redaksiutama.com – Solution Advocacy Institute menyelenggarakan kegiatan webinar online dengan tajuk “Eksaminasi Pertanggungjawaban Pidana Direksi BUMN dan Anak Perusahaan BUMN terhadap Keputusan Bisnis Korporasi”. Kegiatan eksaminasi tersebut membahas seputar kewenangan dan pertanggungjawaban Direksi BUMN dan anak perusahaan BUMN, business judgment rule, risiko bisnis, kerugian keuangan negara, dan relevansi penegakan hukum pidana atasnya.
Adapun eksaminasi tersebut mengambil contoh perbandingan kasus tindak pidana korupsi Eks Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan hingga diputus bebas, dengan kasus tindak pidana korupsi terdakwa mantan pimpinan (Direktur Utama) PT Antam dan mantan pimpinan (Direktur Utama dan Direktur Operasional) PT Indonesia Coal Resources (anak usaha PT Antam) yang didakwa secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam salah satu aksi korporasi berupa akuisisi saham yang dilakukan oleh PT Indonesia Coal Resources. Kasus tersebut telah bergulir ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta di mana menurut majelis hakim terdakwa-terdakwa dalam perkara tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi karena wewenang/jabatannya sehingga menjatuhkan hukuman pidana atasnya.
Hadir selaku narasumber dalam kegiatan eksaminasi tersebut dua pakar hukum pidana yakni Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H. (Guru Besar FH Universitas Al Azhar Indonesia) dan Prof. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Guru Besar FH Universitas Islam Indonesia), pakar hukum korporasi yakni Dr. Sufiarina, S.H., M. Hum. (akademisi Universitas Tama Jagakarsa), dan pakar perhitungan kerugian keuangan negara yakni Danang Rahmat Surono, S.E., Ak., CPA. (akuntan publik dan mantan auditor pada BPKP).
Dari perspektif hukum korporasi, Sufiarina menilai bahwa secara normatif aksi korporasi yang dilakukan oleh Direksi BUMN dan anak perusahaan BUMN berada pada ranah hukum korporasi yang telah tersedia dan berlaku seperangkat instrumen pengawasan dan penegakan hukum atasnya dengan merujuk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.Perolehan keuntungan suatu BUMN dan anak perusahaan BUMN diprediksi dengan mengurus perseroan dan membuat kebijakan atau keputusan bisnis yang diharapkan memberi manfaat finansial bagi perseroan. Namun, keberadaan risiko pun tidak dapat dihindarkan dalam pengelolaan perseroan dimaksud dan merupakan hal yang wajar di samping persoalan mengejar keuntungan yang menjadi tujuan sejatinya.
Secara khusus, atas prediksi dan tindakan untuk mengejar keuntungan dan risiko yang terkandung atasnya, Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 telah memberikan pelindungan dan batasan bagi direksi dengan menentukan adanya hak dan kewajiban direksi terhadap perseroan serta hak dan kewajiban direksi terhadap pemegang saham. Seandainya direksi lalai melaksanakan kewajiban atau melanggar apa yang dilarang atas kepengurusan perseroan yang kemudian mengakibatkan kerugian bagi perseroan, maka direksi yang bersangkutan bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian perseroan dimaksud.
Dalam kondisi tersebut, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007, guna recovery kerugian tersebut, maka pemegang saham dapat menuntut tanggung jawab pribadi dari direksi melalui upaya-upaya perdata termasuk di antaranya dengan mengajukan gugatan PMH pada pengadilan negeri yang berwenang. Dalam contoh kasus yang diulas dalam eksaminasi ini, maka segala usaha-usaha yang dijalankan oleh Direksi, andaikata terjadi kerugian perusahaan sekalipun, tidak boleh dianggap sebagai sebagai kejahatan, menimbang Direksi telah menjalankan sesuai prosedur dan sesuai dengan peraturan yang berlaku termasuk persetujuan pemegang saham (RUPS) yang merupakan organ tertinggi perusahaan dan tidak ada conflict of interest dari direksi.
Melanjutkan penjelasan dari Sufiarina, dua pakar hukum pidana, Suparji Ahmad dan Mudzakkir sepakat bahwa aksi korporasi berupa akuisisi saham yang dilakukan oleh PT Indonesia Coal Resources secara hukum berada dalam ranah hukum korporasi/perdata sehingga pendekatan yang digunakan atasnya haruslah dengan menggunakan instrumen hukum korporasi/perdata dan penerapan hukum pidana dalam hal ini berupa tipikor terhadapnya tidaklah tepat. Jangan sampai permasalahan bisnis yang dialami sebuah perusahaan yang sebenarnya dapat saja diselesaikan dengan instrumen hukum korporasi, kemudian secara kaku dan serampangan dibawa ke ranah tipikor oleh penyidik sehingga menjadikan bisnis terhambat atau terhenti yang karenanya tentu saja dapat menyebabkan kerugian bisnis perusahaan tersebut semakin besar.