Australia Kembangkan Obat Patah Hati, Bagaimana Sistem Kerjanya?

redaksiutama.com – Ketika seseorang mengalami kesedihan mendalam karena ditinggal orang yang dicintai, sering muncul istilah dia menderita ‘patah hati’.

Patah hati, yang sebelumnya lebih bersifat psikologis, sekarang dinyatakan sebagai kondisi yang menunjukkan gejala fisik.

Ketika suaminya meninggal tiba-tiba setelah usia pernikahan lebih dari 50 tahun, Sandra Brown didiagnosa menderita patah hati.

Setelah kematian suaminya, ia mulai merasa dadanya sesak dan kesulitan bernapas.

Dia menggambarkan seperti merasa suntikan adrenalin yang menjalar ke seluruh tubuh dengan perasaan sedih dan putus asa yang mendalam.

Dua bulan setelah suaminya meninggal, kondisinya semakin memburuk.

“Rasanya seperti sesak dan susah bernapas,” kata dia.

Awalnya Sandra menduga mungkin tubuhnya terlalu panas setelah terkena sinar matahari, karena dia baru selesai mencuci mobil di luar rumah dengan matahari yang terik.

Ketika dadanya sesak, Sandra memanggil ambulans.

Dia dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan menderita kondisi yang disebut sindrom patah hati yang juga dikenal dengan nama sindrom Takotsubo.

“Saya pernah mendengar orang yang meninggal karena patah hati, tapi saya tidak tahu ada yang namanya sindrom patah hati,” katanya.

Penyebab patah hati

Tahun lalu Nicola Parin juga dinyatakan menderita hal yang sama setelah mengalami serangan fisik.

Insiden tersebut terjadi ketika ketika dia sedang membawa jalan anjingnya di Adelaide Utara.

Anjingnya dan seekor anjing lain saling menyerang dan ketika dia menarik anjingnya, pemilik anjing satu lagi memukul wajah Nicola.

Dia kemudian dibawa ke rumah sakit dan mengatakan kepada petugas bahwa jantungnya terasa “aneh.”

“Mereka mengira saya mengalami serangan jantung,” kata dia.

Dokter spesialis jantung di Adelaide, Gao-Jing Ong, mengatakan kondisi patah hati ini biasanya disebabkan karena stres emosional atau fisik yang sangat kuat seperti ketika seseorang ditinggal orang yang dicintai atau saat putus dari hubungan.

“Tetapi pasien juga bisa mengalami hal ini saat gembira, seperti ketika menang lotre atau diterima di pekerjaan baru,” jelas dia.

Dr Ong mengatakan penderita kondisi ini sebenarnya lebih banyak dari yang diperkirakan orang.

“Diperkirakan penderitanya sekitar 2 persen dari seluruh pasien yang datang ke rumah sakit dengan dugaan serangan jantung,” katanya.

Namun, jumlahya lebih tinggi di kalangan perempuan lanjut usia, karena ‘Takotsubo’ ditemukan di sekitar 10 persen dari pasien yang ke rumah sakit karena serangan jantung.

‘Takotsubo’ kadang diduga sebagai serangan jantung, namun Dr Ong mengatakan perbedaannya adalah dengan melihat bilik jantung sebelah kiri.

Dia mengatakan bilik jantung itu akan membesar seperti gurita, karena itu nama sindrom ini diambil dari bahasa Jepang ‘Takotsubo’.

Uji coba obat patah hati

Kondisi patah hati bisa berakibat fatal namun sampai sekarang belum ada obat yang bisa menanganinya.

Dr Ong dan rekan-rekannya berharap akan mengubah hal tersebut dengan melakukan uji coba menggunakan obat darah tinggi.

Dr Ong mengatakan 70 orang warga Australia Selatan saat ini terlibat dalam uji coba selama 12 pekan dan dia ingin menambah 30 orang pasien lagi.

“Saya kira ini akan penting karena penanganan kondisi sejauh ini hanya dengan menduga-duga saja,” kata dia.

Dr Ong mengatakan jika uji coba berhasil, banyak orang yang mengalami sindrom akan terbantu.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

error: Content is protected !!