Hasil studi Bank Dunia menyebutkan adanya peningkatan angkatan kerja perempuan ketika masa pandemi di Indonesia. Padahal, sebelumnya angkatan kerja perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Hal tersebut disampaikan Ririn Salwa Purnamasari, Senior Economist Indonesia & Malaysia Bank Dunia dalam acara webinar bertajuk ‘Women in Leaderhip: Perempuan di Tempat Kerja, Mengatasi Tantangan, Menggapai Keberhasilan’, beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan tersebut, Ririn juga mengatakan adanya peningkatan partisipasi ketenagarkerjaan perempuan di Indonesia terjadi pada hampir semua kelompok usia, kecuali 19-29 tahun, yang mana usia perempuan kemungkinan besar memiliki anak kecil. Banyak perempuan memasuki angkatan kerja, sementara banyak laki-laki keluar dari angkatan kerja.
“Mereka memasuki angkatan kerja kebanyakan dikarenakan penanggung jawab ekonomi rumah tangganya tidak bekerja lagi karena terdampak Covid-19. Pasalnya, pandemi membuat pencarian kerja menjadi lebih sulit dimana durasi masa mengganggur menjadi lebih lama,” jelasnya.
Peningkatan ketenagakerjaan perempuan ini sebagaian besar berasal dari kalangan berpendidikan rendah dari daerah pedesaan. Sehingga pertumbuhannya angkatan kerja perempuan ini berada pada sektor informal, sementara sektor formal mengalami penurunan. “Dari segi kualitas pekerjaan, penghasilan, jam kerja juga ikut menurun di masa pandemi,” kata Ririn.
Padahal, kata Achim Daniel Schmilen, Practice Leader untuk Pembangunan Manusia di Indonesia dan Timor Leste, Bank Dunia mengatakan bahwa pentingnya kesetaraan gender dalam angkatan kerja untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Dia menyampaikan, berdasarkan data Bank Dunia akan adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dari 52% di tahun 2019 menjadi 58% di tahun 2025.
“Ini bisa meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,7% dan akan menghasilkan US$62 miliar setiap tahunnya apabila peran perempuan diangkatan kerja ditingkatkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauzia terus mendorong adanya pemberdayaan perempuan sehingga bisa masuk ke dunia kerja. Pasalnya, selama ini masih banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan, salah satunya masih adanya ketimpangan dalam hal pendidikan dan kompetensi. Padahal hal tersebut merupakan modal dasar untuk perempuan bisa berdaya sehingga bisa masuk ke pasar kerja. Bahkan dia menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak bekerja informal sehingga dampaknya secara upah dan perlindungan sosial lebih rendah.
Dia menyebutkan, salah satu upaya pemerintah untuk membuat perempuan lebih berdaya yaitu dengan kebijakan perlindungan pekerja perempuan dalam Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan dan peraturan perundangan turunannya. Ida berharap bisa melakukan sinergi dengan semua pihak untuk mewujudkan pemberdayaan pekerja perempuan yang berorientasi zero accident, zero harassment dan zero discrimination.
Oleh karena itu, Ririn berharap adanya penyediaan jasa pengasuhan anak dan penurunan biaya bagi pemberi kerja untuk pemberian tunjangan cuti hamil serta adanya pengaturan kerja yang fleksibel.
Editor : Eva Martha Rahayu
Swa.co.id
Artikel ini bersumber dari swa.co.id.