Bahaya Antimicrobial Resistance, Bisa Jadi Pandemi Senyap

redaksiutama.comPIKIRAN RAKYAT – Resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance ( AMR ) adalah salah satu dari sepuluh ancaman ­kesehatan masyarakat di dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) ­menyatakan bahwa AMR mengancam pencegahan dan ­pengobatan yang efektif dari berbagai infeksi yang terus meningkat, yang disebabkan ­bakteri, parasit, virus, dan jamur.

Angka kematian akibat AMR sampai 2014 sebanyak 700.000 orang per tahun. Lewat semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada 2050, kematian akibat AMR lebih besar dibanding kematian yang diakibatkan oleh kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa.

Dengan demikian, AMR bisa menjadi pandemi senyap atau silent pandemic yang berbahaya bagi kesehatan manusia di masa depan. Akan tetapi, masyarakat umum masih banyak yang belum mengetahui apa yang dimaksud dengan AMR itu sendiri.

“Resistansi antimikroba ( AMR ) terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kemati­an,” kata Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (Praindo) Dr Harry Parathon, SpOG (K), dalam webinar yang berlangsung Selasa 29 November 2022 lalu.

Bahaya lain dari AMR adalah, resistensi bakteri muncul lebih cepat ketimbang penemuan agen mikroba baru. Ini tentu menjadi masalah keamanan global, karena dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan.

Dia menambahkan, AMR merupakan kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, fungi dan parasit menjadi resisten atau kebal terhadap antimikroba (antibiotik, antivirus, antifungal, antiparasit) yang sebe­lumnya efektif untuk mencegah atau membunuh mikroorganisme tersebut.

Salah satu area yang saat ini masih memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka.

AMR memeng­aruhi prosedur manajemen luka karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memung­kinkan masuknya mikroba , termasuk yang resistan antimikroba ke dalam jaringan.

Menurut Harry, saat ini pengendalian AMR sudah berjalan. Salah satunya dengan usaha penerapan antimirobial stewardship (AMS).

AMS menjadi strategi untuk meme­rangi peningkatan AMR dengan berfokus pada penggunaan antimikroba yang tepat guna oleh profesional kesehatan dengan mengikuti aturan dan pedoman, mening­katkan hasil perawatan pasien, mengurangi resistansi mikroba , dan mengurangi penyebaran infeksi yang disebabkan oleh organisme yang resistan terhadap obat.

“Maka dari itu, AMS menjadi penting di semua area perawatan kesehatan termasuk area spesialis manajemen luka,” ujarnya.

Infeksi yang disebabkan bakteri resistan antibiotik lebih sulit diobati dan menyebab­kan biaya pengobatan yang lebih tinggi, ­perawatan di rumah sakit yang lebih lama, dan meningkatkan risiko kematian.

Antibiotik

Salah satu faktor pemicu meningkatnya kejadian resistensi antimikroba adalah penggunaan antimikroba tak bijak. Selain pada manusia, juga bisa terjadi pada hewan.

Penggunaan antibiotik pada sektor pertanian, peternakan dan perikanan menyebabkan infeksi pada hewan dan tumbuhan makin sulit untuk diobati.

Selain itu, penyebaran kuman resisten dari binatang ternak dan kontaminasi ma­kanan oleh bakteri resisten antibiotik bisa menyebabkan manusia terinfeksi bakteri kebal antibiotik. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bila resistensi antimikroba akan melewati kanker dan diabetes sebagai penyebab kematian utama di dunia.

Pada manusia, dengan mengendalikan mikroba , infeksi dapat dicegah dan dengan demikian mengurangi kebutuhan antibiotik. Sekitar 70 persen bakteri penyebab infeksi pada luka, resisten terhadap sedikitnya satu jenis antibiotik yang umum digunakan.

Untuk itu, antibiotik perlu digunakan secara bijak, dan disesuaikan dengan kondisi keparahan penyakit. Jika dilakukan sembarangan, antibiotik membuat bakteri berubah sehingga menjadi kebal terhadap pengobatan.***

error: Content is protected !!