Anggota DPR: Pejabat Publik Disumpah untuk Tidak Korupsi, Hukumannya Harus Lebih Berat dari Pihak Swasta

redaksiutama.com – Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, di dalam Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), minimum hukuman pejabat publik yang melakukan korupsi lebih ringan dari yang diterima pihak swasta.

Arsul mengatakan, minimum hukuman dalam UU Tipikor itu tidak adil.

“Yang pejabat publik itu lebih ringan minimumnya. Ini kan enggak adil. Yang harus lebih ringan yang swastanya dong,” ujar Arsul saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2022).

Arsul memaparkan, apabila semua pejabat publik bersih dari korupsi, maka pihak swasta tidak akan terpancing untuk terlibat dalam korupsi.

Maka dari itu, pejabat publik yang terlibat korupsi harus dihukum lebih berat lantaran sudah disumpah.

“Karena pejabat publik itu sudah disumpah untuk tidak boleh korupsi. Maka dia kalaupun ada minimum, minimumnya harus lebih berat daripada yang tidak disumpah, swasta itu,” tuturnya.

Maka dari itu, Arsul mengatakan, sejumlah pasal di UU Tipikor digantikan dengan pasal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang baru disahkan.

Dia menekankan, tidak ada masalah dengan pencabutan pasal UU Tipikor itu.

“Yang dicabut itu kan yang sudah digantikan di RKUHP , pasal-pasal yang lain kan tidak. Terus apa masalahnya? Kan cuma satu itu saja hukuman minimal itu dirasionalkan gitu loh. Apa masalahnya coba? Gitu kan yang lain tetap ada,” imbuh Arsul.

Diketahui, sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bakal dicabut dan tidak berlaku setelah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru diberlakukan.

Hal itu tercantum dalam Pasal 622 ayat (1) huruf l KUHP terbaru.

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” demikian isi Pasal 622 ayat (1) huruf l KUHP, seperti dikutip pada Senin (12/12/2022).

Lantas, pada ayat (4) disebutkan, setelah KUHP resmi berlaku maka acuan pidana kelima pasal UU Pemberantasan Tipikor itu juga ikut berubah.

Ketentuannya adalah sebagai berikut:

-Pasal 2 ayat (1) pengacuannya diganti dengan Pasal 603;

-Pasal 3 pengacuannya diganti dengan Pasal 604;

-Pasal 5 pengacuannya diganti dengan Pasal 605;

-Pasal 11 pengacuannya diganti dengan Pasal 606 ayat (2); dan

-Pasal 13 pengacuannya diganti dengan Pasal 606 ayat (1).

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan dalam Pasal 603 KUHP berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II (Rp 10.000.000) dan paling banyak kategori VI (Rp 2 miliar).

Lalu dalam Pasal 3 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sedangkan Pasal 604 KUHP berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Pasal 5 UU Tipikor yang masih berlaku berbunyi: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00.

Lantas Pasal 605 KUHP ayat (1) menyatakan: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III (Rp 50.000.000) dan paling banyak kategori V (Rp 500.000.000), setiap orang yang:

1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Kemudian, pada Pasal 605 Ayat (2) KUHP berbunyi: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.

Lalu, Pasal 11 UU Tipikor menyatakan: Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak 250.000.000.

Jika KUHP sudah berlaku, sanksi pidana dalam Pasal 11 UU Tipikor mengacu pada Pasal 606 ayat (2). Isinya adalah: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200.000.000).

Sedangkan Pasal 13 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000.

Setelah KUHP diberlakukan maka acuan sanksi pidana Pasal 13 UU Tipikor akan diganti dengan Pasal 606 ayat (1).

Isinya adalah: Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

error: Content is protected !!