Tren Vonis Ringan Bikin Koruptor Tak Kunjung Jera

redaksiutama.com – Banyaknya kepala daerah dan pengusaha yang menjadi pesakitan di kasus korupsi memicu penilaian publik yang beranggapan bahwa pemberantasan korupsi ini sia-sia.

Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) serta aturan-aturan korupsi di segala bidang dinilai percuma karena tidak menimbulkan rasa jera.

“Memang kalau menilik undang-undang Tindak Pidana Korupsi, secara akademis tidak ada masalah. Demikian juga secara regulasi. Ada 14 pasal yang mengatur segala bentuk korupsi dan hampir tidak akan ada orang yang bisa korupsi ,” ujar Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) Prof. Edi Setiadi pada Rabu, 7 Desember 2022.

Namun kenyataan tidak seindah di atas kertas. Menurut Edi, korupsi tidak hanya melibatkan pelaku, tapi ada peran masyarakat. Edi menyebut masih ada karakter masyarakat Indonesia yang cenderung gemar menerabas hukum.

Sistem sudah ada, kata Edi, tapi masyarakat masih berupaya mengakali sistem. Oleh karena itu, tidak heran bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau jabatan tertentu yang sangat memungkinkan bagi mereka melakukan perbuatan yang sama: menerabas hukum.

“Mengakali pengadaan barang, rotasi mutasi jabatan, mendapatkan proyek dengan suap. Karena apa? Karena untuk mendapatkan jabatan itu memerlukan dana yang besar. Di kepala pejabat itu, yang ada cuma berstrategi untuk mengembalikan modal yang dia keluarkan,” ujarnya.

Edi menyebut ini dengan istilah anomy of success atau keinginan untuk sukses dan mendapatkan jabatan dengan cara tak beretika.

“Para pejabat korup ini tidak pernah jera dan melakukan perbuatannya berulang kali karena ada celah untuk bermain dengan aparat penegak hukum. Salah satunya, stelsel hukuman antara 1 hari-15 tahun.

“Kalau ada pemberatan baru sampai ke 20 tahun,” kata Edi.

Tidak heran bila ada koruptor yang hanya dihukum 2 tahun. Ada yang dihukum 4 tahun, kena diskon remisi, lanjut Edi, cukup jalani hukuman 1,5 tahun.

“Ini karena tidak pernah ada hakim yang memberikan hukuman maksimal. Contohnya saja untuk kasus korupsi dana bantuan sosial dan krisis, tidak sampai menghukum maksimal. Jadi mana ada shock therapy-nya baik untuk pelaku maupun calon pelaku,” sambung Edi.

Belum lagi, tidak ada upaya paksa untuk mengambil harta yang dikorupsi dan ganti rugi. Edi menyebutkan aparat penegak hukum dan negara telah gagal mengambil aset yang sudah dikorupsi.

Ditambah lagi praktik-praktik peradilan yang dilakukan hakim sebagai panutan yang malah ikut bermain-main dengan korupsi . Edi menyebut itu akan membuat orang menjadi kriminogen yakni berpikir untuk melakukan korupsi karena ada celah dari wakil Tuhan.

“Lalu bagaimana cara memberantas korupsi ? Pengesahan KUHP belum menjadi jaminan meski UU Tipikor sudah diintegrasikan di dalamnya. Karena baru diberlakukan 3 tahun lagi. Nanti baru kita bisa uji,” ucap Edi.

Edi mengaku rumit memberantas korupsi karena harus memperbaiki dari sisi kelembagaan, aturan, dan budaya hukum masyarakatnya. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang komprehensif dan integral di segala bidang.

“Ini tidak bisa gradual, parsial, hanya memotong, menutup lobang, dan menambal. Harus ada terobosan mengubah sistem,” katanya.

Hal lain yang ditegaskan Edi dalam pemberantasan korupsi , enyahkan alasan politis. Karena itu hanya akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar di pemberantasan korupsi .

“Harus independen itu KPK . Tidak perlu ikut-ikutan bermain politik karena dalam politik ada praktik balas dendam seperti upaya melemahkan dan menghancurkan KPK . Jadi kita tidak boleh lelah dalam berjuang memberantas korupsi ,” ujarnya.***

error: Content is protected !!