Selamatkan RI, Rezim Devisa Bebas Harus Dicabut!

redaksiutama.com – Kekeringan dolar Amerika Serikat (AS) di Tanah Air tidak mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia. Padahal, surplus neraca perdagangan akibat durian runtuh atau windfall profit dari harga komoditas tercatat muncul beruntun selama 31 bulan.

Alhasil, banyak pengusaha berebut dolar AS. Kondisi ini pun dibarengi dengan pelemahan rupiah di tengah tren penguatan dolar AS. Situasi yang sebenarnya bisa dihindari jika dolar milik eksportir disimpan dan dikonversikan ke dalam mata uang rupiah.

Alih-alih menyimpan dan menukarkan dolar di dalam negeri, eksportir lebih memilih menyimpan dolarnya yang seharusnya terhitung sebagai devisa hasil ekspor (DHE) di luar negeri, salah satunya di Negeri Jiran, Singapura.

Cadangan devisa Indonesia pun bukannya menumpuk, tetapi berbalik susut. Per November 2022, cadangan devisa yang dicatat Bank Indonesia (BI) hanya mencapai US$ 134 miliar, naik tipis dari US$ 132 miliar pada bulan Oktober 2022. Cadangan devisa Indonesia sebenarnya sempat mencapai US$ 144,8 miliar pada Agustus 2021. Ini adalah rekor sejarah.

Ketika masalah kekeringan dolar AS berkecamuk, pemerintah dan BI mencoba berbagai cara. Mulai dari mengembalikan aturan sanksi dan denda bagi eksportir sumber daya alam (SDA) dan non-SDA jika gagal mencatatkan DHE-nya pada September 2022. Aturan ini sempat direlaksasi sepanjang pandemi Covid-19 mencekam.

Namun, rupanya peraturan tersebut tidak efektif. Hal ini karena data yang dicatat oleh BI tidak dinamis, kemudian integrasi antara BI, OJK dan Bea Cukai belum terintegrasi dengan baik.

“(Data dari BI) tidak diatur rutin, tidak. Itu dinamis. Kalau (ada pelanggaran) terus disampaikan ke kita. BI melaporkan ketika temuan aja, dikumpulkan, tidak satu-satu. Kapan dan transaksi kemana. Informasi itu gak ada di sistem yang ada di kami. Nyicil atau enggak kita gak ngerti, ” tutur Kasubdit Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC Vita Budhi Sulistyo, saat berbincang dengan CNBC Indonesia, dikutip Selasa (27/12/22).

Sejak relaksasi denda berakhir dan sanksi pengenaan berlaku kembali pada 2021, BI baru mengirim lima kali surat tagihan. Total ada 216 eksportir yang melanggar. Nilai sanksi diperkirakan mencapai Rp 53 miliar.

Dari penagihan senilai Rp 53 miliar banyak sebanyak 30% sudah dilakukan pelunasan.

BI dan Kementerian Keuangan bukan tidak menyadari keterbatasan tersebut. Kedua instansi kini tengah menyiapkan satu sistem yang bisa mengintegrasikan data DJB dan BI.

Kemudian pada Desember ini, BI meluncurkan instrumen operasi moneter valuta asing (valas) baru. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan instrumen tersebut akan memberikan imbal hasil deposito valas yang kompetitif berdasarkan mekanisme pasar.

“Bank bisa pass-on simpanan DHE dari para eksportir. Jadi eksportir menyimpan dana ke perbankan, terus perbankan bisa pass-on ke BI dengan mekanisme pasar dan suku bunga atau imbal hasil yang menarik,” ungkap Perry dalam paparan hasil RDG beberapa waktu lalu.

Dia mencontohkan jika rata-rata bunga deposit valas negara lain ada di angka 3,70% maka BI akan menawarkan bunga kepada perbankan di kisaran 3,75-4,0% melalui lelang.

“Bank akan tetap mendapatkan spread. Tergantung kondisi akan bergerak dari waktu ke waktu karena mekanisme pasar sesuai perkembangan yang ada dengan suku bunga dan daya tarik eksportir untuk ini,” ujar Perry.

Dengan bunga yang lebih kompetitif, BI berharap instrumen ini mampu menarik minat eksportir untuk menaruh DHE mereka, terutama eksportir di sektor Sumber Daya Alam (SDA), di dalam negeri. Pasalnya, eksportir ini sudah banyak diuntungkan dari sumber daya Indonesia.

Hentikan Rezim Devisa Bebas

Melihat kebijakan tersebut, Ekonom INDEF Agus Herta menilai instrumen ini dapat menjadi salah satu faktor daya tarik yang sangat baik. Namun jika tidak dibarengi dengan perbaikan, dia khawatir ini tidak membuahkan hasil yang efektif.

“Kebijakan untuk mendorong transaksi ekspor di dalam negeri harus komprehensif, tidak boleh hanya mengandalkan sektor moneter atau fiskal saja,” katanya kepada CNBC Indonesia.

Dalam hal ini, dia mengemukakan bahwa pemerintah sangat mungkin melakukan kontrol devisa karena hal ini adalah praktik yang pernah dilakukan sebelumnya. BI sudah pernah membuat peraturan yang mewajibkan seluruh transaksi perdagangan yang dilakukan di Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah.

“Sangat mungkin dan sangat bisa. Sudah saatnya Indonesia menghentikan menganut rezim devisa bebas. Atau paling tidak mengurangi sistem rezim devisa bebas,” ujarnya.

Dia menilai peraturan yang mengharuskan dolar hasil ekspor ditukarkan ke mata uang Garuda cukup efektif meningkatkan permintaan mata uang rupiah sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap mata uang rupiah.

Agus berpendapat kebijakan ini harus dilengkapi oleh kewajiban pemerintah yang mengharuskan transaksi ekspor impor di lakukan di Indonesia.

“Jika sudah ada kewajiban melakukan transaksi di Indonesia maka mereka dengan sendirinya akan terkena kewajiban yang dibuat oleh BI tentang penggunaan mata uang rupiah,” paparnya.

Dia pun menilai upaya mengarahkan eksportir harus dilakukan karena ekspor SDA mendayagunakan sumberdaya ekonomi Indonesia seperti tanah, tenaga kerja dan sumber daya manusia, teknologi, dana, fasilitas, dan lain sebagainya dari dalam negeri.

“Rasanya tidak etis jika dalam produksinya menggunakan seluruh sumber daya ekonomi di Indonesia tapi menempatkan uangnya di luar negeri,” katanya.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David E. Sumual menuturkan Indonesia tidak bisa memaksakan ekspotir untuk menaruh uangnya di Tanah Air atau menerapkan kontrol devisa, karena ini melanggar UU Devisa Bebas.

“Beda dengan negara lain, Malaysia sama Thailand harus masuk DHE-nya, harus menetap di dalam negeri bahkan ada yg mewajibkan konversi, kayak di Malaysia kalau enggak salah harus dikonversi ke Ringgit. Paling tidak ditahan berapa bulan gitu, kalau gak salah 6 bulan sampai tahun. Jadi bisa aja dilakukan itu tapi yang khawatir ada beberapa aturan yang dilanggar,” kata David.

Kekhawatirannya, menurutnya, nanti ada pihak yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dipandang melanggar Undang-Undang. Kecuali, lanjut David, ada klausul khusus atau dimasukan ke Omnibus Law.

“Kita keburu ada pasal UU tahun 70-an tentang UU Devisa Bebas. Nah itu kekhawatirannya melanggar nanti jadi repot lagi,” tutupnya.

error: Content is protected !!