Biografi Tanri Abeng: Mantan Menteri Era Soeharto Berjuluk Manajer Satu Miliar

redaksiutama.com – Dr. H. Tanri Abeng ., MBA. merupakan seorang Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan. Selain menjabat Menteri, ia merupakan seorang pengusaha .

Mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN ke-1 itu lahir di Selayar, Sulawesi pada 7 Maret 1942. Ketika ia lahir, Jepang masih menjajah Indonesia.

Saat usianya genap 10 tahun, orangtuanya meninggal. Karena kejadian tersebut, Tanri tak ingin mimpinya larut begitu saja, ia langsung pindah dan tinggal di Makassar bersama kerabatnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat SMU di Makassar, sosok yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan dunia usaha di Indonesia itu, berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti program beasiswa America Field Service (AFS).

Ia pulang ke Makassar dan melanjutkan sekolahnya di Universitas Hasanuddin hingga semester 5. Kemudian, melanjutkan pendidikannya di Graduate School of Business Administration di Universitas New York, Amerika Serikat hingga mendapat gelar MBA.

Setelah sempat bekerja di perusahaan Internasional seperti, PT Union – Carbide Indonesia (1969-1979), Agrocarb Indonesia, dan Karmi Arafura Fisheries (1971-1976), kariernya terus menanjak hingga bergabung dengan Bakrie & Brothers pada perusahaan milik Aburizal Bakrie pada 1991.

Dalam perusahaan tersebut, Tanri yang menjabat menteri pada masa Soeharto , telah meluncurkan beberapa kebijakan bisnis strategi seperti merestrukturisasi perusahaan dengan memfokuskan perusahaan pada tiga industri.

Ketiga industri tersebut yakni, telekomunikasi, dukungan infrastruktur, dan perkebunan. Selain itu, investasi dan aliansi strategis yang digarap meliputi bidang pertambangan, petrokimia, dan konstruksi.

Dalam kebijakan yang telah ia dibuat, membuat kinerja perusahaan Bakrie & Brothers semakin baik hingga penjualan tahunan meningkat sebesar 50 juta US Dollar atau sekitar Rp784 miliar.

Selain itu, ia memegang banyak posisi senior non eksekutif dari beberapa organisasi kepemerintahan dan LSM, seperti Komisi Pendidikan Nasional, Badan Promosi Pariwisata, Dana Mitra Lingkungan, Institut Asia-Australia, hingga Yayasan Mitra Mandiri.

Ketika pemerintah Indonesia akan melakukan pendayagunaan restrukturisasi dan privatisasi BUMN, Tanri Abeng dinilai sebagai orang yang tepat dalam menjabat sebagai Menteri tersebut.

Pada akhir 1996, Tanri Abeng dijuluki sebagai Manajer satu miliar, karena ia mendapat bayaran sebesar itu ketika mengelola perusahaan milik Aburizal Bakrie.

Kemudian, Tanri mendirikan lembaga pendidikan dengan nama yang sesuai nama panjangnya, yakni Universitas Tanri Ageng. Kampus tersebut didirikan di Ulujami, Pesanggahan, Jakarta Selatan.

Anggaran pembangunan kampus tersebut diperoleh dari hasil penjualan hotel miliknya bernama Aryaduta, dan dari hasil mitra dengan James Riady (pemilik Lippo Group) pada 1995 di Makassar.

Pada 1998, suami dari Farida Nasution itu ditunjuk oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN dan dilanjutkan dengan jabatan yang sama di Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Habibie (25 Mei sampai 13 Oktober 1999).

Pada 2004, ia menjabat menjadi komisaris Utama PT. Telkom Indonesia, dan pada tahun 2010, ia menyelesaikan pendidikan Doktor dari Universitas Gadjah Mada dalam Ilmu Multidisiplin.

Setelah tidak menjabat menteri, Pria yang akrab dijuluki Manajer satu miliar itu lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk mengembangkan pemikiran dan pendidikan manajemennya, termasuk membuat buku tentang manajemen.

Ayah dari Emil Abeng dan Edwin Abeng itu merilis buku pada 2000 berjudul Dari Meja Tanri Abeng : Managing atau Chaos. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Berlanjut pada 2006, Tanri Abeng merilis buku keduanya berjudul Profesi manajemen: kristalisasi teori dan praktik pembelajaran manajemen korporasi, lembaga nirlaba, dan pemerintahan.

Buku yang memiliki ketebalan halaman 257 itu diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hingga pada 2012, Menteri yang memeluk agama Islam itu merilis buku ketiganya berjudul No regret: rekam jejak sang profesional, teknokrat, dan guru manajemen. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Elek Media Kompotindo.

Di tahun yang sama, ia menjabat CEO OSO Group menggantikan Oesman Sapta Odang selaku founder perusahaan tersebut. OSO Group beroprasi dibidang pertambangan, perkebunan, transportasi, properti, dan perhotelan. (Rifki Ahmad Ferdiansyah)*** **

error: Content is protected !!