Pakar: Kondisi ketenagakerjaan Indonesia masih jauh dari kerja layak

redaksiutama.com – Peneliti Trade Union Rights Centre (TURC) Syaukani Ichsan memandang situasi ketenagakerjaan Indonesia terutama bagi anak muda, masih jauh dari kerja layak lantaran pemerintah maupun pemberi kerja belum memahami pentingnya konsep kerja decent work atau kerja layak.

“Kehadiran UU Cipta Kerja semakin menyulitkan pekerja memperoleh status kerja tetap. Ini dikarenakan terdapat aturan hukum untuk memperpanjang status kontrak buruh tersebut,” kata Ichsan dalam keterangan tertulis CISDI di Jakarta, Senin.

Apabila pekerjaan belum selesai, lanjutnya, pemberi kerja dapat memperpanjang masa kerja buruh tersebut sampai selesai pekerjaannya sehingga decent work kerap sulit terwujud.

Decent work perlu mengarah pada upaya mengurangi tingkat pekerja muda yang tidak bekerja, tidak sedang memiliki pendidikan, atau tidak sedang mengikuti pendidikan,” ujarnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Nabiyla Risfa Izzati–yang melengkapi pandangan Ichsan– menyatakankehadiran UU Cipta Kerja masih cenderung sebagai upaya penciptaan lapangan kerja, bukan kualitas kerja.

UU No.11 tahun 2020 mengenai Cipta Kerja terdiri setidaknya atas 15 bab dan 186 pasal dan mengubah 78 UU terkait. Kehadiran UU CK yang dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’ atau perlu diperbaiki prosedur penetapannya oleh Mahkamah Konstitusi pada November 2021 lalu, dianggap bermasalah karena memudahkan sistem kerja kontrak, mempermudah PHK, hingga mengurangi pesangon.

“Padahal, lapangan kerja yang berkualitas dicirikan adanya job security atau kondisi dan perasaan nyaman dalam melaksanakan kerja,” ungkap Nabiyla.

Pendiri dan Chief Executive Officer CISDI Diah Saminarsih menyepakati adanya persoalan ketenagakerjaan yang dialami anak muda saat ini. Menurutnya, ketidakpastian yang dihadapi kaum muda di dunia kerja sudah terjadi sebelum Sustainable Development Goals dicetuskan.

Adanya pandemi membuat ancaman ketidaktersediaan lapangan kerja yang layak untuk anak muda kian nyata. Padahal, populasi kaum muda mencapai 60 persen dari populasi dunia dan mereka menjadi ujung tombak pembangunan pada 2030.

“Harus ada pemikiran dan perlakuan nyata dari pemberi kerja untuk melihat para pekerja dan profesional muda sebagai human capital. Sayangnya, hingga kini angkatan kerja yang berusia muda sering ditempatkan dalam kondisi yang tidak memiliki peluang jenjang karir dan pemenuhan hak ketenagakerjaan yang jelas,” tutur Diah.

Adapun guna mewujudkan masa depan ketenagakerjaan yang baik, Setyo A. Saputro dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Jabodetabek menyatakan pentingnya anak muda berserikat.

“Anak-anak muda perlu bergabung dengan serikat untuk mewujudkan situasi ketenagakerjaan yang baik. Dengan cara itu mereka bisa memahami persoalan ketenagakerjaan dan membangun daya tawar di hadapan pemberi kerja,” kata dia.*

error: Content is protected !!