“Sulit untuk Anies Baswedan untuk bisa maju menjadi capres, tapi kalau beliau mau menjadi cawapres peluangnya masih sangat terbuka,” kata Hasan dalam diskusi Total Politik, Pasar Minggu, Jakarta, Minggu, 17 Juli 2022.
Dia menyampaikan sejumlah pertimbangan Anies akan sulit menjadi capres. Salah satunya, jumlah poros yang dibentuk partai di parlemen.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dia menyebut setidaknya ada tiga poros jika mengacu pada partai di parlemen. Yakni, Golkar, PDI Perjuangan, dan NasDem.
Golkar sudah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan PAN dan PPP. Sedangkan Gerindra akan berkoalisi dengan PKB mengusung Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar.
Tersisa PDI Perjuangan yang dinilai tak akan maju sendiri pada Pilpres 2024. Meski, partai lambang banteng moncong putih itu dinilai akan menggaet tiga partai tersisa, yaitu PKS, Demokrat, atau NasDem pada Pilpres 2024 nanti.
Jika hal itu terjadi, maka tersisa dua partai. Menurut dia, dua partai tersebut tidak bisa memenuhi ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
“Apakah NasDem dengan PKS, Demokrat dengan PKS, atau PKS dengan NasDem itu tidak akan bisa mengusung untuk maju,” ungkap dia.
Kondisi tersebut membuat NasDem, PKS, dan Demokrat berpotensi besar bergabung dengan poros lain. Sehingga, kans untuk Anies menjadi capres akan tertutup karena setiap poros memiliki jagoan masing-masing.
“Dari PKS misalnya bisa mengusulkan Anies menjadi cawapres, atau dari NasDem misalnya bisa mengusulkan Anies Baswedan menjadi cawapres,” ujar dia.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPP Partai NasDem Zulfan Lindan menegaskan pengambilan keputusan dalam politik tidak bisa hanya berdasarkan perkiraan. Menurut dia, banyak pertimbangan yang diperhitungkan dalam menentukan sosok yang akan diusung sebagai capres.
“Jadi menurut saya pertimbangan ini tidak boleh hanya menurut survei saja, tidak boleh juga hanya mengandalkan insting,” kata Zulfan.
Anggota Komisi VI DPR itu pun mencontohkan banyak pengalaman capres di luar prediksi. Seperti, langkah Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang memilih Jusuf Kalla sebagai pendampingnya pada Pemilu 2004. Padahal, waktu itu JK tengah mengikuti konvensi capres Golkar.
Hal serupa juga terlihat pada Pemilu 2009. SBY menggandeng Boediono mendampinginya dalam Pilpres 2009. Padahal, pergerakan politik gencar dilakukan Demokrat mencari pendamping SBY pada saat itu.
“Siapa sangka Boediono jadi cawapres. Itu terus terang utusan Demokrat datang ke Akbar Tandjung, datang ke tokoh-tokoh lainnya,” sebut dia.
Berkaca dari pengalaman tersebut, berbagai potensi masih bisa terjadi. Sebab, politik bersifat dinamis.
“Nah, jadi ini apa maksud saya, jangan kita terburu-buru memvonis suatu calon bahwa dia tidak akan maju,” ujar dia
(AGA)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.