redaksiutama.com – Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ mengatakan bahwa gangguan jiwa bukan tanda-tanda seseorang lemah iman , kurang beribadah, dan kurang bersyukur. Pasalnya, gangguan jiwa pada dasarnya merupakan sebuah penyakit.
“Banyak yang beranggapan bahwa depresi, gangguan jiwa , pasti kurang iman, kurang bersyukur. Ini sebenarnya mitos, karena gangguan jiwa itu penyakit, sama seperti penyakit fisik. Semua bisa kena termasuk dokter, tenaga medis, pemuka agama juga,” kata Zulvia dalam acara bincang-bincang mengenai kesehatan mental yang digelar daring akhir pekan lalu, seperti dilansir Antara.
Faktanya, berdasarkan hasil riset, ditulis Dokter Harold Koenig dalam jurnal ISRN Psychiatric seperti dikutip laman National Library of Medicine, keyakinan dan praktik keagamaan telah lama dikaitkan dengan histeria, neurosis, dan psikotik delusi.
Namun demikian, di sisi lain, sejumlah penelitian juga mengidentifikasi praktik keagamaan mungkin berguna sebagai sumber psikologis dan sosial untuk mengatasi stres.
Dokter Zulvia yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) menjelaskan bahwa saat menghadapi tekanan atau stres, setiap orang memiliki mekanisme coping yang berbeda. Ada orang yang memilih tidur, ada juga yang memilih makan, belanja, jalan-jalan, dan beribadah.
Jadi, tiap individu punya mekanisme berbeda saat mereka mengatasi tekanan hidup. Oleh karena itu, menurut dia, kebanyakan orang menganggap bahwa orang yang mengalami masalah kesehatan mental adalah orang yang kurang ibadah.
Alih-alih menyarankan ke psikiater, mereka akan lebih menyarankan untuk memperbanyak ibadah. Bahkan, mereka diminta pergi ke ulama. Saran seperti itu justru bisa semakin memperparah gangguan jiwa yang diidap.
“Ibadah, doa, itu bisa meredakan stres, tapi bukan satu-satunya cara. Bukan pula berarti orang yang nggak bersyukur pasti akan terkena gangguan, karena tadi, konsepnya adalah penyakit,” kata Zulvia.
Ia juga menjelaskan, ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa , yakni faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Menurut dia, faktor biologis bisa berasal dari genetik. Jika dia memiliki anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan jiwa , maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia juga berisiko mengalami hal yang sama.
“Selain itu juga bisa jadi ada perubahan pada cara kerja otaknya,” katanya.
Sementara itu, faktor psikologis bisa berasal dari pola pengasuhan yang dia terima hingga ada atau tidaknya riwayat trauma hingga perundungan.
Sedangkan faktor sosial bisa berasal dari kondisi yang dia alami seperti PHK, putus cinta, hingga masalah rumah tangga. Karena gangguan jiwa merupakan penyakit, Zulvia pun mengatakan bahwa orang yang mengalaminya tentu harus mendapatkan pengobatan dari dokter.
“Ini sama kayak orang sakit tifus, TBC, nggak cuma ibadah lalu sakitnya sembuh. Kan tetap harus diobati, terus berdoa. Sama, gangguan jiwa begitu. Berobat juga dan beribadahlah silakan untuk melengkapi pendekatan terhadap penyakit”
“Ketika seseorang berobat sejak dini, jadi jangan ditunda-tunda, dia bisa tetap berfungsi dengan baik. Tetap kece, tetap bisa kerja, tetap aktif, nggak kelihatan punya masalah gangguan mental,” tuturnya.***