redaksiutama.com – Agustina Hadiastuti tinggal di Inggris sejak 31 tahun lalu. Dia lahir di Malang, di mana dia dulu juga berkuliah di bidang akuntansi. Sekarang, bersama suaminya yang orang AS keturunan Jerman, ia bermukim di kota kecil di pinggiran kota Cambridge.
Profesinya adalah sebagai analis di bagian keuangan, pada perusahaan Owlstone Medical, sebuah perusahaan yang membuat tes untuk mendeteksi kanker.
Ia bercerita, pendiri perusahaan itu adalah seorang lulusan Universitas Cambridge dan sangat pandai. Karena istrinya meninggal akibat kanker, ia membuat pendeteksi kanker, untuk membantu orang lain. Terutama untuk kanker paru-paru, karena kemungkinan lebih mudah dideteksi dibanding kanker lainnya.
Awalnya itu cuma perusahaan kecil, tapi sekarang sudah semakin besar karena pemasaran yang baik. Begitu diceritakan Agustina Hadiastuti.
Menetap di negeri orang yang dipimpin ratu
Ia bercerita, dari sudut pandangnya, sebetulnya tidak ada bedanya tinggal di negara yang berbentuk monarki dan yang berbentuk republik, karena raja atau ratu di Inggris hanya sebagai simbol saja. Yang memimpin pemerintahan adalah perdana menteri.
“Seperti di Indonesia saja. Kan di Solo atau Yogyakarta ada juga ningrat. Di sini ada ratu, ada pangeran. Kita ikut seneng kalau ada perayaan-perayaan.” Sedangkan dalam hal politik, sama saja seperti di Indonesia.
Dia bercerita, dia tidak pernah bertemu langsung dengan Ratu Elizabeth II yang baru mangkat. “Jarang sekali orang yang bisa bersama-sama dengan queen.”
Tapi ketika masih hidup, Ratu Elizabeth II adalah sosok yang sangat menonjol di masyarakat. Ia selalu memberikan pidato di saat Natal. Dan pidatonya selalu jadi acara yang ditunggu-tunggu orang pada tanggal 25 Desember setiap tahun, tepatnya pukul tiga sore.
“Hari Natal itu kalau tanpa queen’s speech itu rasanya seperti bukan Natal, gitu lho,” katanya sambil tersenyum, “kita semua duduk dan mendengarkan.” Jadi walaupun dia tidak memimpin politik Inggris, Ratu Elizabeth II sangat penting bagi rakyatnya.
Agustina Hadiastuti menceritakan, dari semua anggota keluarga kerajaan, Ratu Elizabeth II yang paling disayang rakyat. Antara lain, karena anggota keluarga kerajaan yang lain kadang terlibat atau membuat sensasi. “Jadi orang-orang sangat terpukul lah. Meskipun kita semua tahu, ya, mungkin sudah waktunya.”
Ia menambahkan, karena ketika Pangeran Philip wafat tahun lalu, Ratu Elizabeth kelihatannya sedih sekali. Walaupun dia memang sudah berusia lanjut, tapi sebelumnya, masih tampak segar.
“Sepertinya menurun daya tahan tubuhnya, karena mungkin sangat merasa kehilangan Pangeran Philip yang jadi suaminya selama 73 tahun,” kata Agustina Hadiastuti.
Ditambah lagi, ketika peringatan 70 tahun Elizabeth naik tahta sebagai Ratu Inggris, ia hadir tidak dalam semua acara. Itu membuat banyak orang menduga sang Ratu mulai sakit-sakitan.
Ratu jadi panutan bagi rakyatnya
Ia bercerita, buat sebagian besar orang Inggris yang ia kenal, Ratu Elizabeth II seperti tidak punya kesalahan sama sekali, walaupun bukan berarti tidak ada negatifnya sama sekali. “Jadi Ratu itu yang paling berwibawa, paling bisa membawa diri, paling baik.”
Mengingat Ratu Elizabeth II sudah naik takhta tahun 1952, ketika baru berusia 25 tahun, orang-orang Inggris yang berusia lanjut juga sudah mengenal dia sangat lama sebagai ratu mereka. Ia juga menjadi panutan bagi banyak orang. “Jadi, ya sedih banget,” kata Agustina Hadiastuti.
Dibanding dengan ibunya, Pangeran Charles yang sekarang jadi Raja Charles III citranya di masyarakat kurang mulus. Tapi belakangan ini, tampaknya masyarakat sudah memaafkan Charles pula.
“Mungkin karena dia sudah lebih tua. Jadi ga neko-neko, wibawanya tambah, dan dia juga baik,” kata Agustina Hadiastuti dan menambahkan, Charles juga menunjukkan bahwa cintanya kepada Camilla, yang sekarang jadi istrinya, memang sungguh-sungguh. “Jadi, why not.” Mengapa tidak?
“Mereka merasa kehilangan ibu”
Ia bercerita pula, orang Inggris merasa kehilangan ibu dengan wafatnya Ratu Elizabeth II. “Selain itu, banyak orang juga menyadari, ini adalah ratu Inggris yang terakhir, yang akan mereka alami selama masih hidup.” Karena dalam urutan keluarga, setelah Raja Charles III yang ada hanya putra mahkota. Jadi orang juga kerap menyebut Ratu Elizabeth II sebagai the last queen, atau ratu terakhir.
Jadi orang Inggris merasa dekat dengan ratunya seperti halnya dekat dengan ibu. “Dia juga yang selalu menengahi. Misalnya ketika politik bergolak.” Tepatnya antara dua kubu yang mendapat dukungan terbesar di Inggris, yaitu kubu konservatif dan kubu yang menginginkan pembaruan.
“Jadi kita semua melihat, ‘Oh, ya, queen sudah mengatakan begini. Baguslah.’ Pokoknya dia queen yang seperti ibu, deh.” Dan itu memang tugasnya sebagai ratu, demi negaranya.
Dulu, ibu dari Ratu Elizabeth II, yang disebut orang Queen Mother juga sangat dicintai rakyat Inggris, walaupun dia bukan ratu Inggris, dan ‘hanya’ istri raja, kata Agustina Hadiastuti. “Dia juga dulu ngayom. Dan Elizabeth nurunin ibunya. Jadi mereka itu dicintai rakyat.”
Bagi Agustina Hadiastuti sendiri, Ratu Elizabeth II juga punya makna tersendiri. “Saya orang Jawa, ya. Ada tata cara di Inggris yang mengingatkan saya kepada budaya kita,” katanya sambil tersenyum. Ia menambahkan juga, seperti halnya orang lain, dia merasa queen selalu ada. “Kayaknya dia ada terus, gitu lho. Tapi tahu-tahu dia sekarang enggak ada. Bagaimana ini nanti?”
Jadi bagi Agustina Hadiastuti sendiri, sosok Ratu Elizabeth II juga sangat penting. Dia bertutur, semua orang Indonesia di Inggris yang ia kenal baik, juga senang dengan Ratu Elizabeth II.
“Dan saya merasa beruntung sekali, bisa ikut menyaksikan, ikut mengalami ini, sejarah dunia ini,” begitu tuturnya. Dia juga mengikuti semua pemberitaan, juga bagaimana sang Ratu berbicara ketika dia kesusahan. Misalnya ketika adiknya, Putri Margaret, meninggal tahun 2002, yang tak lama kemudian disusul di tahun sama, oleh ibunya.
Namun di antara kesedihan, juga ada kebahagiaan. Misalnya pernikahan cucu-cucu Ratu Elizabeth II. Jadi meskipun bukan orang Inggris asli, Agustina Hadiastuti ikut merasa bangga pula.
Tapi dia mengaku tidak pernah hadir bersama massa di depan Buckingham Palace, ketika keluarga kerajaan tampil di atas balkon dan melambaikan tangan ke rakyat dalam acara tertentu. Penyebabnya adalah, dia tinggal jauh dari London, di dekat Cambridge, dan acara-acara penting kerap jatuh di hari kerja.
Tapi hari Sabtu, 10 September lalu, dia menyempatkan diri menempatkan bunga di dekat Buckingham Palace, London. “Tapi enggak bisa terlalu dekat. Karena sudah ditutup polisi.” Tapi dia merasa sangat senang, karena bersama dia juga hadir banyak sekali orang. Dari situ juga timbul rasa kebersamaan.
Hingga dikuburkan nanti di gereja St. George’s Chapel di istana Windsor Castle, peti jenazah Ratu Elizabeth II disemayamkan di Westminster Abbey di London. Warga yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir sudah membentuk antrean sepanjang beberapa kilometer.
Diperkirakan hingga seseorang berhasil melihat peti jenazah, dia harus menunggu sekitar 30 jam. Agustina Hadiastuti mengatakan, kalau mengantre seperti itu, orang akan tidur di jalanan. Kadang hanya membawa segulung plastik untuk menutupi kepala dan tubuh jika hujan turun.
“Yang kaya begini-begini itulah, yang mendukung solidaritas,” katanya, karena hal seperti itu kebersamaan terbentuk. Karena menunggu beramai-ramai, jadi orang merasa senang pula. “Jadi seperti orang camping.”
Ratu sebagai elemen pemersatu negara dan Commonwealth
Menanggapi sikap orang-orang yang tidak suka dengan sistem monarki di Inggris, yang dinilai antara lain menggunakan uang pajak, Agustina Hadiastuti mengungkap, adanya keluarga kerajaan juga membawa keuntungan besar berupa pemasukan bagi negara.
“Karena banyak turis yang datang untuk melihat mereka,” begitu tuturnya, “jadi saya juga tidak merasa keberatan.” Lagipula, sekarang mereka yang mendukung sistem monarki jumlahnya masih lebih banyak, dibanding mereka yang ingin menghapuskan.
Tapi wafatnya Ratu Elizabeth II bisa menyulut perubahan besar pula. “Karena itu, orang-orang ada yang khawatir,” katanya. Sekarang saja, sudah ada beberapa negara yang menyatakan sedang mempertimbangkan keluar dari Commonwealth, yang juga berada di bawah naungan kekuasaan kerajaan Inggris.
Barbados sekarang bahkan sudah memberikan pernyataan akan keluar. Sehingga sekarang orang juga merasakan kehilangan Ratu sebagai kehilangan elemen pemersatu.
Banyak juga orang yang lebih suka jika William saja yang menjadi raja bukan Charles. Mengingat William belum pernah terlibat skandal apapun. Demikian diceritakan Agustina Hadiastuti.
“Tapi saya melihat pidato Charles kemarin, kok rasanya kasihan juga,” katanya sambil tertawa. Bisa saja Raja Charles III hanya akan menjadi raja beberapa tahun, kemudian menyerahkan takhta ke William. Siapa yang tahu? Tetapi mengingat ada perpecahan antara William dan Harry, mungkin Raja Charles III ingin berusaha mempersatukan kedua anaknya. Itu semua hanya spekulasi dan masih harus dilihat di masa depan.
Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul .