Hubungan China dan Arab Semakin Dekat, Raja Saudi Undang Xi Jinping ke Negaranya

redaksiutama.com – Kekuatan ekonomi China telah membuat negara ini menjadi magnet bagi seisi dunia. Tak bisa disangkal, dominasi AS dan Rusia sebagaimana terjadi saat Perang Dingin, telah lama berlalu.

Lompatan China yang luar biasa dalam dua dekade terakhir, membuat negara ini memiliki pengaruh besar, khususnya dari segi ekonomi.

Hal ini pula yang membuat kekuatan ekonomi China dilirik oleh mayoritas negara di dunia, termasuk negara-negara Arab . Saking besarnya kekuatan ekonomi China di level global, Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud bahkan melakukan kunjungan khusus ke Negeri Tirai Bambu, pada tahun 2017 lalu.

Saat itu, kunjungan dilakukan setelah Raja Salman menuntaskan liburan di Bali, selama hampir dua minggu.

Saat itu, selama 13 hari di Indonesia, Raja Salman mendatangkan investasi yang tak sebanding dengan investasi konglomerat tersebut ke China selama dua hari. Investasi Raja Salman di Indonesia hanya 6 miliar dolar AS atau sekitar Rp89 triliun (kurs saat itu Rp13.300 per 1 dolar AS).

Sementara, investasinya ke China mencapai 65 miliar dolar AS atau sRp 870 triliun. Hubungan dekat China dan Saudi pun terus berlanjut hingga kini. Bahkan, secara khusus, Raja Saudi mengundang Presiden China Xi Jinping ke negaranya. Kunjungan resmi Xi ke Arab Saudi telah dimulai sejak 7-9 Desember 2022, yaitu saat KTT China -Saudi yang dipimpin oleh Raja Saudi Salman dan Xi, akan digelar.

Begitu dekatnya hubungan Arab Saudi dan China , sejumlah kalangan pun menilai bahwa negara Arab tersebut sedang membelot ke Beijing. Akan tetapi, Saudi tidak sedang membelot ke China . Seperti diketahui, selama ini Saudi dikenal sebagai sekutu Amerika Serikat.

Sementara China dianggap sebagai seteru AS dalam 10 tahun terakhir ini. Menurut laporan, jauh sebelum dimulainya KTT Arab – China di Riyadh akhir pekan ini, pemerintah di Beijing giat menekankan peran yang mereka mainkan di Timur Tengah.

Awal Desember lalu, Kementerian Luar Negeri China menerbitkan laporan berisikan 19.000 kata tentang “Kerja sama antara China dan Arab di era baru.”

Di dalamnya, Beijing memosisikan diri sebagai mitra strategis dan sahabat yang tulus serta ingin memainkan peran yang konstruktif dan menahan diri untuk tidak didikte oleh kepentingan geopolitis sepihak. Sebagian melihat frasa tersebut sebagai sikutan terhadap kebijakan AS di Timur Tengah.

Tidak sedikit yang khawatir, konferensi puncak pada Jumat, 9 Desember 2022 yang akan dihadiri oleh Xi, bakal semakin membebani relasi AS dan Saudi.

Hubungan antara Washington dan Riyadh, dalam beberapa waktu belakangan ini, memang sedang merenggang. Sambutan dingin terhadap Presiden Joe Biden dalam kunjungan pertamanya ke Saudi, pada Juli lalu, makin memperpanjang keretakan.

Berpindah Riuhnya arus perdagangan antara China dan negara-negara Arab , termasuk kawasan Teluk (GCC), digerakkan oleh sektor konstruksi. Di Oman, Mesir, Saudi, dan Kuwait, perusahaan- perusahaan China terlibat membangun pelabuhan atau kawasan industri. Kerja sama juga meningkat di sektor teknologi digital, energi terbarukan, pariwisata, dan penerbangan. Sebagian besar negara-negara Teluk misalnya, menggunakan teknologi Huawei untuk menopang jaringan komunikasi.

Sebaliknya, bagi Arab , relasi dagang dengan China membuka jalan bagi diversifikasi sumber pendapatan yang kini masih bergantung pada ekspor minyak dan gas bumi. Mereka giat menyiapkan diri untuk menyambut era energi terbarukan.

“Jumlah dana investasi yang dikucurkan untuk diversifikasi sangat tinggi. Dan China tidak akan melewatkan kesempatan semacam itu terlewat begitu saja,” kata alTamimi.

China perlahan juga mulai merambah ke sektor persenjataan yang selama ini dikuasai AS dan Eropa. Dengan bantuan China , Saudi misalnya, sedang mengembangkan peluru kendali dan teknologi drone di dalam negeri.

“Apa pun yang tidak dijual Amerika, akan didapat Saudi dari tempat lain,” kata Prof Haykel di Princeton.***

error: Content is protected !!