redaksiutama.com – Pipa gas Nord Stream 1 mengalami kebocoroan di Laut Baltik.
Nord Stream 1 adalah sistem jaringan pipa gas alam lepas pantai yang membentang di bawah Laut Baltik dari Rusia ke Jerman.
Pipa Nord Stream 1 membentang sepanjang 745 mil ataiu sekitar 1.200 km di bawah Laut Baltik dari pantai Rusia dekat St Petersburg ke timur laut Jerman.
Dilansir dari Kantor berita AFP, dua kebocoran telah diidentifikasi pada pipa gas Nord Stream 1 di Laut Baltik atau hanya berselang beberapa jam setelah insiden serupa pada pipa Nord Stream 2.
“Pihak berwenang sekarang telah diberitahu bahwa ada dua kebocoran di Nord Stream 1,” kata Menteri Iklim dan Energi Denmark Dan Jorgensen kepada AFP dalam sebuah pernyataan.
Menyusul terjadinya kebocoran pipa Nord Stream 1 ini, Jorgensen mengatakan Pemerintah Denmark telah menyerukan tingkat kesiapsiagaan lebih tinggi di sektor listrik dan gas.
Salah satu kebocoran pipa Nord Stream 1 kali ini terjadi di zona ekonomi Denmark dan lainnya di zona ekonomi Swedia.
Menurut Administrasi Maritim Swedia (SMA), kebocoran Nord Stream 1 pertama kali terlihat pada Senin (26/9/2022) malam, beberapa jam setelah terjadi penurunan tekanan gas dalam pipa gas Nord Stream 2.
“Sekitar 08.00 malam (1800 GMT) kami menerima laporan dari sebuah kapal yang lewat mengatakan mereka melihat sesuatu di radar mereka sedikit lebih jauh ke utara pulau Bornholm,” jelas Fredrik Stromback, juru bicara SMA.
Akibat kebocoran tersebut, peringatan navigasi juga dikeluarkan untuk jarak lima mil laut dan ketinggian terbang 1.000 meter (3.280 kaki).
“Insiden pada dua pipa tidak berdampak pada pasokan gas ke Denmark,” kata Jorgensen.
Sebelumnya, Rusia pada bulan lalu sempat menghentikan aliran gas lewat pipa gas Nord Stream 1 ke Jerman dengan alasan pemeliharaan.
Raksasa energi Rusia Gazprom pada Rabu (31/8/2022) mengatakan pasokan melalui Nord Stream 1 “benar-benar dihentikan” untuk “pekerjaan pencegahan” di unit kompresor.
Di sisi lain, Jerman, yang sangat bergantung pada gas Rusia , menuduh Moskwa menggunakan energi sebagai “senjata” di tengah agenda invasi ke Ukraina.