redaksiutama.com – >
TEHERAN, KOMPAS.com – Unjuk rasa telah berlangsung lebih dari seminggu di seantero Iran menyusul kematian Mahsa Amini yang berusia 22 tahun.
Ia ditahan oleh polisi moral karena tidak mengenakan jilbab dengan benar, kini para pengunjuk rasa turun ke jalan sambil membakar kerudung di hadapan pihak berwenang.
“Ini adalah tahun pertumpahan darah,” teriak para pengunjuk rasa di Teheran, sementara pasukan militer menyapu jalan-jalan kota. Iran memasuki minggu kedua kerusuhan sipil massal setelah kematian Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun.
Amini menghilang dalam tahanan polisi awal bulan ini karena dituduh melanggar undang-undang “moralitas.” Tiga hari kemudian, ia meninggal dunia.
Pemerintah Iran mengatakan, pihaknya telah memerintahkan penyelidikan atas kasus tersebut. Dukungan dari seluruh dunia mengalir menyusul kematian Amini di tengah seruan baru terhadap Republik Islam Iran.
Unjuk rasa di seluruh dunia berlangsung ketika Sidang Majelis Umum PBB juga sedang digelar di New York.
Di sana, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengecam sanksi Barat yang dinilai menjadi senjata pemusnah massal rakyat Iran dan menunjukkan kesediaannya untuk kembali ke meja perundingan untuk menghidupkan lagi kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan kekuatan-kekuatan dunia.
Dalam program televisi This Week di ABC, Senator AS dari Partai Republik John Barrasso mengatakan kesepakatan itu akan menjadi sebuah kekeliruan.
“Iran adalah negara yang mensponsori tindak terorisme. Mereka terus mengatakan, ‘Matilah Amerika.’ Kita tidak bisa membiarkan mereka memiliki senjata nuklir. Saya selalu merasa pemerintahan ini terlalu bersemangat untuk mencapai kesepakatan nuklir–atau kesepakatan apapun–dengan Iran.”
“Saya rasa kita tidak perlu mencapai kesepakatan apapun dengan negara itu. Pemerintahan ini ingin mengirimkan uang puluhan miliar dollar ke Iran untuk sebuah kesepakatan yang menurut saya merupakan kesepakatan yang buruk bagi Amerika,” ujarnya.
Sementara para demonstran bentrok dengan polisi dan membakar kerudung mereka di muka umum sebagai bentuk perlawanan besar-besaran di Iran, pemerintahan Biden menjanjikan komitmennya untuk merundingkan kesepakatan nuklir dan memberikan dukungannya bagi aksi unjuk rasa yang mendorong hak-hak perempuan.
Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan mengatakan dalam program This Week di ABC hari Minggu (25/9/2022).
“Mereka (unjuk rasa-unjuk rasa itu) mencerminkan keyakinan yang tertanam dalam dan tersebar luas di antara penduduk Iran, warga Iran, perempuan Iran, bahwa mereka berhak atas martabat dan hak-hak mereka. Dan Amerika Serikat bersikap dengan sangat jelas dan tegas, secara terbuka, dari ruang sidang PBB, ketika Anda mendengar Presiden Biden berbicara atas nama hak asasi manusia universal seluruh warga negara dan perempuan Iran,” kata Sullivan.
Iran berada di jajaran terbawah peringkat global tentang hak-hak perempuan. Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia 2020, hanya Republik Demokratik Kongo, Suriah, Pakistan, Irak dan Yaman yang berperingkat lebih buruk. Perempuan yang tertangkap di muka umum tanpa mengenakan jilbab dapat terancam hukuman penjara bertahun-tahun.
Sepanjang gelombang kerusuhan massa saat ini, puluhan pengunjuk rasa tewas.
Artikel ini pernah dimuat di VOA Indonesia dengan judul .