Gelombang PHK Diramal Berlanjut, Begini Syarat dari Pengusaha

redaksiutama.com – Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan SDM Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Nurdin Setiawan mengatakan, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bakal berlanjut ke tahun 2023. Hal itu, kata dia, bisa terjadi jika tidak ada kolaborasi dan sinergi pihak terkait, terutama dengan pemerintah.

“Kalau melihat situasi saat ini, ketika tidak ada satu sinergi antara pemerintah dengan industri TPT (tekstil dan produk tekstil) maka tidak akan lebih baik dari tahun 2022,” kata Nurdin kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/1/2023).

“Adanya sinergi pemerintah dengan dunia usaha kita masih optimis di 2023 itu perusahaan TPT bisa bangkit, tetapi dengan catatan harus ada sinergi dan kolaborasi. Harapannya tahun 2023 itu ada satu sinergi dalam hal, ada kepastian hukum, kemudian ada juga strategi-strategi yang mungkin bisa di-support pemerintah, karena industri TPT ini secara market itu kan 70% lokal atau domestik, sementara 30% nya adalah ekspor,” tambah Nurdin.

Dia menyoroti masalah ketidakpastian hukum dari aspek ketenagakerjaan yang sering kali berubah-ubah. Termasuk, imbuh dia, ketentuan mengenai upah yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Upah Minimum, namun kemudian muncul Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Terbaru, kata dia, terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2022 tentang Cipta Kerja.

“Nah ketidakpastian ini yang membuat investor juga menjadi ragu-ragu untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Jadi sesungguhnya kita nggak bisa berdiri sendiri, kita perlu ada satu sinergi dengan semua pihak terutama dari pemerintah yang memegang kebijakan dan regulasi, khususnya di industri TPT,” ujar Nurdin.

“Saya selalu mengatakan, tidak pernah ada badai yang tidak berlalu, badai itu pasti berlalu. Ini sifatnya sementara. Tetapi sifat yang sementara kalau tidak ditanggulangi dengan serius itu akan menjadi permanen,” tukas dia.

Penurunan order dari pasar ekspor, kata dia, mengakibatkan utilisasi industri berkurang, sementara karyawan yang tetap harus digaji, hingga kemudian memicu pengurangan tenaga kerja.

“Masa karyawan harus ada tapi dia tidak produksi, tidak ada output, sementara biaya tenaga kerja harus tetap kita bayarkan, maka di situlah kita munculkan pengurangan tenaga kerja itu,” imbuh Nurdin.

Meski, lanjut dia, ada beberapa perusahaan yang menerapkan sistem pengurangan hari kerja untuk mengantisipasi terjadinya PHK.

“Tapi upaya-upaya lain yang dilakukan beberapa perusahaan anggota salah satunya adalah pengurangan hari kerja. Yang seminggu itu hari kerjanya 6 hari sekarang jadi 4 atau 5 hari. Nah itu sebenarnya dalam upaya kita untuk mencegah PHK yang lebih banyak lagi,” pungkasnya.

error: Content is protected !!