redaksiutama.com – Penelitian sains membutuhkan sejumlah metode dan sarana penunjang, salah satunya adalah menggunakan bagian tubuh manusia. Dalam mewujudkan hal tersebut, para peneliti pun memerlukan bantuan dari masyarakat awam.
Berkaitan dengan itu, ternyata ada sejumlah cara untuk ‘menjual’ tubuh untuk kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan.
Apa saja? Berikut rangkuman CNBC Indonesia, dilansir dari Science Alert.
Baru-baru ini NASA telah merekrut 24 sukarelawan untuk menghabiskan waktu selama dua bulan di tempat tidur untuk penelitian. Penelitian yang berlangsung di Jerman ini merupakan bagian dari studi terkait bagaimana gravitasi buatan dapat mempengaruhi tubuh.
Dilaporkan, para sukarelawan tersebut dibayar sebesar US$18.500 atau sekitar Rp290,7 juta (kurs Rp15.716/US$). Namun, untuk mendapat bayaran yang menggiurkan ini, 24 sukarelawan tersebut harus menghabiskan 60 harinya tanpa henti untuk berbaring dan melakukan seluruh eksperimen, makan, dan aktivitas lainnya sambil berbaring.
Selama penelitian berlangsung, kepala subjek penelitian harus selalu dimiringkan enam derajat ke bawah, bahkan saat makan dan menggunakan toilet.
Dibayar untuk berbaring selama beberapa bulan mungkin terdengar mudah, tetapi perlu diingat bahwa peneliti sedang mencari peserta yang memiliki ciri fisik dan psikologis astronot sungguhan.
“Kami ingin memastikan bahwa kami memilih orang yang siap secara mental untuk menghabiskan [dua bulan] di tempat tidur. Tidak semua orang merasa nyaman dengan itu. Tidak semua tipe orang dapat mentolerir waktu yang lama di tempat tidur,” jelas peneliti senior NASA, Roni Cromwell.
Plasma adalah salah satu komponen terbesar dalam darah manusia. Plasma yang berwarna kekuningan tersebut memiliki cairan kaya protein yang sebagian besar mengandung air, enzim, antibodi, dan garam.
Selain bertugas untuk membawa sel darah, plasma juga dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien yang mengalami gangguan pembekuan darah, penyakit autoimun, dan korban luka bakar.
Bila Anda mau melakukan donor plasma, darah akan diambil dan mesin secara otomatis akan memisahkan plasma dari komponen darah lainnya. Menurut Donating Plasma, rata-rata biaya yang dibayarkan kepada donatur plasma adalah US$50 atau sekitar Rp786 ribu per donasi.
Donasi sel telur adalah salah satu solusi untuk seseorang yang tidak bisa hamil karena tubuhnya tidak bisa menghasilkan sel telur yang sehat. Melalui donasi tersebut, mereka bisa memiliki harapan untuk punya keturunan.
Selama masa siklus donasi, pasien disuntik dengan obat kesuburan agar indung telurnya menghasilkan lebih banyak sel telur. Prosedur pengambilan telur memakan waktu sekitar 20 menit, tetapi mungkin memerlukan beberapa hari pemulihan. Diketahui, perempuan yang memenuhi syarat untuk melakukan donasi umumnya berusia antara 21 hingga 35 tahun.
Meskipun biaya yang bisa diperoleh donatur sel telur bisa mencapai US$14 ribu atau sekitar Rp220,2 juta, terdapat banyak risiko yang mengintai, yaitu pertumbuhan jaringan abnormal jangka panjang di luar rahim atau endometriosis, gangguan psikologis, infeksi, kerusakan ginjal, kanker, hingga kematian.
Mendonorkan sperma memiliki risiko yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan donor sel telur. Menurut Sperm Bank Directory dan Sperm Bank of California, pendonor sperma bisa mendapatkan bayaran dari US$35 atau sekitar Rp550 ribu hingga US$125 atau sekitar Rp1,9 juta.
Bank sperma umumnya selektif dalam memilih donor sperma. Dilaporkan, bank sperma mencari laki-laki sehat, memiliki tinggi tubuh minimal 170 cm, berpendidikan, dan memiliki usia di bawah 40 tahun.
Menyewakan rahim bukan merupakan hal asing lagi meskipun hal tersebut masih ilegal di banyak negara. Seperti yang telah diketahui, menyewakan rahim adalah kondisi ketika seseorang ‘meminjam’ rahim orang lain untuk mengandung anaknya sampai lahir.
Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, biaya untuk menyewa rahim adalah sebesar US$24 ribu atau sekitar Rp377,6 juta hingga US$45 ribu atau sekitar Rp708 juta.
Dalam pembuatan obat atau produk medis baru, diperlukan uji coba terhadap manusia untuk membuktikan efektivitasnya. National Institute for Health menjalankan datebase untuk studi klinis pada manusia di seluruh dunia.
Pada studi klinis tersebut, para sukarelawan menjadi ‘kelinci percobaan’ untuk produk medis baru. Sukarelawan umumnya dibayar untuk menjadi bagian dari bagian klinis. Terkait jumlah pembayaran, semua tergantung pada risiko. Semakin besar risikonya maka semakin besar imbalannya.
Menjadi sukarelawan studi psikologis berbayar, seperti studi yang meneliti perilaku manusia dan fungsi otak, mungkin tidak menghasilkan imbalan setinggi uji klinis. Namun, umumnya berisiko lebih rendah dan membutuhkan komitmen waktu yang lebih singkat.
Dilaporkan, sebagian besar universitas riset menyimpan database studi online sehingga masyarakat dapat mendaftar dengan mudah.
Seseorang dapat menghasilkan US$10 atau sekitar Rp157 ribu untuk mengidentifikasi beberapa warna atau US$130 atau sekitar Rp2 juta untuk penelitian terkait refleks manusia dengan cara mencelupkan lengan ke dalam bak air es.
Menyerahkan mayat diri sendiri untuk keperluan sains merupakan salah satu hal tabu, banyak ditentang masyarakat, dan sering dinilai tidak masuk akal. Namun, jika ada seseorang yang ingin dirinya berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, mereka bisa mengajukannya kepada para peneliti yang membutuhkan.
Tidak diketahui secara pasti berapa biaya yang diberikan oleh para peneliti untuk hal tersebut. Namun, BioGift dan Science Care menyebutkan bahwa pihaknya akan menanggung biaya kremasi hingga US$1.000 atau sekitar Rp15,7 juta.
Serupa dengan menjual plasma darah, seseorang juga bisa menjual sumsum tulang. Bagi pasien yang membutuhkan transplantasi sumsum tulang, penantian tersebut kadang bisa memakan waktu yang lama dan melelahkan.
Sumsum tulang adalah salah satu organ yang paling sulit ditemukan kecocokannya saat mencari transplantasi. Kemungkinan menemukan kecocokan adalah 29 persen hingga 79 persen. Menurut Be The Match, hal tersebut disebabkan karena ada pertimbangan dari latar belakang etnis pasien.