Kisah Cucu Musso dan Kerabat Kiai Korban PKI Madiun 1948

redaksiutama.com – Cucu pimpinan PKI Musso dan seorang kiai yang kerabatnya dibunuh anggota PKI pada tragedi Madiun 1948 mencoba berdamai dengan dirinya sendiri, masa lalu nan kelam, serta keturunan bekas musuh orang tuanya — meski tidak gampang.

74 tahun silam ribuan orang diperkirakan meninggal akibat perang saudara di Madiun dan beberapa kota di sekitarnya.

Sejarah resmi kemudian mencatatnya sebagai pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), walaupun narasi tersebut masih diwarnai perdebatan di kalangan sejarawan — hingga kini.

Korban meninggal tak hanya orang-orang dari kelompok Islam, pamong praja atau masyarakat biasa, tetapi juga di pihak lawannya, yaitu pimpinan PKI dan pendukungnya.

Baca juga:

Dilatari rivalitas ideologi, perselisihan antar kesatuan tentara, intrik politik, gejolak revolusi, serta atmosfer Perang Dingin, dan hal pelik lainnya, pimpinan tentara pro-PKI saat itu mengumumkan pemerintahan baru di Madiun.

Pemerintahan Hatta, yang didukung Sukarno, menganggap deklarasi tersebut sebagai pemberontakan dan menanggapinya dengan menggelar operasi militer.

Pimpinan PKI kemudian balik menantangnya. Lalu terjadilah pertumpahan darah dalam salah satu peristiwa terkelam pada sejarah kontemporer Indonesia.

Belakangan, PKI menolak anggapan bahwa mereka melakukan pemberontakan. Mereka menyebutnya sebagai tindakan koreksi atau membela diri.

Baca juga:

Puluhan tahun kemudian, orang-orang yang terseret dalam pusaran konflik bersenjata itu sudah tiada, tetapi warisan traumatis itu tidak mudah sirna.

Nggak bisalah memaafkan,” kata Haji Sayyid Zuhdi, pemimpin Pondok pesantren (Ponpes) Cokrokertopati di Desa Takeran, Magetan, pertengahan Juli lalu.

Kalimat itu terucap dari mulutnya ketika saya bertanya apakah dia bisa memaafkan aksi penculikan dan pembunuhan keji terhadap beberapa kiai dan santri di Takeran.

Baca juga:

Pesantren yang didirikan Kiai Zuhdi itu berada dalam satu kompleks dengan Ponpes Sabilil Muttaqin (PSM). Pada 1948, beberapa kiai dan santri PSM diculik dan dibunuh oleh pendukung PKI.

Mengapa tidak bisa memaafkan? Tanya saya. “Ulama satu dibanding 1.000 orang ahli ibadah, derajatnya di hadapan Allah masih tinggi ulama satu itu, apalagi PKI,” paparnya.

Zuhdi, yang lahir tujuh tahun setelah peristiwa itu, mewarisi cerita kekerasan itu dari ayah dan kerabatnya.

Baca juga:

Setidaknya ada 13 orang kiai, santri, dan guru agama di PSM yang diculik dan dibunuh dengan keji oleh orang-orang PKI. Adapun jenazah Kiai Imam Mursyid Muttaqien, pimpinan PSM, tidak pernah ditemukan.

Jasad mereka yang dibunuh kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang tersebar di beberapa lokasi di sekitar Magetan dan Madiun. Belakangan di lokasi-lokasi bekas kuburan ini didirikan monumen “keganasan PKI” di masa Orde Baru.

“Ada yang tengkoraknya pecah. Mereka tidak disembelih, tidak ditembak, [tapi] dipukul dengan alu, tongkat,” ungkapnya.

Baca juga:

Suhu politik saat itu mendidih, ketika kesatuan tentara pro-PKI menguasai Madiun dan sekitarnya. Mereka saat itu mengumumkan pemerintahan Front Nasional.

Kelak tindakan ini disebut dalam sejarah resmi sebagai pemberontakan PKI Madiun 1948. Adapun pimpinan PKI, belakangan, menyebutnya sebagai tindakan membela diri dan aksi koreksi.

Lalu terjadi perlawanan. Tidak hanya dari kelompok Islam (seperti Masyumi yang memiliki pendukung kuat di PSM), tetapi juga kesatuan tentara dan polisi anti-PKI, atau para pamong praja.

Sebagian catatan sejarah menyebutkan, sebagian mereka yang menolak ‘program’ pemerintahan Front Nasional PKI kemudian ditahan dan dibunuh.

“Kiai-kiai pesantren itu dianggap oleh kaum komunis itu sebagai kaum borjuis, yang mereka [dianggap] memiliki tanah yang sangat luas,” kata sejarawan dari UGM Yogyakarta, Julianto Ibrahim, kepada BBC News Indonesia.

“Mereka [PKI] menganggap pesantren-pesantren bagian dalam frame yang harus mereka musuhi.”

Salah-satu program yang dipaksakan oleh pemerintahan Front Nasional adalah ‘merebut’ tanah-tanah milik kiai untuk dibagikan kepada petani penggarap. Landreform, begitu biasa disebut. Tidak semua menerima aksi PKI ini, tentu saja.

Korban di pihak anti-komunis tak hanya di kalangan pesantren. Sejumlah pejabat daerah, yang wilayahnya dikuasai PKI, ikut dibunuh.

“Korban di pihak lawan kelompok PKI, itu terjadi saat kekuatan komunis merebut Madiun. Mereka membunuh pamong-pamong praja, pemimpin birokrasi. Dan saat pelarian [ke lereng pegunungan Wilis], mereka menculik banyak orang,” kata Julianto.

Baca juga:

Tetapi semuanya berbalik ketika pemerintahan Front Nasional di Madiun dan kota-kota lainnya, dihancurkan dalam operasi militer pemerintahan Hatta.

Dalam keadaan terdesak, pasukan PKI — dipimpin langsung oleh Musso dan Amir Sjarifuddin — berusaha melakukan perlawanan gerilya (long march), tetapi gagal.

Di sinilah, giliran pimpinan dan pengikut PKI dikejar, dibunuh, serta dihukum mati.

“Dalam proses penumpasan yang dilakukan Divisi Siliwangi dan Barisan Banteng, serta kelompok-kelompok tentara lainnya, juga menimbulkan korban di pihak PKI,” kata Julianto.

Sampai sejauh ini tidak ada data yang mencatat berapa yang meninggal dari kedua pihak akibat pertumpahan darah ini. Berbagai catatan sejarah menyebut angkanya mencapai ribuan.

Menghindari pengejaran pasukan pemerintah, pucuk pimpinan PKI, Musso, akhirnya terbunuh di sekitar Kota Ponorogo, setelah sempat melakukan perlawanan.

Jasadnya tidak pernah ditemukan setelah dibakar massa anti-komunis di kota itu.

Dan, 74 tahun setelah sepak terjangnya dalam peristiwa Madiun dan berakhir dengan kematiannya yang tragis, sosok Musso sepertinya tetap dipersepsikan sebagai momok menakutkan.

Di Kota Magetan, tidak jauh dari alun-alun kota itu, kami bertemu salah-seorang cucu Musso. Namanya, Mariana Winarni.

Pada usia yang sudah memasuki 70 tahun, Mariana sehari-hari menekuni pekerjaannya sebagai penjahit. Dia tinggal bersama anak tunggal dan cucu-cucunya.

Saat awal wawancara dengan BBC News Indonesia, Mariana berujar “tidak menyesali apa-apa yang sudah terjadi” dan “saya tidak mau mengingat itu”.

Hal itu dia utarakan ketika kami menanyakan mengenai kakeknya, Musso.

Baca juga:

Tentu, tidaklah mudah tumbuh besar dalam tekanan sejarah resmi yang menempatkan sosok Musso, yang dianggap paling bertanggung jawab atas peristiwa Madiun 1948.

Mariana sepertinya berusaha memcoba membebaskan ingatan personalnya dari dominasi sejarah resmi tentang kakeknya.

“Saya kaget, saya tadinya tidak tahu kalau kakek saya itu Musso,” ujar Mariana, dengan nada perlahan. “Tidak ada yang kasih tahu saya.”

Pada usia 40-an tahun, Mariana mengaku baru diberitahu bahwa kakeknya adalah Musso. “[Sebelumnya] Ibu saya nggak pernah ngomong.”

“Mungkin [ibu saya] kasihan saya, nanti takut atau kaget. Takutnya saya berkecil hati…. Padahal saya sudah dengar,” katanya. Dia mengaku mulai saat itu tak mau memikirkannya.

“Ya sedikit [menjadi beban], wong namanya kakek ya,” ujarnya.

Dalam majalah Tempo edisi 14 November 2010, Mariana dan kakaknya, Winarno, adalah anak pasangan Paulus al-Gadri dan Samsirah.

Al-Gadri dilaporkan sebagai salah satu anak Musso. Dia ditangkap dan dipenjara belasan tahun karena dikaitkan dengan peristiwa G30S 1965.

“Saya tidak tahu waktu itu, tahu-tahu ayah saya pergi,” akunya. Saat itu mereka tinggal di Jakarta, dan Mariana masih duduk di bangku SMP kelas dua.

Mariana sempat menanyakan tentang ‘kepergian’ ayahnya, dan ibunya berujar: “ayahmu pergi mengurus warisan di Banyuwangi.”

Begitulah. Setelah dipenjara selama 16 tahun, Samsirah memutuskan bercerai dengan Al-Gadri. Tempo melaporkan perceraian itu karena dia “keturunan Musso.”

Selama bertahun-tahun, Mariana berusaha agar tidak terjerat trauma masa lalunya, dengan caranya sendiri.

“Saya sih tidak mikir. Ya sudahlah terserah Allah. Mana yang benar, mana yang salah. Yang salah ya biar dihukum, tidak apa-apa.”

Sejarah, agaknya, bagi Mariana adalah apa yang dia lakoni saat ini, yaitu menjahit, membesarkan cucu-cucunya, serta aktif di PKK.

“Yang lalu sudahlah berlalu, semua perbuatan ditanggung sendiri-sendiri,” ujarnya.

Apa yang diutarakan keluarga Musso barangkali menggambarkan bagaimana masyarakat kebanyakan berusaha berdamai dengan masa lalunya.

Kembali ke sosok Zuhdi. Walaupun sulit memaafkan pemimpin PKI dalam peristiwa 1948, Zuhdi mengaku sudah bergaul baik dengan anak-cucu orang-orang anggota PKI yang dulu musuh ayahnya.

Ngomong-ngomong dari hati ke hati di warung kopi, nggak usah menyangkut tentang persoalan [1948 atau 1965] itu, tapi ngomong misalnya soal agama,” ungkapnya.

Di dekat lokasi pesantrennya, ada beberapa desa yang dahulu merupakan basis PKI. “Hanya rumah-rumah yang berdiri di dekat pesantren, itu anggota NU atau Masyumi.”

Dia lalu menggarisbawahi: “Borok yang sudah mau sembuh, digaruk lagi. Itu lebih baik kita lupakan, tapi kita tetap waspada.”

Kata “waspada” ini selalu dia tekankan dalam wawancara siang itu. Dan, Zuhdi teringat dengan apa yang disebutnya upaya sekelompok orang tertentu dari Jakarta yang menyebut dirinya sebagai “korban Orde Baru”. Kejadiannya di awal Reformasi 1998.

Tindakan organisasi itu mengumpulkan data orang-orang yang menjadi korban peristiwa 1965 itu, demikian Zuhdi, patut “diwaspadai”.

“Pada waktu mendata, bukan hanya sekedar didata, tapi mesti diomongi ‘pak mungkin yang menyembelih itu adalah kiai itu’.

“Nanti saat zaman geger, kamu harus balas. Kalau tidak sasarannya adalah cucu-cucunya saja. Masak cuma mendata,” katanya. Intinya Zuhdi masih menaruh curiga dendam itu masih dipelihara di pihak sana.

Demi “kewaspadaan” pula, Zuhdi nyaris selalu terlibat dalam acara doa bersama yang biasanya digelar tiap tahun di salah-satu monumen Madiun 1945.

Meskipun demikian, Zuhdi menegaskan bahwa hubungannya dengan anak dan cucu keluarga yang ayah atau kakeknya dulu anggota PKI, “kini sudah baik”.

Dia mengistilahkannya sebagai rekonsiliasi kultural yang berjalan alami seiring berjalannya waktu.

“[Pertemuan] Di warung, kan tidak mahal. Kalau mengadakan seminar, kan biayanya besar dan tidak efektif,” ujarnya.

Zuhdi meyakini pertemuan informal seperti ini, yang sangat mungkin diwarnai “saling curhat” dan “tawaran jalan keluar” akan melahirkan saling simpati.

“Insya Allah, kalau simpatik, tidak akan ada apa-apa,” kata Zuhdi yang menyebut dirinya bertindak luwes untuk mengurangi jurang curiga itu tadi.

“Menjalin rasa kasih sayang di antara kita, itu malah yang berhasil. Ini sudah saya praktikkan. Di sini kan orang suka ke warung. Makanya saya sebut ‘majelis warung’,” katanya, kemudian terkekeh.

Dia mengaku sering diundang acara keagamaan. “Yang dulu bapak atau kakeknya PKI, sekarang kalau ada kematian, mengundang saya untuk mengimami [salat jenazah],” ungkapnya.

Masih di Kota Magetan, kami kemudian mendatangi Pesantren Darul Ulum dan menemui Alif Ilham Ramadhan, kelahiran 1993.

Saat ini Ilham dan ayahnya, Kiai Haji Mochammad Nurul Islam, mengasuh pesantren Darul Ulum di kota itu.

Ilham mewarisi cerita seputar peristiwa masa lampaui itu dari ayah dan kerabatnya. Sebagian lainnya dia mengikuti dari media sosial.

“Saya secara pasti tidak mengetahui bagaimana keganasan PKI saat itu. Tapi yang terdampak [peristiwa kekerasan] adalah kakek saya, Kiai Imam Mursyid, pimpinan pesantren Takeran,” katanya.

Ilham tak begitu mengikuti narasi baru terkait peristiwa 74 tahun itu, namun dia rajin mengikutinya di media sosial dan media massa.

“Kalau dari keluarga sendiri, kita tahunya, korban itu dari sesepuh dan keluarga kami. Tapi ada di berita, sekan-akan mereka korban juga,” ungkapnya.

Ketika dimintai tanggapan bahwa situasi sekarang jauh berbeda dengan situasi perang saudara di masa lampau itu, Ilham tak memungkirinya.

Tapi, “tetap jangan lupa tentang sejarah masa lampau itu, karena itu sebagai acuan kita untuk melangkah ke depan.”

Dan, “terkait kasus PKI [1948], ya kita harus tetap waspada. Secara Konstitusional, PKI sudah dibubarkan, tapi secara gerakan-gerakan, sekarang kita tak tahu, tapi desas-desus [tentang PKI] itu selalu diangkat.”

“Secara tekstual komunis tidak ada, adanya di luar Indonesia. Tapi gerakannya saya yakini masih ada.” Ilham tak merinci apa yang disebutnya sebagai “gerakan-gerakan PKI” saat ini.

Sebagai guru, apa yang Anda wariskan terkait Madiun 1948 kepada anak didik di pesantren? Tanya saya.

“Tetap saya ajarkan agar mereka tidak lupa sejarah, biar tidak lupa bahwa ada kejadian 1948.”

Ilham mengaku belum bisa memaafkan kejadian yang merenggut nyawa kakeknya dan sesepuh pesantren Takeran.

Apakah Anda masih menaruh dendam? “Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh menyimpan dendam.”

Di ujung wawancara, ketika menyinggung soal pentingnya menggelar rekonsiliasi di antara dua pihak yang berseteru pada 1948, Ilham melontarkan dia tak tertarik untuk “mengungkit lagi kejadian tersebut, meski dia akan selalu mengingatnya.”

“Misalnya bertemu [keturunan PKI] atau berteman, kita harus bisa menempatkan diri… kita berhubungan baik dengan mereka.

“Tidak usah berbicara tentang masa lampau. Bisa menempatkan dirilah supaya bisa tetap berhubungan baik, apalagi kalau sekarang kita bertetangga, bermasyarakat,” tandas Ilham.

Luka dan trauma peristiwa Madiun 1948 sejatinya makin luntur seiring waktu yang terus berjalan, di saat orang-orang yang berada dalam pusaran konflik itu sudah tiada.

Dan walaupun masih ada penolakan, yang biasanya dilatari tendensi politis, upaya rekonsiliasi atau langkah mempertemukan dua pihak yang pernah berseteru, terus disuarakan hingga kini.

Waktu yang terus bergerak, dan demokratisasi informasi, diyakini akan membuat generasi mendatang yang tak terpapar trauma 1948, akan memiliki perspektif yang lebih segar.

Kuncinya, menurut sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian, harus ada ruang dialog ketika membicarakan sejarah, termasuk sejarah tragedi 1948.

“Artinya tidak satu pun bisa mengatakan 100% paling benar, selalu ada diskon. Jadi kita memberikan nilai diskon terhadap satu statement sejarah itu penting,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

“Kritisisme terhadap satu klaim. Ya… mau 30% mau kita diskon, atau 50% atau 70%, itu tergantung kepada level knowledge kita.

“Tapi punya skeptisisme yang bisa memberikan satu klaim historis sebagai satu pernyataan yang perlu diuji kebenarannya.

“Jadi ada kesadaran untuk tidak menerima mentah-mentah [teks sejarah],” tandas Andi Achdian.

Tulisan ini merupakan seri pertama dari tiga tulisan tentang ’74 tahun Peristiwa Madiun: Sejarah kelam, narasi alernatif dan rekonsiliasi’.

Anda dapat melihat video versi panjangnya di sini

Atau klik tautan di bawah ini:

error: Content is protected !!