Pedagang Kripto Minta Pajak Turun Jadi 0,05%

redaksiutama.com – Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) keberatan akan besaran pungutan pajak pada aset kripto. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda meminta agar besaran pajak kripto diturunkan.

“Bukan tidak setuju, aset kripto atau komoditas yang lain ketika ada pungutan pajak maka industri akan lebih legitimate. Cuma memang dalam penerapannya butuh ada hitungan pajak yang ideal, ini yang akan membentuk sebuah titik ideal,” kata Teguh kepada awak media di kantor Bappebti, Kamis (5/1/2023).

Teguh mengatakan pihaknya meminta kepada Kementerian Keuangan agar menurunkan pajak penghasilan (PPh) menjadi 0,05%. Di mana yang berlaku saat ini pungutan pajak kripto atau PPh bagi penjual 0,1%.

“Minta diturunin juga kita waktu itu minta industri baru idealnya lebih diberikan insentif, tetapi kita nggak tahu arahnya seperti apa kebijakan yang di Kementerian Keuangan. (Aspakrindo minta pajak turun) 0,05%,” tutur Teguh.

Menurut Teguh, dengan besaran pungutan pajak kripto saat ini membuat banyak investor memilih investasi kripto di luar negeri. Hal ini tentu merugikan pedagang aset kripto di dalam negeri.

“Sekarang ini sangat tidak efektif, faktanya capital outflow orang transaksi di luar. Yang dirugikan siapa? Orang Indonesia juga. Kemudian kita ada penerapan pajak kripto yang ilegal itu double. Tetapi buktinya sekarang nggak ada yang dipajaki,” jelasnya.

Kemudian, Teguh juga menyinggung pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut dia seharusnya dalam hal investasi atau keuangan tidak ada PPN. Namun, Teguh tidak secara langsung mengatakan bahwa dia meminta PPN aset kripto dihapus.

“Kalau di bursa efek kan kita hanya PPh saja, pajak final saja. Tetapi kenapa industri kripto diterapkan pajak PPN walau kemudian dianggap sebagai komoditi. Harapannya dengan P2SK dan OJK, kalau kita bicara sebuah hal yg relate dengan finance tidak akan ada PPN,” tuturnya.

Meski begitu, Teguh menegaskan pihaknya bukan tidak setuju akan pungutan pajak aset kripto yang telah ditentukan pemerintah. Namun, menurutnya yang saat ini berlaku belum ideal.

“Kita akan ikut aturan yang ideal tetapi kita anggap sudah baik tapi belum ideal,” tutupnya.

Adapun pajak yang dipungut untuk transaksi kripto di antaranya bagi penjual aset kripto yakni pajak penghasilan (PPh) dan bagi pembeli aset kripto dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PPh untuk penjual aset kripto terdaftar pajak yang harus dibayarkan sebesar 0,1% dari nilai transaksi, sementara PPN adalah 0,11% dari nilai transaksi. Sementara yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2% dan PPN sebesar 0,22%.

Sebelumnya, Plt Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menyampaikan bahwa Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) diketahui keberatan dengan adanya pungutan pajak tersebut. Didid menyatakan keberatan itu disampaikan karena menurut mereka kripto merupakan aset yang baru.

“Aspakrindo itu minta karena kripto suatu hal yang baru kalau bisa tolong jangan dipajaki dulu. Nah kami nggak setuju, dikenakan pajak lah. Tetapi tarifnya seperti apa, masalah tarifnya teman-teman Aspakrindo ini agar negosiasikan dengan DJP karena mereka menganggap industri kripto baru dan kondisinya lagi winter,” jelasnya.

error: Content is protected !!