Di Balik Janji Rp 300 Triliun Biden, RI Dianggap Kotor!

redaksiutama.com – Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan sejumlah negara maju berkomitmen untuk mendanai transisi energi di Indonesia hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun (asumsi kurs Rp 15.564 per US$).

Pendanaan ini akan disalurkan melalui inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara maju ini akan memimpin negosiasi dengan International Partners Group terkait pendanaan transisi energi di Indonesia, terutama untuk meninggalkan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik.

Namun, di balik komitmen pendanaan itu, ternyata penggunaan energi di Indonesia dianggap kotor oleh negara-negara maju tersebut, utamanya Amerika Serikat (AS).

Untuk diketahui, dari emisi CO2 yang dihasilkan Indonesia, 42% berasal dari pembangkit listrik, 23% dari sektor transportasi, kemudian 23% dari sektor industri, dan 12% sisanya berasal dari rumah tangga.

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimudin mengakui pembangkit listrik memang berkontribusi paling besar menghasilkan emisi karbon.

Hal ini menurutnya karena sebagian besar sumber energi pembangkit listrik di Tanah Air berasal dari fosil, terutama batu bara.

“Jadi batu bara itu 60-an% atau 2/3. Terus ada gas, diesel, dan segala macamnya, sehingga kira-kira kita punya emisi per kilo Watt hour itu, 1 kWh, sekitar 0,7-0,75 kilo, jadi 1 kilo Watt hour itu (menghasilkan) 750 gram emisinya. Itu termasuk tinggi kalau dirata-ratakan,” jelas Rachmat dalam sebuah diskusi, Selasa (29/11/2022).

Masih banyaknya penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik ini, maka menurutnya banyak negara yang mengecap Indonesia sebagai negara kotor.

Oleh karenanya, negara maju seperti AS meminta Indonesia untuk memperbanyak pembangunan proyek yang menghasilkan energi terbarukan.

Namun demikian, Rachmat tidak ingin Indonesia dicap sebagai negara yang kotor. Karena, jika dilihat secara absolut, Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang kotor.

“Kita bilang, tunggu, Indonesia itu power use-nya itu memang kotor. Tetapi kalau secara absolut kita menolak dibilang kotor,” tegasnya.

“Kita biggest top 10 emiter karena memang penduduk kita 4 terbanyak di dunia. Coba kita lihat per kapita deh, masa Singapura dibilang kecil, (tapi itu karena) penduduknya cuman sedikit dan kita banyak. Masa disamain, nggak boleh dong per negara. Harusnya per kapita,” jelas Rachmat.

Berdasarkan data yang dimilikinya, di antara negara anggota G20, saat ini emisi yang dihasilkan oleh Indonesia sebesar 2,3 ton per kapita, sementara rata-rata global berada di 4,5 ton per kapita.

“Coba kalau lihat punya AS, Jepang, dan sebagainya. Itu mereka di atas rata-rata semua. Jadi kita bilang, Indonesia sebenarnya belum kotor, karena masih di jauh di bawah rata-rata. (Justru) kalian tuh yang kotor (AS, Jepang, dan negara maju lainnya),” ucap Rachmat.

Sementara itu, Rachmat juga menjelaskan bahwa jumlah listrik yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di Indonesia juga menunjukkan Indonesia masih jauh di bawah jika dibandingkan dengan negara anggota G20 lainnya.

Saat ini, jumlah listrik yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di Indonesia berada di angka 190. Sementara, AS berada di peringkat ketiga yang sebesar 978. Lebih dari 5 kalinya dari angka yang dimiliki Indonesia, padahal jumlah rakyatnya hanya 10% lebih besar dari Indonesia.

“Jadi kalau mau ngomongin absolut, AS juga kotor banget. Indonesia masih nggak ada apa-apanya dibanding kalian. Kita masih bisa bikin 5 kalinya power plant baru (biar bisa sama dengan AS),” ujarnya.

“Kalau dibilang Indonesia kotor, sorry kita nggak mau dibilang kotor sama kalian. Karena kalian lebih kotor lagi,” pungkasnya.

error: Content is protected !!