Soal Tujuan Adanya Pasal Perzinaan di KUHP Baru, KSP Beri Penjelasan

redaksiutama.comKitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) baru yang telah disahkan pada 6 Desember 2022 masih menimbulkan polemik di masyarakat.

Berbagai elemen masyarakat menyoroti sejumlah pasal di KUHP . Salah satu pasal yang disoroti adalah soal pasal perzinaan .

Mengenai pasal perzinaan yang terdapat di KUHP baru tersebut, tenaga ahli utama Kedeputian v Kantor Staf Presiden Ade Irfan Pulungan memberikan penjelasan.

Irfan mengatakan adanya pasal perzinaan di KUHP baru adalah untuk mencegah terjadinya aksi ‘main hakim sendiri’ di masyarakat.

Baca Juga: Silsilah Keluarga Wednesday, The Addams Family yang Legendaris Sekaligus Aneh

Selain itu, dalam KUHP yang baru, Irfan menjelaskan Indonesia punya kodifikasi hukum pidana sendiri dengan paradigma pemidanaan modern yang juga relevan dengan nilai-nilai di Indonesia.

” KUHP lama tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum pidana dan kondisi masyarakat di Indonesia, karena semangatnya jauh berbeda. Kali ini semangatnya bukan hanya menekankan pemidanaan, tetapi kepastian hukum yang mencirikan pidana modern dengan mengandung 3 (tiga) unsur prinsipil, yakni keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif,” katanya dilaporkan Antara.

Mengenai berbagai kritik yang diutarakan masyarakat terhadap sejumlah pasal di KUHP baru, termasuk pasal perzinaan ini, dia meminta agar kritik tersebut diletakkan pada porsinya.

Baca Juga: Indekos ‘Bomber’ Polsek Astana Anyar Diduga Berada di Jalan Waas

” KUHP sebagai manifestasi hukum pidana harus pula diuji pada koridor hukum pidana, karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan ranah hukum lainnya,” ujarnya.

Secara spesifik, dalam ketentuan terkait perzinaan misalnya, dia mengatakan ketentuan terkait perzinaan semestinya dimaknai sebagai bentuk upaya menjamin kepastian penegakan hukum pidana dan merupakan delik aduan.

“Pembatasan pihak-pihak yang dapat mengadukan tindak pidana perzinaan yang sifatnya limitatif, di antaranya oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan serta orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan, justru dapat mengurangi risiko perilaku main hakim sendiri di tengah masyarakat,” tuturnya.***

error: Content is protected !!