Banyak yang Gagal, Ini Beda e-Groceries dan Quick Commerce

redaksiutama.com – Belakangan ini sejumlah startup diketahui menutup layanan e-groceries. Terbaru, adalah Bananas yang baru berusia 10 bulan dan telah mengumumkan penutupan operasionalnya.

Layanan e-groceries merupakan layanan pengantaran bahan makanan, sayur, dan buah-buahan. Layanan ini cukup populer selama pandemi karena menjadi pilihan berbelanja saat kegiatan di luar rumah dibatasi.

Pengguna hanya mengandalkan aplikasi dalam ponsel, memilih apa yang akan dibeli, lalu semua yang dipesan akan dikirim di rumah. Pengguna biasanya memilih jadwal pengiriman pada hari yang sama atau hari berikutnya sesuai dengan opsi yang disediakan aplikasi.

Hingga saat ini sektor e-groceries memang ramai persaingan, sebut saja Sayurbox, Happy Fresh, Tanihub dan Segari.

Namun jasa pembelian dan pengantaran bahan makanan bukan hanya ada pada sektor e-groceries saja. Quick Commerce atau q-commerce, ikut menjual barang dalam jumlah kecil yang biasanya kebutuhan sehari-hari dan pesanan ditargetkan tiba di pintu pelanggan dalam waktu 15-30 menit.

Model bisnis ini melibatkan serangkaian hub logistik yang disebut dark store atau toko gelap di daerah dengan pemukiman padat. Ini berbeda dengan gudang besar yang dimiliki e-commerce di pinggiran kota.

Ide q-commerce adalah mendorong pengiriman lebih cepat dengan frekuensi order lebih tinggi. “Kami telah melihat bagaimana pandemi telah mendorong frekuensi dan ketergantungan pada perdagangan digital,” kata Adrian Li, Managing Partner AC Ventures kepada KrAsia yang dikutip CNBC Indonesia dari situs resmi AC Ventures.

Adrian menambahkan model bisnis ini tingkat adopsinya luar biasa pada pasar maju dan berkembang. Khususnya pada daerah perkotaan dengan padat penduduk.

Konsumen menginginkan adanya akses cepat ke barang akibat terbatasnya jam buka pada toko offline dan waktu pengiriman di toko online, ungkap Redseer. Ini juga yang membuat pengiriman hari yang sama pada e-commerce meningkat tiga kali lipat, dari 3-4 juta per hari pada semester I/2020 menjadi 8 juta order per hari pada satu tahun berikutnya.

Sejumlah platform juga memiliki layanan cepat ini. Misalnya HappyFresh meluncurkan jaringan dark store bernama HappyFresh Supermarket, lalu Grab melalui GrabMart Kilat, Tokopedia Now, dan Allo Fresh hasil kolaborasi Bukalapak dan Trans Retail.

Adrian menggambarkan quick commerce sebagai layanan “premium” yang menargetkan pelanggan yang kurang sensitif terhadap harga dan mereka yang mengutamakan kenyamanan di atas segalanya. Jenis pembeli ini cenderung kembali ke platform yang sama dan sering melakukan pembelian.

Itu berarti, penggunaannya cenderung bekerja di area metro yang padat penduduk, tempat permintaan untuk pengiriman instan tinggi.

Terlebih lagi, kawasan perumahan premium di Jakarta yang umumnya memiliki akses jalan baik dibanding dengan lingkungan di kota-kota tier 2 dan tier 3. Hal ini memungkinkan pengiriman yang cepat di Jabodetabek.

Di sisi lain, quick commerce membutuhkan modal besar untuk membangun dark store di banyak titik. Sepertinya, model bisnis yang lapar modal ini membuat bisnis quick commerce harus berjuang keras di tengah tech winter.

error: Content is protected !!