan, Dompet Dhuafa pusat berhasil mengimpun sekitar Rp 320 miliar donasi dalam setahun. Secara nasional mencapai Rp 424 miliar. Dari total donasi sebanyak itu, Bambang mengaku rata-rata gaji pimpinan Dompet Dhuafa berkisar Rp 20 – 30 juta.

Para pimpinan diberi fasilitas kendaraan operasional Isuzu Phanter dan Toyota Innova. Kedua kendaraan itu penggunaannya bersifat hak pakai. “Ketika pejabat terkait tengah libur atau ke luar kota, kendaraan bisa ditarik ke kantor untuk operasional lainnya,” ujarnya.

Berdasar laporan audit syariah tahun 2021, Dompet Dhuafa ternyata tak memakai dana operasional sampai limit maksimal 12,5 persen. Pemakaian hanya 11,28 persen. “Dari jumlah tersebut 70-80 persenya adalah zakat. Berarti yang boleh digunakan oleh lembaga zakat adalah 12,5 persen dari Rp 424 miliar itu,” ucap Bambang.

Lembaga kemanusiaan ini berkantor untuk kantor pusat di Philanrhropy Building, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dompet Dhuafa membuat laporan keuangan dua kali setahun ke Kemenag. Selain itu di Dompet Dhuafa ada audit dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Amil Zakat, kantor akuntan publik. Pada periode 2021, Dompet Dhuafa mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Laporan ini memuat rekapitulasi hasil zakat yang masuk dan keluar, penerimaan infak atau sedekah, hibah, dan jenis donasi lainnya.

Bambang mengklaim bahwa Dompet Dhuafa tidak terdampak dengan kontroversi yang menyeret Yayasan ACT. Aktivitas kegiatan filantropi dan pengumpulan donasi tetap berjalan sebagaimana yang sudah diprogramkan.

Meski begitu, pihaknya mendapat banyak pertanyaan dari dari para donatur pada 3 Juli 2022. Mereka mempertanyakan sistem pengelolaan Dompet Dhuafa, meminta konsistensi menjaga amanah, dan lain sebagainya. “Secara keseluruhan tidak ada pengaruh besar, tapi Dompet Dhuafa tetap akan melakukan pemantauan selama sebulan ke depan,” sebut Bambang.

“Sampai hari ini, kalau kami review 90 persen lebih tone-nya donatur positif. Mereka tidak sedang mengkhawatirkan untuk kembali bertransaksi, tapi mereka meminta kepastian bahwa transaksi yang dilakukan adalah akuntabel dan transparan dengan sistem yang rapi,” tukas Bambang.

Persoalan internal ACT yang heboh di media dianggap sebagai tsunami filantropi. Meski begitu lembaga kemanusiaan yang menghimpun dana publik tetap berkeyakinan tetap bisa menggalang dana. Seperti di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Lembaga non struktural pemerintah, Baznas lebih percaya diri dalam mengelola dana umat.

Pimpinan Baznas Rizaludin Kurniawan mengklaim, pihaknya sangat terawasan dalam pengelolaan dana. Pengawasan itu dalam bentuk audit syariah dari Kemenag, Fatwa MUI, dan pedoman SOP di internal Baznas sendiri.

“Baznas punya peraturan Baznas tentang kode etik, lingkupnya berlapis sehingga pengelolaan keuangan Baznas diawasi kantor akuntan publik, kedua auditor syariah Kemenag, ketiga DKI Divisi Keamanan dan Audit Internal Baznas sendiri,” kata Rizal kepada JawaPos.com.

Selain itu, Baznas secara rutin minimal dua kali dalam setahun wajib melaporkan keuangannya ke Presiden, menteri agama, dan DPR. Sejauh ini, Baznas selalu mendapat predikat WTP. Kendati demikian tidak dipungkiri masih terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan. Adanya pengawasan berlapis membuat masalah yang muncul bisa segera ditangani, sehingga tidak menjadi besar.

Baznas juga memberlakukan sertifikasi bagi seluruh amil zakat. Mereka diberi edukasi dan tes sebelum mendapat sertifikasi amil zakat. Langkah yang menjadikan para amil zakat lebih memiliki pengetahuan lebih, serta mentalnya bukan untuk mengutamakan kekayaan pribadi.

Hal itu tercermin dari sistem penggajian di Baznas. Gaji yang diterima oleh pegawai hingga pimpinan Baznas hanya bisa maksimal enam kali lipat dari upah minimum provinsi (UMP) di masing-masing wilayah. Meski begitu hanya 20 persen dari total sumber daya manusia (SDM) Baznas yang mendapat gaji maksimal. Penggajian juga disesuaikan dengan banyaknya donasi yang diterima, baik di tingkat pusat atau daerah.

 

“Kalau Baznas RI (nilai donasi yang diterima pada 2021) sampai Rp 560 miliar. Kalau Baznas seluru

Kantor Baznas (Sabik Aji Taufan/JawaPos.com)

h Indonesia dan seluruh lembaga amil zakat yqng ada 91 lembaga yang dikeluarkan Kemenag Rp 14 triliun,” ucap Rizal.

Dari jumlah donasi tersebut, hanya 12,5 persen dari donasi zakat yang bisa dipakai untuk operasional. Dana operasional akan dibagi untuk peningkatan SDM, sosialisai, edukasi, peningkatan IP, gaji, bayar pengeluaran tetap seperti listrik, telepon, serta bonus akhir tahun.

Sehingga tidak terelakan, mayoritas pengelola zakat di bawah Baznas masih memiliki tingkat kesejahteraan kurang. Termasuk tingkat SDM-nya masih kurang, karena biaya pelatihan belum mencukupi. “Banyak faktanya, bahkan mayoritas (amil zakat) banyak yang masih di bawah UMR,” tegas Rizal.

Kondisi ini disebabkan perolehan zakat di masing-masing kantor cabang berbeda-beda. Sebab, Baznas menerapkan sistem desentralisasi. Dalam artian di mana zakat didapat, di situ pula zakat dihabiskan. Sebagai contoh zakat amil zakat di DKI Jakarta hanya bisa mencari donasi di Ibu Kota tidak bisa mencari di wilayah lain.

Zakat yang dihasilkan pun harus disalurkan di Jakarta. Dalam kondisi tertentu, zakat bisa disalurkan di daerah lain dengan syarat hasil kajian kebutuhan daerah, dan atas izin donatur. “Jadi tidak sembarangan harus sesuai syariah,” kata Rizal.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!
Exit mobile version