Obat Sirup Berbahaya: 324 Anak Meninggal, BPOM Digugat

redaksiutama.com – Pandemi belum usai, masyarakat Indonesia sudah diguncang dengan masalah kesehatan baru pada pertengahan 2022. Tercatat, penyakit yang sempat misterius dan tidak diketahui penyebabnya ini telah merenggut 324 nyawa anak-anak yang mayoritas berusia di bawah 5 tahun.

Malapetaka ini berawal ketika kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA) pada anak atau sebelumnya dikenal sebagai gagal ginjal akut misterius tercatat naik signfiikan di sejumlah daerah. Belakangan, telah diketahui bahwa kasus yang serupa terjadi di Gambia, Afrika yang disebabkan oleh obat sirup mengandung zat beracun, yaitu etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

Berikut adalah kronologi kasus yang sempat menjadi sorotan pembicaraan selama 2022, khususnya di kalangan para orang tua:

Semua berawal sejak Agustus 2022. Pada Agustus, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan 35 kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di Indonesia, kemudian meningkat menjadi 76 kasus pada September 2022. Meskipun telah ditemukan sejak Januari 2022, IDAI menyebutkan bahwa kasus misterius ini baru mengalami lonjakan signifikan pada September 2022.

Pada 14 Oktober 2022, IDAI kembali mengumumkan bahwa pihaknya menemukan total 152 kasus gangguan ginjal akut. Selang empat hari kemudian, yaitu 18 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mencatat 189 kasus yang didominasi oleh anak usia satu sampai lima tahun.

Pada saat itu, sebagian besar pasien gagal ginjal akut mengalami keluhan diare, mual, muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk, dan mengalami gejala penurunan volume air kencing (oliguria) hingga tidak ada buang air kecil sama sekali (anuria).

Awalnya, para dokter menduga kasus ini berkaitan dengan MIS-C atau peradangan multisistem pasca Covid-19. Namun, berdasarkan analisis kasus, sebagian besar pasien dinyatakan negatif Covid-19 sehingga Covid-19 bukan menjadi penyebab kasus.

Pada 18 Oktober, Kemenkes menginstruksikan seluruh apotek di Indonesia untuk menyetop sementara penjualan obat bebas dalam bentuk sirup atau sediaan cair kepada masyarakat. Instruksi tersebut dikeluarkan sebagai upaya kewaspadaan atas kasus gangguan gagal ginjal akut.

“Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Surat Edaran (SE) Kemenkes Nomor SR.01.05/III/3461/2022.

Kasus gagal ginjal akut pada anak terus bertambah dengan tingkat kematian sempat melebihi angka 50%. Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Kemenkes, dr. Mohammad Syahril mengungkap bahwa pihaknya telah membeli obat penawar (antidotum), Fomepizole, dari luar negeri untuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rumah sakit rujukan.

Pada 29 Oktober, Kemenkes mendatangkan sebanyak 200 vial Fomepizole 1,5 ml. Penawar yang didatangkan dari Jepang tersebut merupakan hasil donasi dari PT Takeda Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah mendatangkan obat penawar ini dari Singapura, Australia, dan rencananya Amerika Serikat.

Kemenkes bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan penyelidikan terhadap obat-obat sirup. Salah satu hal yang dilakukan oleh Kemenkes adalah mengumpulkan kemasan obat-obatan sirup yang dikonsumsi oleh pasien sebelum mengidap gagal ginjal akut.

Pada 21 Oktober, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan penyebab gangguan gagal ginjal akut pada anak. Menurut Budi, berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan pada sebelas pasien anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), tujuh di antaranya positif memiliki senyawa berbahaya dalam tubuhnya, yaitu ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).

“Itu (ketiga senyawa berbahaya) ada di mereka. Jadi confirmed karena itu lebih dari 50 persen. 60 persenan itu confirmed bahwa ini (Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif) disebabkan oleh senyawa kimia tadi,” tegas Budi dalam konferensi pers, Jumat (21/10/2022).

BPOM juga telah menarik peredaran sedikitnya 69 obat sirup yang terbukti mengandung zat kimia berbahaya penyebab gagal ginjal akut.

BPOM telah menemukan 6 (enam) perusahaan farmasi yang memproduksi sirup obat dengan kadar cemaran EG/DEG yang melebihi ambang batas aman. Keenam perusahaan tersebut adalah PT Yarindo Farmatama (PT YF), PT Universal Pharmaceutical Industries (PT UPI), PT Afi Farma (PT AF), PT Ciubros Farma (PT CF), PT Samco Farma (PT SF), dan PT Rama Emerald Multi Sukses (PT REMS).

Adapun dua dari enam perusahaan tersebut, yakni PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical telah ditetapkan sebagai tersangka.

Jubir Kemenkes, dr. Syahril menyatakan bahwa jumlah kasus gagal ginjal akut anak mengalami penurunan sejak Kemenkes mengeluarkan SE yang berisi larangan memberikan atau meresepkan obat sediaan cair atau sirup kepada pasien anak.

Selain itu, sejumlah pasien yang diberi obat penawar juga mulai menunjukkan perbaikan.

Kepala BPOM Penny Lukito mengaku bahwa selama ini pihaknya memang tidak pernah melakukan pengujian terhadap kadar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada obat-obatan sirup. Menurutnya, hal itu karena di dunia internasional belum ada standar untuk pengujian kadar kedua bahan tersebut pada obat-obatan.

Akibat hal tersebut, BPOM digugat oleh Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas tuduhan telah melakukan tindakan pembohongan publik dan tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap peredaran obat sirup.

Menanggapi gugatan, BPOM membantah bahwa pihaknya telah kecolongan dalam pengawasan obat-obatan. “Kami menyatakan bahwa Badan POM tidak kecolongan dikaitkan dengan aspek kejahatan. Ini adalah aspek kejahatan obat. Sistem pengawasan yang telah dilakukan Badan POM sudah sesuai ketentuan,” tegas Penny K. Lukito dalam konferensi pers, Kamis (17/11/2022).

BPOM menilai, munculnya masalah tercemarnya obat sirup dengan EG dan DEG karena adanya celah dari hulu ke hilir. Penny menjelaskan, bahan baku khusus pelarut yang digunakan oleh industri farmasi di Indonesia, seperti Polietilen Glikol (PEG), sepenuhnya adalah barang impor. Yang jadi persoalan, bahan baku tersebut masuk ke Indonesia tidak melalui pengawasan BPOM, melainkan Kementerian Perdagangan melalui skema non larangan dan pembatasan. Alasannya karena bahan baku khusus pelarut juga digunakan oleh industri lain, termasuk untuk pelarut cat dan tekstil.

“Jadi bukan karena BPOM tidak melakukan pengawasan, tapi karena aturan yang ada sekarang tidak ada dalam pengawasan BPOM,” tegasnya kembali.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menganggap bahwa kasus Gangguan Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA) di Indonesia telah selesai. Ini karena tidak ada lagi laporan kasus baru dalam dua minggu terakhir. Selain itu, kasus kematian pun turut menurun.

“Kalau ginjal akut, dari sisi Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah selesai. Kenapa? Sejak kita berhentiin obat-obatan tersebut itu turun drastis dan sudah tidak ada kasus baru lagi itu,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Jumat (18/11/2022).

Pada November, BPOM mengatakan bahwa pihaknya sedang memproses rencana pelarangan dan pembatasan (lartas) impor Bahan Baku Obat (BBO) etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut dan antisipasi kembali terjadinya kasus gagal ginjal akut pada anak.

“Kita sekarang sedang proses yang nanti akan dituangkan dalam regulasi. Dari Bea Cukai sendiri sudah akan dilakukan, diberikan kepada BPOM kewenangan itu untuk memberikan izin post border,” jelas Plt. Direktur Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor BPOM, Togi Junice Hutadjulu melalui gelar wicara virtual, Kamis (24/11/2022).

error: Content is protected !!