redaksiutama.com – Sebagai salah satu upaya perbaikan tata kelola di bidang perikanan tangkap, sejatinya penangkapan ikan terukur diharapkan menghadirkan keseimbangan antara keberlanjutan ekologi, pertumbuhan ekonomi dan keadilan pemanfaatan sumber daya perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melaksanakan konsultasi publik penyusunan peraturan perundang-undangan terkait dengan kebijakan penangkapan ikan terukur beberapa waktu yang lalu. Ini tentu menjadi langkah maju yang menunjukkan keseriusan KKP untuk segera merampungkan perangkat regulasi dan menerapkan kebijakan tersebut.
Sebagai sebuah upaya reformasi tata kelola, kebijakan ini membawa optimisme bagi perbaikan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Hal tersebut paling tidak tergambar dalam tiga aspek. Pertama, reformasi tata kelola dengan pendekatan kuota. Kedua, pengelolaan yang memberikan ruang besar bagi nelayan kecil, dan ketiga pengendalian terhadap kapal yang pembangunannya dilakukan di luar negeri. Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan perspektif saya pada optimisme kebijakan penangkapan ikan terukur ini.
Pertama, penangkapan ikan terukur akan merubah wajah tata kelola perikanan melalui sistem pembagian kuota penangkapan ikan (fishing quota-based). Hal tersebut berarti kita memasuki era baru dengan model pengelolaan berbasis output (output control). Perhitungan kuota tersebut didasarkan pada potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan. Ini merupakan model pengelolaan yang harusnya menjawab keraguan banyak pihak yang khawatir kebijakan penangkapan ikan terukur akan sangat eksploitatif dan lebih mendorong peningkatan ekonomi melalui industrialisasi perikanan tangkap. Kuota ini akan didistribusikan untuk tiga kelompok besar yaitu Industri, Nelayan Lokal, dan kegiatan non-komersial.
Pembagian kuota industri dan nelayan lokal akan diberikan dengan mempertimbangkan proporsi berdasarkan karakteristik sumber daya ikan, jumlah dan ukuran kapal penangkap, serta alokasi nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan di atas 12 mil laut. Sedangkan untuk kegiatan non-komersial ditetapkan 0.01% dari kuota industri dan 0.01% dari kuota nelayan lokal. Kuota penangkapan ini tidak diberlakukan bagi nelayan kecil yaitu nelayan. Pendekatan kuota di atas tampak jelas menggambarkan pendekatan sains dan keadilan atas hak akses sumber daya perikanan dalam kebijakan penangkapan ikan terukur.
Selain itu, wilayah penangkapan ikan terukur akan dibagi menjadi 6 zona. Zona tersebut disusun sebagai satu kesatuan pengembangan ekonomi dan pengelolaan ekosistem, serta bentuk penataan distribusi pembangunan yang merata di setiap kawasan. Sebuah pemikiran komprehensif yang mencoba menyambungkan kegiatan penangkapan ikan di sektor hulu dengan aktivitas peningkatan mutu dan kualitas produk perikanan pada bagian hilir. Zona tersebut meliputi Zona 1 (WPP 711), Zona 2 (WPP 716 dan WPP 717), Zona 3 (WPP 715, WPP 718 dan WPP 714), Zona 4 (WPP 572 dan WPP 573), Zona 5 (WPP 571) dan Zona 6 (WPP 712 dan WPP 713). Ke depan, penangkapan ikan tidak menjadi sebuah perlombaan menangkap ikan yang dilakukan tanpa henti, tapi lebih pada utilisasi hasil perikanan yang lebih baik melalui peningkatan mutu agar diperoleh nilai optimum produk perikanan.
Kedua, kebijakan penangkapan ikan terukur juga memberikan ruang perlindungan dan kesempatan yang besar bagi nelayan kecil. Sejumlah ‘privillege’ diberikan sebagai bentuk perlindungan terhadap nelayan kecil. Hal tersebut termasuk, perizinan berusaha hanya Nomor Induk Berusaha (NIB) dan pemenuhan standar, kebebasan untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan zona penangkapan ikan terukur, pembebasan dari pungutan serta pengalokasian Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk program-program pemberdayaan nelayan kecil termasuk melalui kampung nelayan maju, sarana dan prasarana perikanan dan hal lainnya. Selain itu, prinsip pengalokasian kuota penangkapan ikan bagi industri, nelayan lokal maupun komersil, akan diberikan setelah pendistribusian kuota bagi nelayan kecil.
Dari aspek operasional, kebijakan penangkapan ikan terukur juga memberikan ruang fleksibilitas bagi nelayan kecil. Nelayan kecil diberikan keleluasaan untuk mendaratkan hasil tangkapan baik di Pelabuhan Pangkalan dan Sentra Nelayan. Begitu pula pendataan ikan hasil tangkapan juga bisa dilaksanakan secara mandiri. Tidak cukup sampai disitu, upaya pengembangan perikanan mandiri juga akan didorong melalui pembentukan koperasi nelayan yang akan berperan penting dalam pengelolaan kuota penangkapan ikan bagi nelayan lokal. Pesannya tentu sangat jelas bahwa penangkapan terukur tidak meninggalkan nelayan kecil bahkan berpihak dan memberikan ruang bagi nelayan kecil.
Ketiga, kebijakan penangkapan ikan terukur juga dipandang memiliki konsep pengendalian yang terukur terhadap kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri. Hal ini tentu penting, apalagi kita pernah punya memori buruk terhadap isu ini. Pemerintah sepertinya telah belajar banyak dari apa yang terjadi di masa lampau. Hal tersebut terlihat dari mitigasi yang telah disiapkan untuk mengantisipasi permasalahan beroperasinya kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri. Ada 4 prasyarat harus dipatuhi investor penangkapan terukur termasuk penanaman modal asing yaitu: (1) Kapal yang pembangunannya dilakukan di luar negeri wajib berbendera Indonesia, (2) Kapal yang pembangunannya dilakukan di luar negeri harus diawaki seluruhnya oleh nelayan lokal kecuali fishing master, (3) Ikan hasil tangkapan harus didaratkan dan diproses di zona Industri yang telah ditetapkan, dan (4) Pembangunan serta revitalisasi Pelabuhan Pendaratan Ikan hanya dapat dilakukan dengan persyaratan khusus dari KKP. Keempat instrumen tersebut merupakan upaya KKP agar pengalaman pahit di masa lalu tidak terulang dengan penangkapan ikan terukur ini.
Mengawal Penangkapan Ikan TerukurTentu salah satu unsur penting dalam penerapan kebijakan ini adalah memastikan aturan main penangkapan ikan terukur terlaksana sesuai dengan ketentuan. Dalam konteks tersebut, pengawasan tentu menjadi titik yang sangat vital. Sejumlah persiapan telah dan terus digenjot oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan sebagai garda terdepan yang mengawal tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Upaya pemantapan juga terus dilakukan dalam pelaksanaan pengawasan sebelum kapal berangkat (before fishing), pada saat kapal di laut (while fishing) termasuk dengan sistem pengawasan terintegrasi berbasis teknologi. Pengawasan pada saat pendaratan ikan (during landing), dan pengawasan setelah pendaratan ikan (post landing).
Peluncuran Command Center KKP pada Oktober 2022 juga semakin mempertegas komitmen KKP untuk menyiapkan semua instrument yang dibutuhkan dalam mengawal kebijakan penangkapan ikan terukur. Melalui intelligence maritime platform yang beroperasi di Command Center, KKP meyakini bahwa seluruh pelosok laut nusantara dalam kondisi terpantau, termasuk berbagai potensi pelanggaran yang telah terpetakan. Bukan hanya mengandalkan potensi internal, KKP juga terus memperkuat sinergi dengan berbagai institusi yang memiliki kewenangan pengawasan di laut untuk memastikan secara bersama-sama mengawal kebijakan penangkapan ikan terukur.
Tentu sebagai sebuah formulasi kebijakan yang baru, banyak tantangan yang akan dihadapi oleh penangkapan ikan terukur. Tanpa bermaksud mengabaikan itu semua, niat baik Pemerintah untuk melakukan reformasi tata kelola melalui kebijakan ini juga layak mendapatkan ruang. Penangkapan ikan terukur perlu dilihat dengan kaca mata optimisme pengeloaan perikanan sebagai upaya pembangunan industri perikanan yang kuat dan berdikari dari hulu sampai hilir dengan tanpa mengabaikan nelayan lokal. Kita tentu ingin menghadirkan ekologi sebagai panglima dalam pengelolaan perikanan tanpa harus mengabaikan kemajuan ekonomi dan kohesivitas sosial.
Didik AS, Praktisi Sektor Kelautan dan Perikanan