5 Mitos & Fakta Tampon, Benarkah Bisa Robek Selaput Dara?

redaksiutama.com Beberapa waktu belakangan ini, viral sebuah postingan TikTok dari Melanie Galeaz, perempuan asal Massachusetts, Amerika Serikat yang membagikan pengalamannya menggunakan tampon. Dalam video tersebut, Galeaz menceritakan bahwa dirinya tidak sengaja meninggalkan tampon di dalam vaginanya selama dua tahun.

Akibat hal tersebut, Galeaz didiagnosa toxic shock syndrome (TTS) atau komplikasi yang dapat mengancam jiwa akibat adanya beberapa jenis infeksi bakteri. Kejadian ini pun mengundang banyak respon dari warganet terkait tampon.

Sebenarnya, apa itu tampon?

Dilansir dari Food and Drug Administration (FDA), tampon adalah salah satu jenis penampung darah haid selain pembalut yang berbentuk tabung kecil dan dirancang untuk dimasukkan ke dalam vagina. Sama seperti pembalut, tampon hanya bisa digunakan sekali dan dapat membawa risiko infeksi, seperti infeksi ragi, jamur, dan bakteri bila digunakan berkali-kali.

Di Indonesia, penggunaan tampon masih sangat jarang karena terdapat sejumlah mitos terkait penggunaannya, salah satunya adalah dapat merobek selaput dara seseorang. Lantas, bagaimanakah mitos dan fakta tampon?

Sebagian besar perempuan menolak penggunaan tampon karena dikhawatirkan dapat merusak atau merobek selaput dara. Terlebih, selaput dara sering diidentikkan dengan keperawanan seseorang. Padahal selaput dara dan keperawanan bukanlah hal yang saling berkaitan.

Dilansir dari Cleveland Clinic, anggapan bahwa tampon bisa merobek selaput dara adalah mitos. Sebab, selaput dara bersifat fleksibel, elastis, dan memiliki ketebalan yang berbeda-beda. Umumnya, selaput dara bisa robek saat berhubungan intim, jatuh dari sepeda, menunggang kuda, dan olahraga berat sehingga tampon bukanlah satu-satunya penyebab robeknya selaput dara.

“Menggunakan tampon saja tidak akan menyebabkan selaput dara Anda robek,” tegas Spesialis Kesehatan Wanita, Sara Youngblood, dikutip Selasa (27/12/2022).

“Menggunakan tampon tidak menghilangkan keperawanan Anda. Keperawanan berhubungan dengan melakukan hubungan seksual,” lanjutnya.

Ada juga anggapan bahwa menggunakan tampon bisa membuat nyeri atau kram perut akibat menstruasi semakin parah. Akibatnya, banyak yang takut untuk menggunakan tampon, padahal hal tersebut belum terbukti secara ilmiah.

Nyeri atau kram perut saat menstruasi disebabkan oleh kontraksi dinding rahim yang lebih kuat dari biasanya. Saat masa menstruasi, rahim menghasilkan terlalu banyak prostaglandin atau senyawa kimia yang menyerupai hormon sehingga otot-otot rahim berkontraksi yang sangat kuat.

Youngblood menjelaskan, penggunaan tampon tidak berpengaruh sama sekali terhadap tingkat keparahan nyeri saat menstruasi.

“Kram terjadi ketika tubuh Anda melepaskan bahan kimia yang disebut prostaglandin yang memicu otot-otot di rahim Anda mengerut,” jelas Youngblood.

Dengan demikian, anggapan bahwa tampon bisa membuat kram perut semakin parah adalah mitos.

Sebuah studi menunjukkan bahwa menggunakan tampon dalam waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjangkit toxic shock syndrome (TTS).

Melansir dari Mayo Clinic, TSS merupakan komplikasi langka yang mengancam jiwa dari beberapa jenis infeksi bakteri. Kondisi ini bisa berakibat fatal dan disebabkan oleh strain bakteri Staphylococcus tertentu yang masuk ke dalam tubuh dan melepaskan racun berbahaya.

Kondisi TSS biasanya terkait dengan penggunaan tampon. Selain itu, penggunaan tampon juga bisa menimbulkan risiko terjadinya infeksi jamur. Namun, hal tersebut bisa dihindari bila tampon rutin diganti setiap empat hingga enam jam sekali.

“Kami merekomendasikan untuk mengganti tampon baru setiap empat hingga enam jam sekali dan tidak meninggalkan tampon yang sama lebih dari delapan jam,” kata Youngblood.

Anggapan bahwa tampon harus dikeluarkan saat ingin buang air kecil adalah mitos. Sebab, urin dan darah menstruasi keluar dari lubang yang berbeda. Darah menstruasi keluar dari lubang vagina, sedangkan urin keluar dari saluran uretra. Lalu, tampon dimasukkan ke dalam lubang vagina.

Meskipun lubang uretra dan vagina berdekatan sehingga tali tampon bisa sedikit basah saat buang air kecil, hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena urin termasuk steril untuk tali tampon.

“Urin sangat steril, jadi bila terkena sedikit ke dalam tampon string tidak meningkatkan risiko infeksi atau semacamnya,” jelas Youngblood.

Youngblood mengatakan, seseorang tetap bisa buang air besar saat menggunakan tampon. Namun, hal tersebut akan cukup sulit karena tekanan saat buang air besar dapat menyebabkan tampon keluar.

“Terkadang, kekuatan mendorong untuk buang air besar dapat mengeluarkan tampon Anda karena saluran untuk tinja dan vagina cukup banyak di atas satu sama lain,” jelas Youngblood.

Bila tidak berhati-hati, penggunaan tampon saat buang air besar bisa meningkatkan risiko penyakit akibat kontaminasi. Maka dari itu, tampon disarankan untuk dikeluarkan terlebih dahulu sebelum buang air besar.

“Jika tali tampon atau keseluruhan tampon Anda terkena tinja, bakteri seperti E. coli dapat masuk ke dalam vagina dan menyebabkan infeksi saluran kemih,” ungkap Youngblood.

error: Content is protected !!
Exit mobile version