redaksiutama.com – Mengingat kondisi layanan transportasi umum makin menurun dan kondisi geografis yang menyulitkan penyaluran BBM , lebih bijak insentif kendaraan listrik diprioritaskan untuk membenahi transportasi umum, mobilitas di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) dan daerah kepulauan.
Angka inflasi dapat ditekan dengan makin banyak warga menggunakan transportasi umum di perkotaan. Demikian dikatakan pengamat transportasi Djoko Setijowarno dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, 27 Desember 2022.
Djoko, yang juga dosen Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu, menyebut, pemerintah menyiapkan insentif untuk kendaraan listrik ( EV ) Rp5 triliun.
Pemberian insentif itu telah melalui kalkulasi, kajian, serta mempelajari pengalaman sejumlah negara, terutama di Eropa.
“Selain itu, menurut Presiden, bisa saja insentif di berikan pula untuk angkutan umum selama produksinya di dalam negeri. Namun, perhitungan insentif yang akan disiapkan tentu berbeda,” katanya.
Menurut Djoko, kebijakan yang tengah diformulasikan pemerintah saat ini masih kurang tepat. Soalnya, bisa menimbulkan masalah baru, seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas.
“Ada baiknya kebijakan itu ditinjau ulang disesuaikan dengan kebutuhan dan visi ke depan transportasi Indonesia.”
Ia menegaskan, rencana pemerintah memberikan subsidi untuk sepeda motor listrik yang digunakan oleh angkutan daring tidak memiliki pijakan dalam ekosistem transportasi di Indonesia.
Terlebih jika dikaitkan dengan isu konversi energi akibat tingginya konsumsi BBM dan subsidi yang berpotensi terus membengkak.
Menurut dia, angkutan daring, terutama sepeda motor, yang akan menjadi sasaran subsidi, jika beralih ke kendaraan listrik , sesungguhnya tidak lebih membutuhkan subsidi ketimbang angkutan umum perkotaan yang berbasis bus atau rel.
Apalagi, sepeda motor tidak menjadi bagian dari angkutan umum, tetapi angkutan lingkungan.
Oleh karena itu, harapan agar masyarakat meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik diperkirakan tak akan terjadi dengan kebijakan insentif.
Kebijakan itu justru menambah jumlah kendaraan di jalan. Diperkirakan, kemacetan kian parah.
Krisis
Djoko menyebut, Indonesia sedang mengalami krisis transportasi umum. Di banyak daerah, sudah banyak transportasi umum yang tidak beroperasi.
Andaikan masih ada, hanya angkot-angkot sisa yang sudah tidak laik operasi. Sudah tidak melakukan uji laik jalan (kir) dan jika dilakukan sudah dapat dipastikan Dishub tidak akan mengeluarkan surat lolos uji laik jalan.
Hal yang sama juga terjadi dengan angkutan perdesaan. Angkutan perdesaan yang cukup marak sebelum tahun 2000-an sekarang sudah banyak desa-desa yang tidak memiliki angkutan.
Dampaknya, para pelajar yang berada di perdesaan menuju sekolahnya beralih menggunakan sepeda motor.
Demikian pula halnya terjadi di wilayah perkotaan yang sudah punah layanan transportasi umumnya.
“Memiliki sepeda motor seolah sudah menjadi kebutuhan dasar selain sandang, pangan, dan perumahan. Buruknya layanan angkutan umum menjadikan sepeda motor alat transportasi yang diandalkan masyarakat dalam aktivitas keseharian,” katanya.
Di sisi lain, maraknya penggunaan sepeda motor telah menyebabkan tingginya angka kecelakaan sepeda motor.
Data dari Korlantas Polri tahun 2020, angka kecelakaan sepeda motor mencapai 80 persen, angkutan barang 8 persen, bus 6 persen, mobil pribadi 2 persen, dan lainnya 4 persen.
Menurut Djoko, subsidi kendaraan listrik sebaiknya diberikan untuk daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal).
Dia mencontohkan studi kasus di Kota Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Warga setempat, lanjut Djoko, sudah menggunakan kendaraan listrik dalam mobilitasnya sejak tahun 2007.
Hingga sekarang, sedikitnya terdapat 4.000 kendaraan listrik yang sudah beroperasi.***