Suporter Sepak Bola, Instrumen “Soft Power Diplomacy” ala Jepang

redaksiutama.com – Jepang kalah dari Kroasia pada laga 16 besar Piala Dunia 2022 di Qatar. Jepang sempat unggul terlebih dahulu lewat gol Daizen Maeda di menit ke-43. Gol balasan akhirnya tercipta dari sundulan Ivan Perisic di menit ke- 55 dan membuat skor imbang 1-1.

Hal itu memaksa kedua tim melakukan perpanjangan waktu serta penalty shoot-out. Timnas Kroasia kemudian keluar sebagai pemenang dengan skor 3-1.

Kekecewaan terlihat jelas pada suporter Jepang yang hadir langsung menyaksikan tim kesayangannya di Stadion Al Janoub, Al Wakrah, Qatar pada 5 Desember 2022.

Kalah dan menang dalam suatu pertandingan sepak bola tentu merupakan hal yang biasa. Namun, yang justru menarik perhatian adalah perilaku suporter Jepang yang tidak dapat ditemukan di suporter sepak bola negara lainnya di manapun. Para suporter Jepang melakukan aksi bersih-bersih stadion setelah pertandingan usai. Mereka memungut sampah-sampah yang ada di stadion.

Bahkan, para pemain dan official Timnas Jepang juga mengikutinya dengan meninggalkan ruang ganti dalam keadaan bersih dan rapi. Mereka tak lupa meninggalkan kenang-kenangan berupa ucapan terima kasih serta lipatan origami nan cantik di ruang ganti.

Biasamua, ketika tim kesayangan para suporter sepak bola kalah, mereka cenderung emosional bahkan agresif. Di beberapa tim besar Eropa, Amerika, termasuk Indonesia, perilaku semacam ini cenderung merupakan yang paling sering kita temui.

Ketika suporter dilanda kekecewaan, tak sedikit yang meluapkannya dengan cara-cara anarkistis disertai perilaku vandalisme. Akan tetapi, suporter Jepang memiliki reaksi yang sangat berbeda. Meski kecewa, mereka tetap melakukan aksi bersih-bersih sebagai wujud penghormatan terhadap tuan rumah Qatar dan tim yang mereka lawan.

Semangat ini juga bisa kita lihat di balik ruang ganti para pemain Jepang.

Bukan yang pertama

Aksi suporter sepak bola Jepang semacam ini di ajang Piala Dunia bukanlah yang pertama kali. Suporter Jepang telah melakukan hal yang sama sejak Piala Dunia 2014 di Brasil.

Saat Piala Dunia 2018, baik tim dan suporter melakukan aksi bersih-bersih setelah kalah 3-2 dari Belgia di 16 besar. Suatu fenomena yang kurang lebih sama dengan yang terjadi kali ini.

Ketika ditanya mengapa mereka melakukan hal tersebut meski kalah di pertandingan, pelatih Jepang, Hajime Moriyasu, mengungkapkan di Fox News bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang biasa. Ia hanya menyebutkan bahwa ketika anda pergi, tempat yang ditinggalkan harus lebih rapi dari sebelumnya.

Menurut dia, ini hanyalah sebuah budaya yang biasa di Jepang, bahkan ia yakin tidak ada yang akan memberitakan hal itu di Jepang. Suporter yang ditanyai pun juga mengungkapkan hal yang sama dengan menjawab “atarimae” yang berarti “sesuatu yang sudah pasti”.

Maksud dari ucapan tersebut adalah apa yang berantakan, tentu harus dibersihkan atau dirapikan.

Perilaku semacam ini ternyata menimbulkan reaksi yang sangat besar dari berbagai negara. Respon dunia sangat positif ketika membahas apa yang dilakukan Jepang dalam hal menerima kekalahan.

Berhasilnya suporter sepak bola Jepang menginspirasi para pemain dan official timnasnya, ternyata juga berhasil menginspirasi negara-negara lain. Di 2018 misalnya, suporter Timnas Senegal juga melakukan hal yang sama pasca pertandingan mereka usai.

Sejumlah media di dunia, seperti The Daily Mail, menyebut suporter Jepang sebagai “an example”. ESPN juga turut menyebut mereka dengan headline “a lesson in manners”. Times of India menjuluki mereka dengan sebutan “classy”, dan Malaysian Digest juga turut mengapresiasi mereka sebagai “the true winners”.

Dengan viralnya budaya ini secara instan, suporter Jepang dinilai berhasil memenangkan hati suporter sepak bola dunia di era informasi, meskipun kalah di pertandingan Piala Dunia yang sesungguhnya.

Kini di 2022, tren tersebut diikuti pula oleh suporter Timnas Prancis dan beberapa negara lain.

Soft power diplomacy

Dalam teori hubungan internasional, disadari atau tidak, apa yang dilakukan suporter sepak bola Jepang dengan budaya bersih-bersihnya tersebut merupakan sebuah wujud pelaksanaan dari konsep soft power diplomacy. Diplomasi publik dengan menggunakan budaya (soft power) menegaskan bahwa solusi terkait pembahasan akan persoalan dunia tidak melulu harus bersifat anarkistis seperti dalam teori realis.

Letak kekuatan dari konsep soft power diplomacy ini sebenarnya ada pada proyeksi suatu budaya kepada masyarakat atau peradaban lain, seperti yang di kemukakan Joseph Nye di esainya tahun 1990.

Pendapat Nye terkait fenomena soft power ini sebenarnya sangatlah sederhana: ketika Amerika Serikat suatu saat akan kehilangan pengaruh geopolitiknya di suatu kawasan, maka mereka tidak boleh melupakan proyeksi kultural, yaitu soft power-nya.

Ia berpendapat bahwa the third great player dalam masalah-masalah internasional adalah soft power, di belakang kekuatan militer maupun ekonomi.

Nye menyebut bahwa soft power merupakan kemampuan untuk mengubah preferensi atau persepsi pihak lain terhadap suatu aktor.

Dalam buku Soft Power: The New Great Game karya Robert Winder, disebutkan bahwa soft power adalah sebuah seni bagi suatu negara untuk merebut hati dan pikiran orang lain tanpa menggunakan senjata-senjata biasa: guns or money.

Menurut Winder, konsep ini bagaikan medan magnet yang bersumber dari gabungan budaya, gaya hidup, sejarah, warisan dan nilai-nilai politik di suatu masyarakat. Ia menganggap, dibanding menggunakan cara-cara diplomasi koersif yang konvensional (seperti menggunakan senjata atau rudal), soft power dikatakan sebagai cara yang lebih feminin. Namun tidak bisa diremehkan efeknya.

Bila saat ini kita terkesima dengan perilaku para suporter Jepang yang melakukan bersih-bersih sampah di Stadion setelah pertandingan usai, maka dapat dikatakan bahwa Jepang berhasil memainkan peran soft power-nya kepada dunia.

Bentuk diplomasi semacam ini tentu sesuatu yang menurut penulis sangat positif dan dapat dicontoh oleh bangsa manapun di dunia, dibanding menggunakan cara-cara represif atau kekerasan untuk memaksakan suatu nilai tertentu kepada masyarakat.

Jepang tentu meraih positive gain dari viralnya budaya ini, dengan kesan positif akan peradabannya di mata dunia. Hal ini, menurut penulis, sangat perlu untuk ditiru oleh Indonesia.

Dengan semangat untuk terus berbenah diri dan melalui cara-cara yang baik, suporter Indonesia harus dapat memberikan suri teladan kepada dunia, atau minimal, kepada sesama masyarakat di sekitarnya. Karena disadari atau tidak, baik buruknya suporter sepak bola kita juga merupakan cermin bagi soft power Indonesia di mata dunia olahraga.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

error: Content is protected !!