redaksiutama.com – Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) mengkritik definisi China yang sangat sempit tentang kematian akibat Covid-19 . WHO juga memperingatkan bahwa data statistik resmi China tidak menunjukkan dampak sebenarnya dari wabah tersebut.
Ada kekhawatiran yang berkembang atas peningkatan tajam infeksi Covid-19 di China sejak pencabutan kebijakan nol Covid yang telah diberlakukan selama bertahun-tahun.
“Kami masih belum memiliki data lengkap,” kata Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan kepada wartawan, saat konferensi pers di markas besar WHO di Jenewa pada Kamis, 5 Januari 2023.
“Kami percaya bahwa angka saat ini yang diterbitkan China kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, ICU, dan khususnya dalam hal kematian,” kata Ryan.
China hanya mengeklaim 22 kasus kematian akibat Covid-19 sejak Desember 2022. China juga mempersempit kriteria untuk mengklasifikasikan kematian semacam itu.
Artinya, data statistik terkait gelombang wabah Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya, sekarang secara luas dilihat tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.
Ryan menunjukkan bahwa definisi yang digunakan Beijing hanya gangguan pernafasan yang terkait dengan infeksi Covid-19 , yang masuk dalam kriteria kematian akibat Covid-19 .
“Itu definisi yang sangat sempit,” katanya.
Negara-negara Uni Eropa menyuarakan keprihatinan terhadap WHO atas data China tentang infeksi Covid- 19 yang tidak transparan.
Pertemuan para pakar Uni Eropa pada Rabu, 4 Januari 2023, mengungkap bahwa negara-negara UE sangat didorong untuk menuntut tes Covid-19 dari penumpang yang datang dari Cina.
Pertemuan tersebut diadakan untuk mengoordinasikan tanggapan bersama UE terhadap arus masuk pengunjung yang tiba-tiba. Yaitu, saat Beijing mencabut kebijakan nol Covid yang sebagian besar telah menutup negara itu dari perjalanan internasional.
Para ahli juga merekomendasikan agar penumpang dari dan menuju China , untuk mengenakan masker, menjalani tes acak pada saat kedatangan, dan menguji air limbah dari penerbangan China .
Rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh kepresidenan Swedia di Uni Eropa. Sebelumnya, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kepada wartawan, pihaknya telah mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dalam beberapa pekan terakhir dengan mitranya di China .
“Kami terus meminta China menyediakan data rawat inap dan kematian yang lebih cepat, teratur, dan dapat diandalkan. Serta pengu rutan virus real time yang lebih komprehensif,” kata Tedros.
Dia menegaskan kembali bahwa WHO memahami alasan beberapa negara memberlakukan pembatasan baru Covid-19 kepada pengunjung dari China .
“Dengan merebaknya (virus) di China yang begitu tinggi dan tidak tersedianya data yang komprehensif, maka kami dapat dipahami mengapa beberapa negara mengambil langkah itu, yang mereka yakini akan melindungi warganya sendiri,” katanya.
Amerika Serikat, yang akan mewajibkan tes Covid-19 bagi sebagian besar pelancong dari Cina mulai Kamis, 5 Januari 2023 waktu setempat, mengapresiasi peran WHO .
Tindakan pencegahan yang diambil Washington tersebut, disebabkan oleh kurangnya transparansi data dari Beijing.
” WHO dalam posisi terbaik untuk membuat penilaian karena kontaknya dengan pejabat China ,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price.
Tedros Adhanom Ghebreyesus berharap agar pandemi Covid-19 berakhir pada 2023. Dengan demikian, dunia menjadi jauh lebih baik di awal tahun keempat pandemi.
Lebih lanjut, kata Tedros, hampir sepanjang tahun 2022, jumlah kasus Covid-19 mengalami penurunan.
Menurut dia, program vaksinasi di seluruh dunia meningkat berkat kemajuan yang berkelanjutan di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Pada 2021, negara-negara tersebut sempat tertinggal jauh dalam hal program vaksinasi Covid-19 .
Dirjen WHO itu menegaskan bahwa Covid-19 masih menjadi virus yang berbahaya bagi kesehatan.
Termasuk bagi ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan. Apalagi, mengingat penyebaran variannya yang cepat.
Menurut Tedros, varian baru Covid-19 pun kini telah dideteksi di lebih dari 25 negara.
“Kami dari WHO terus mengikuti secara saksama dan menilai risiko dari subvarian ini dan akan melaporkannya,” kata Tedros.***