Guru Besar IPB: Kelestarian Hutan Tergantung Masyarakat Semua Pihak Harus Mendukung

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kelestarian hutan tergantung kepada masyarakat sehingga pemerintah baik pusat maupun daerah, baik sektor kehutanan maupun sektor lainnya harus tetap memberikan dukungan-dukungan kepada masyarakat, demikian pula LSM dan akademisi.

Demikian juga tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai tergantung bagaimana masyarakat sendiri mampu mewujudkannya dengan kemampuannya baik pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi, manajemen, dan permodalan.

“Dengan adanya kebijakan KHDPK atau Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus, masyarakat diberi hak yang lebih besar, dan dengan tanggung jawab lebih besar juga,” ujar Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Prof Didik Suharjito, terkait KHDPK, Kamis (28/7/2022).

Menurut Prof Didik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus dapat memastikan ketepatan sasaran subyeknya, capaian keadilan sosialnya, dan peningkatan produktivitasnya.

Baca juga: KLHK Gencar Laksanakan Patroli Darat Cegah Terjadinya Kebakaran Hutan

Apabila Perhutanan Sosial (PS) pada KHDPK benar-benar dijalankan oleh masyarakat setempat yang memang selama ini mata pencahariannya tergantung pada sumberdaya hutan; produktivitasnya ditingkatkan, dan bisnis PS-nya berkembang.

“Bukan hanya pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan (on-forest), melainkan juga pengolahan (industrialisasi) dan pemasarannya; serta masyarakat merasakan keadilan dalam arti terjadi distribusi penguasaan, pemanfaatan dan tanggung jawab menjaga kelestarian sumberdaya hutan, yang merata dan adil di antara masyarakat; maka peluang untuk mencapai keberhasilannya besar,” ujarnya.

Mengenai kebijakan KHDPK ini, Prof Didik menjelaskan, mengacu pada regulasi yang dikeluarkan, PP dan Permen KLHK, serta memperhatikan latar belakang, KHDPK ditetapkan dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi hutan di Jawa (yang saat ini dikelola oleh Perum Perhutani) yang terdegradasi sangat berat dalam jangka waktu yang cukup lama, puluhan tahun, dan memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat.

Dalam kaitan ini, kondisi hutan yang terdegradasi ditandai oleh indikator tutupan hutan kurang dari 10 persen. Kondisi ini umumnya akibat dari konflik atas penguasaan kawasan hutan antara Perum Perhutani dengan masyarakat setempat maupun dengan pihak lain (individu atau kelompok).

Baca juga: KLHK dan DRRC UI Kaji Risiko Kedaruratan Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Industri di 4 Provinsi

Sementara kondisi masyarakat setempat yang miskin adalah hal yang ironis; Ada sumberdaya hutan yang seharusnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, tetapi ternyata masyarakatnya miskin.

Dikatakan, KHDPK yang ditujukan untuk program Perhutanan Sosial (PS) memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat setempat.

Dengan hak ini, masyarakat setempat dapat mengelola dan memanfaatkan hutan relatif lebih bebas dalam menentukan produk hasil hasil yang akan diproduksi, yaitu kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan.

Masyarakat dituntut kreativitas dan inovasinya untuk memproduksi beragam hasil hutan dengan nilai tinggi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Tentu saja ada batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh masyarakat agar hutan tetap lestari.

Dalam hubungan ini, mengapa muncul pro-kontra di masyarakat soal KHDPK ini, Prof Didik mengatakan, pro-kontra hal yang biasa terjadi karena setiap individu dan kelompok memiliki pengetahuan, persepsi, kepentingan yang berbeda-beda. Kelompok yang pro terhadap KHDPK melihat bahwa KHDPK memberikan harapan baru yang lebih baik dari kondisi saat ini.

Mereka berharap KHDPK dapat memberikan manfaat dalam bentuk kesempatan berusaha dan bekerja, dan meningkatkan pendapatan keluarga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bahkan di antara mereka ada yang sudah memiliki kesadaran bahwa hutan harus dilestarikan.

Kelompok yang kontra terhadap KHDPK melihat bahwa KHDPK akan merugikan mereka, apa yang selama ini mereka peroleh dari hutan akan hilang, jika benar bahwa mereka selama ini menjaga kelestarian hutan, mungkin mereka khawatir KHDPK akan dialokasikan kepada orang/kelompok lain yang tidak dapat melestarikan hutan.

“Pro-kontra tersebut ada manfaatnya, karena pro-kontra menyingkap pengetahuan, persepsi dan kepentingan kelompok-kelompok tersebut; masing-masing mereka terus mencari informasi dan berargumentasi. Terhadap semua kelompok baik yang pro maupun yang kontra harus diberikan penjelasan-penjelasan secukupnya agar mereka memiliki pengetahuan, persepsi, komitmen, dan tindakan yang mendukung pencapaian tujuan KHDPK,” papar Prof Didik.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!