Pemerintah harus memanfaatkan keanakeragaman hayati di Indonesia untuk membuat ketahanan pangan kita tidak pernah goyah. Sebab, ketahanan pangan tidak hanya berasal dari beras, tetapi bisa dari berbagai jenis pangan lokal yang ada. Diversifikasi pangan akan membuat ketahanan pangan kita lebih adaptif ke depannya, sehingga lebih tahan menghadapi krisis.
“Banyak keanekaragaman hayati di Indonesia, kita bisa ambil keuntungan dari iklim tropis, lalu struktur kepulauan juga. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah harus melihat kondisi itu,”ungkap Ketua Umum Pakar DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Agus Pakpahan dalam diskusi virtual bertajuk ‘Tantangan Ketahanan Pangan’ yang digelar Forum Merdeka Barat di Jakarta (19/8/2022).
Agus menjelaskan, negara Indonesia disatukan oleh ideologi Pancasila, biar berbeda beda tetapi tetap satu. Demikian halnya dalam hal pengembangan pangan di Tanah Air, harus disesuaikan dengan kondisi di setiap daerah. “Sagu misalnya bisa dikembangkan di Papua, karena itu tidak perlu ada konversi lahan di sana, begitu juga yang dilakukan di Kalimantan dan daerah lainnya, sesuai dengan potensi di sana,”terang Agus.
Menurut Agus, kita perlu belajar dari yang apa yang telah dilakukan oleh Jepang. Negari Sakura tersebut menggunakan pendekatan fungsionalitas dalam membangun ketahanan pangannya, bukan pendekatan komoditas. Sebaliknya kita masih menggunakan pendekatan komoditas.
Pendekatan fungsionalitas itu bukan fokus pada beras, jagung dan lain lain, tetapi kita masuk misalnya ke protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dengan arti kita gunakan cara pandang keanekaragaman hayati sebagai sumber daya utama. Supaya Indonesia bisa lebih fleksibel, bisa lebih adaptif dengan masa depan karena sesuai dengan iklim tropika, dengan keanekaragaman hayatnya. “Misalnya sukun, talas, sagu kita bisa jadikan tepung yang sama sama ada juga karbohidratnya,” ucapnya.
Agus mengatakan, kita boleh saja swasembada beras saat ini. Namun, faktanya kita masih banyak impor buah buahan. Begitu juga sayur sayuran, kita masih impor protein, mineral.
Dari Global Hunger Indeks kita masih tertinggal 50 tahun dari negara maju, karenanya ia pun mendorong agar Indonesia fokus pada peningkatan kapasitas pertanian untuk jangka panjang, inovasi teknologi pertanian itu harus terus dilakukan, seperti yang dilakukan Jepang.
Kenapa itu dilakukan karena lahan itu konstan, maka harus inovatif agar nilai tambahnya meningkat. “Pertanian harus terintegrasi dengan industrialisasi, sehingga bisa meningkatkan nilai tambah per unit sumber daya alamnya,”ujarnya.
Swa.co.id
Artikel ini bersumber dari swa.co.id.