Survei dari lembaga kajian ekonomi, Visual Capitalist, melaporkan sebanyak 25 negara di dunia terancam mengalami kebangkrutan. Mereka kesulitan keuangan untuk menambal cadangan devisa dan membayar utang.
Inflasi yang mencekik leher buah dari terkereknya harga pangan dan energi kian menambah runyam keadaan. Sri Lanka apalagi. Krisis bahan bakar minyak terjadi karena negara berpenduduk 22 juta jiwa itu tidak memiliki cukup mata uang asing untuk membayar impor barang-barang pokok, termasuk bensin dan solar.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Kekurangan bahan makanan dan bahan bakar menyebabkan harga melambung tinggi. Inflasi mencapai 30 persen. Depresi ekonomi pun terjadi.
Pemadaman listrik dan kurangnya obat-obatan membawa sistem kesehatan ke ambang kehancuran. Cadangan mata uang asing hampir habis.
Pada Mei 2022, Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri untuk kali pertama sepanjang sejarah. Banyak ahli mengatakan penyebab krisis Sri Lanka sebenarnya ialah salah urus ekonomi.
Bermula dari akhir perang saudara 2009, saat Sri Lanka memilih lebih fokus menyediakan barang untuk pasar domestik daripada mencoba memasoknya ke luar negeri. Jadi, pendapatan dari ekspor tetap rendah, sedangkan tagihan impor terus bertambah.
Sri Lanka sekarang mengimpor USD3 miliar (Rp45 triliun), lebih banyak daripada ekspornya setiap tahun. Alhasil, Sri Lanka bangkrut karena kehabisan mata uang asing. Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing USD7,6 miliar (Rp114 triliun).
Pada Maret 2020 turun menjadi USD1,93 miliar (sekitar Rp29 triliun). Lalu, baru-baru ini pemerintah mengatakan hanya memiliki sisa cadangan USD50 juta (Rp750 miliar).
Pemerintah Sri Lanka juga memiliki utang besar dengan negara-negara lain, termasuk Tiongkok, untuk mendanai proyek infrastruktur yang menurut para kritikus dinilai tidak perlu. Pemerintah Sri Lanka memiliki utang luar negeri USD51 miliar (Rp764 triliun). Tahun ini, Sri Lanka diminta membayar USD7 miliar (Rp105 triliun) dan jumlah yang sama untuk tahun-tahun mendatang.
Fakta-fakta itulah yang menyebabkan sebagian orang mengaitkan ambruknya ekonomi Sri Lanka dan ancaman kebangkrutan ekonomi 25 negara lainnya. Apalagi, beberapa negara yang berada dalam bayang-bayang kebangkrutan tersebut memiliki skala ekonomi yang tidak jauh berbeda daripada Indonesia (Brasil, India, Argentina, Afrika Selatan, dan Pakistan).
Walaupun berkali-kali Menteri Keuangan Sri Mulyani menangkis dengan menyebut bahwa Indonesia aman dari kebangkrutan ekonomi, toh bayang-bayang kengerian resesi selalu saja dihadirkan sejumlah orang. Fakta naiknya harga kebutuhan pokok, penaikan harga BBM nonsubsidi, dan ancaman krisis pangan, membuat sebagian orang menyangsikan ketahanan ekonomi kita.
Namun, lihatlah statistik kita. “Angka berbicara,” kata seorang analis dalam grup pertukaran pesan. Perhitungan sementara, pertumbuhan ekonomi kita di kuartal kedua 2022 mencapai 5,1 persen.
Inflasi sampai akhir tahun diperkirakan di kisaran 4,5 persen year on year. Tingkat inflasi tersebut lebih tinggi daripada target di 3 persen-4 persen. Namun, melesetnya tidak terlalu jauh. Masih dalam rentang kendali.
Kondisi APBN kita juga oke. Ada tambahan penerimaan Rp420 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto juga turun, dari 41 persen ke 39 persen. Rasio utang di APBN 2022 juga turun, dari yang direncanakan 4,85 persen menjadi 4,5 persen.
Kinerja keuangan Indonesia juga jauh lebih keren jika dibandingkan dengan Sri Lanka. Tidak mengherankan jika Bloomberg menyebut risiko resesi di Indonesia pada 2023 hanya 3 persen lebih rendah daripada Malaysia 10 persen.
Bahkan, Jepang dan Korsel memiliki risiko 25 persen, Selandia Baru 33 persen. Namun, beragam peringatan dan sikap kritis tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja.
Karena faktanya, kita masih menghadapi kesenjangan ekonomi yang menganga. Kita juga masih memiliki jutaan orang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Yang harus kira dahulukan ialah kewaspadaan sebab badai bisa datang tiba-tiba.
Angin bisa berubah kapan saja. Semuanya serbatidak terduga. Tahun lalu kita sudah mengalami resesi. Kita sudah punya pengalaman. Asal jangan jemawa dan meremehkan psikologi tentang resesi.
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.