redaksiutama.com – Kebisingan tak bisa dihindari dari kehidupan manusia. Bayangkan saja, di sekitar kita terdapat banyak sumber suara yang jika dihasilkan dalam intensitas tinggi dan terus menerus, bisa mengakibatkan gangguan pada pendengaran. Baik itu suara kendaraan, suara di lingkunganpekerjaan seperti mesin industri, atau bahkan suara yang didengarkan secara sentral seperti yang dihasilkan oleh earphone , headphone, atau headset.
Banyak pula orang yang tak bisa lepas dari musik dalam kesehariannya, sehingga tak jarang pula mereka sampai keterusan memakai earphone saat tidur. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, sekitar 1 miliar anak muda di seluruh dunia berisiko mengalami gangguan pendengaran karena kebiasaan mendengarkan musik atau suara digital melalui earphone .
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher THT-BKL (Perhati-BKL) Indonesia Prof Dr Jenni Bashiruddin menyebutkan, penggunaan earphone yang terus menerus apalagi suara yang didengarkan begitu keras, bisa mengganggu fungsi telinga.
Saat ini penggunaan earphone semakin banyak ditemukan. Tak hanya pada anak-anak muda, melainkan hingga usia dewasa dan orangtua. Eksposur volume yang diberikan earphone ke telinga mampu menghasilkan tingkat suara yang sangat keras di dekat telinga sehingga berbahaya.
Penggunaan earphone meningkat saat pandemi, karena banyak anak-anak yang melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) menggunakan komputer, dan ponsel pintar. Untuk mereduksi suara di sekitar, banyak anak-anak menggunakan earphone sehingga membentuk sebuah kebiasaan baru.
Kebiasaan tersebut juga dialami orang dewasa, yang menjalani aktivitas bekerja dari rumah (work from home). Bahkan, intensitas penggunaan earphone pada orang dewasa juga meningkat. Soalnya, digunakan dalam waktu yang relatif lama, yakni dari pagi hingga sore atau malam hari selama bekerja.
Untuk mencegahnya, Jenni mengatakan masyarakat sebaiknya menerapkan teori 60- 60 dalam hal antisipasi kebisingan. Teori tersebut menyebutkan, tidak boleh lebih dari 60 persen volume suaranya dan tidak boleh digunakan lebih dari 60 menit berturut-turut.
“Makanya lebih baik menggunakan suara normal yang bisa didengarkan juga oleh lingkungan sekitar, sehingga intensitasnya bisa menyebar,” ucap Jenni, di sela pembukaan Kongres Nasional Perhati-KL di Bandung.
Penggunaan earphone membuat sumber bunyi terlalu dekat dengan gendang telinga, sehingga suara yang masuk ke telinga terlalu keras dan mengganggu struktur rumah siput di telinga dalam. Rumah siput ini terdiri dari sel-sel rambut yang sangat halus, yang apabila diberikan suara terus-menerus dan keras, dapat rusak. Kerusakan pada rumah siput bersifat permanen. Sehingga, juga bisa menyebabkan tuli permanen.
“Karena kerusakannya bersifat permanen, maka tidak bisa juga diperbaiki dengan cara dioperasi,” ujarnya.
Mitos
Sementara itu, Jenni juga menyebutkan bahwa hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang belum menyadari gangguan pendengaran yang terjadi pada organ THTKL.
Banyak pula mitos yang menyertai, sehingga masyarakat tidak memandang serius persoalan penyakit ini. Misalnya, gangguan pendengaran adalah proses alami yang tidak bisa dihindari. Artinya, setiap orang, jika sudah berusia lanjut, akan mengalami gangguan pendengaran.
Mitos lainnya, gangguan pendengaran hanya terjadi pada orangtua, dan gangguan pendengaran tidak akan berdampak pada kesehatan. Telinga berdengung atau disebut tinitus, juga sering kali dikaitkan dengan primbon atau kejadian tertentu di masa depan. Padahal, tinitus berkaitan dengan masalah pendengaran.
Jika sering mendengar suara gemuruh, siulan, atau desis di telinga tetapi tidak ada sumber suara eksternal, maka kemungkinan orang tersebut menderita tinitus. Suara tersebut bisa terdengar di satu atau kedua telinga. Penyebab tinitus adalah kerusakan pada telinga bagian tengah atau telinga bagian dalam. Paparan suara yang sangat keras secara teratur dapat menyebabkan telinga berdengung.
Tinitus juga dapat membuat seseorang menjadi frustrasi. Terkadang suara yang didengar dapat mengganggu pendengaran suara yang nyata di sekitar. Bahkan, tinitus bisa terjadi ketika seseorang mengalami depresi, kecemasan, dan stres.
“Karena banyak mitos, banyak orang yang tidak menganggap serius permasalahan gangguan pendengaran,” ujarnya.
Gangguan terbanyak
Jenni menyebutkan, sedikitnya ada lima gangguan pendengaran yang paling banyak diderita masyarakat Indonesia. Pertama, adalah penyumbatan kotoran telinga. Kotoran telinga atau serumen adalah zat lilin yang secara alami dihasilkan oleh kelenjar khusus di bagian luar telinga. Zat lilin ini berguna untuk mencegah debu dan partikel kecil lain masuk ke dalam telinga.
Normalnya, kotoran telinga akan mengering dan keluar dari telinga dengan sendirinya. Akan tetapi, terkadang kotoran telinga justru menumpuk dan menyumbat saluran telinga. Kebiasaan membersihkan telinga menggunakan cotton bud juga bisa mendorong kotoran telinga semakin dalam dan memperburuk kondisi ini. Menumpuknya kotoran ini bisa menyebabkan beberapa keluhan, seperti gatal pada telinga, telinga terasa penuh, timbul rasa sakit pada telinga, telinga berdenging, pusing, bahkan menurunnya kemampuan mendengar.
Gangguan kedua adalah infeksi telinga, terutama infeksi di telinga bagian tengah yang dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Kondisi ini terjadi ketika dinding saluran eustachius mengalami pembengkakan akibat reaksi alergi, flu, atau infeksi di hidung. Hal ini menyebabkan tuba eustachius tersumbat dan mudah terinfeksi.
Pada anak-anak, infeksi telinga tengah atau otitis media dapat menimbulkan gejala berupa rasa sakit di telinga, sulit tidur, rewel, demam, dan tidak merespons terhadap suara.
Sementara pada orang dewasa, gejalanya bisa berupa rasa sakit di telinga, keluarnya cairan dari dalam telinga, dan berkurangnya kemampuan mendengar.
Tiga gangguan pendengaran tersering yang disebutkan Jenni adalah gangguan pendengaran karena bising, gangguan pendengaran karena usia lanjut, dan gangguan pendengaran kongenital yang dialami sejak bayi baru lahir.***