Kemenkeu sebut perlu pembentukan UU Penilai

redaksiutama.com – Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan perlu ada pembentukan Undang Undang Penilai dalam rangka menunjang dan melindungi berbagai tugas dan tanggung jawab profesi penilai di Indonesia.

“Ini pernah diajukan pada 2009 dan pada 2022 kita lihat perkembangan mengenai penilai dan penilaian ini menjadi penting sehingga kita mendorong agar profesi ini memiliki UU,” kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban dalam Media Briefing di Jakarta, Jumat.

Penilai merupakan seseorang yang memiliki kompetensi, kemampuan dan pengalaman dalam melakukan praktik penilaian untuk mendapatkan nilai ekonomis yang sesuai. Nantinya opini nilai yang dihasilkan oleh penilai akan menjadi dasar acuan dalam berbagai transaksi.

Praktik profesi di Indonesia saat ini yang melayani jasa penilaian kepada masyarakat umum dilaksanakan oleh penilai publik melalui Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Selain itu, terdapat penilai di pemerintahan yaitu penilai pajak di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penilai terkait pengelolaan kekayaan negara di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) maupun kementerian/lembaga (K/L) lain seperti Kementerian ATR/BPN serta pemerintah daerah.

Saat ini, jumlah penilai di Indonesia sebanyak 1.579 penilai yang berasal dari DJKN, DJP, pemerintah daerah dan Penilai Publik Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi).

Penilai berperan strategis dalam proses pengelolaan aset secara optimal dengan penyediaan opini nilai yang akan menjadi acuan dalam kegiatan transaksi jual beli aset.

Penilai juga mendukung penyajian neraca dalam nilai wajar sehingga mendukung tata kelola yang baik bagi institusi pemerintah dan privat serta dapat mengoptimalkan potensi sumber pendanaan melalui pembiayaan.

Penilai turut berperan mendukung optimalisasi aset idle maupun aset strategis sehingga memberikan manfaat dan dampak secara maksimal kepada masyarakat.Sebagai contoh, melalui penyediaan infrastruktur dengan mekanisme kerja sama maupun sewa antara pemerintah dengan sektor privat.

Penggunaan nilai wajar yang dihasilkan oleh penilai pun akan mendukung optimalisasi penerimaan negara baik dari sektor perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak.

Begitu pula dengan peran di sektor perbankan yaitu opini nilai atas aset agunan kreditur menjadi pertimbangan untuk pemberian plafon pinjaman sehingga dapat memitigasi kredit macet perbankan.

Tugas dan tanggung jawab penilai sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28G ayat (1) yang menegaskan negara menjunjung tinggi hak asasi setiap orang untuk mendapat perlindungan atas harta bendanya sejajar dengan perlindungan diri, keluarga, kehormatan dan martabat.

UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) juga menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Oleh sebab itu, negara berkewajiban memastikan seluruh instrumen bernegara mewujudkan keadilan dan perlindungan atas harta benda setiap orang dan menyelenggarakan pengelolaan sumber daya secara baik.

Penilai berperan imparsial untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjunjung hak setiap orang atas harta bendanya sehingga negara bertanggung jawab mendukung keberadaan mereka.

Salah satu aspek yang menjadi kebutuhan profesi penilai untuk mendukung proses penilaian adalah pembentukan pusat data transaksi properti.

“Ini juga kepastian hukum atas hasil opini nilai oleh penilai agar dapat memperoleh legalitas di mata hukum,” kata Direktur Penilai DJKN Kemenkeu Arik Haryono dalam kesempatan yang sama.

Arik menegaskan keberadaan pengaturan profesi penilai setingkat UU kini menjadi harapan agar dapat menjadi payung hukum bagi penilai dalam melaksanakan penilaian.

Terlebih lagi, di regional Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Vietnam sudah lebih dahulu memiliki UU Penilai sehingga pembentukan aturan ini menjadi suatu urgensi untuk segera diwujudkan.

error: Content is protected !!
Exit mobile version