Hunian masih prospektif di tengah bayang-bayang kenaikan bunga

redaksiutama.com – Sampai saat ini belum ada yang bisa memprediksi bagaimana ekonomi 2023 di tengah-tengah tekanan krisis energi dan pangan global sebagai akibat perang Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Bahkan Bank Indonesia menjelang akhir tahun 2023 melakukan ancang-ancang dengan kembali menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen sebagai upaya menjaga ekonomi nasional tetap stabil.

Pertanyaannya, dengan naiknya suku bunga acuan ini apakah bakal disikapi perbankan dengan langsung menaikkan suku bunga kredit, kemudian pertanyaan berikutnya kalaupun naik apakah angkanya bakal signifikan.

Namun yang pasti kalau suku bunga kredit naik tentunya bakal memukul sektor usaha mengingat di tahun 2023 sedang tahap pemulihan setelah 2 tahun harus menjalani masa-masa sulit akibat pandemi.

Akan tetapi dari kacamata perbankan, meski melihat ekonomi global terlihat suram ke depan, untuk di dalam negeri masih ada sektor-sektor yang mampu bertahan bahkan malah bisa berkembang.

Kepala Divisi Pinjaman Subsidi PT Bank Tabungan Negara Tbk M Yut Penta berpandangan sektor properti khususnya perumahan masih memiliki prospek yang bagus selain kebutuhan rumah masih tinggi dilihat dari backlog (kebutuhan rumah) 2022 masih 12 juta lebih.

Berdasarkan pengalaman krisis ekonomi sebelumnya, sektor properti khususnya subsektor perumahan volatilitasnya masih stabil, tidak seperti sektor perhubungan yang volatilitasnya tinggi (turun drastis, tetapi bangkitnya juga cepat).

Jika dibedah lebih dalam lagi maka sektor perumahan kategori menengah ke bawah justru terus menggeliat bahkan selama 2 tahun pandemi lalu. Hal ini berdasarkan data akad kredit di bank pelat merah spesialis penyalur kredit griyaitu yang mayoritas dari sektor rumah menengah ke bawah.

Kalaupun bunga acuan naik, perbankan belum tentu bakal menaikkan suku bunga kredit termasuk dalam hal ini bunga KPR/ KPA. Ada banyak faktor agar tingkat bunga selalu terjaga.

Tentunya perbankan akan selalu menjaga hubungan dengan nasabah, tidak dengan serta merta melakukan penyesuaian. Ada sejumlah faktor yang membuat perbankan mampu menjaga tingkat bunga kredit stabil, di antaranya kondisi likuiditas dan sektor yang dibiayainya.

Kalau sumber dana likuid ditambah sektor-sektor yang dibiayai berisiko rendah tentunya tidak ada alasan bagi perbankan untuk menaikkan suku bunga meski suku bunga acuan mengalami kenaikan.

Apresiasi

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Perusahaan Realestate Indonesia (REI) Hari Ganie menyampaikan apresiasi kepada pemerintah atas berbagai regulasi di sektor perumahan sehingga mampu bertahan di tengah kesulitan akibat pandemi.

Hampir separuh sektor properti mengalami kesulitan akibat pandemi, namun akhirnya mampu bergerak kembali setelah pemerintah mampu mengendalikan penyebaran COVID-19.

Salah satu yang mendapat apresiasi yakni kebijakan pemerintah memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100 persen yang terbukti mampu mendorong daya beli masyarakat.

Bahkan untuk tahun 2023, dalam dua perhelatan besar yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo, disampaikan kepedulian untuk persoalan penyediaan perumahan bagi masyarakat.

REI sendiriberharap adanya kebijakan lanjutan yang mendukung pengembangan perumahan seperti hadirnya UU Cipta Kerja yang membahas soal izin lingkungan serta mengubah dan menyederhanakan izin mendirikan bangunan.

Hari juga meminta penyederhanaan kebijakan di sektor perumahan mengingat induk dari sektor perumahan ini banyak tidak hanya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saja, tetapi juga Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan terkait dana subsidi.

Hal serupa juga disampaikan Managing Director Synthesis Huis Aldo Daniel selaku pengembang perumahan di Cijantung, Jakarta Timur, yang mengaku tidak terlalu khawatir soal kenaikan suku bunga KPR bakal mengganggu daya beli konsumen.

Hal ini disebabkan mayoritas pembeli di tengah pandemi merupakan pengguna akhir (end user) dan pembeli rumah pertama (first home buyers) yang memang membeli rumah karena kebutuhan.

Potensi

Bagi kalangan perbankan, potensi KPR/KPA di Indonesia masih sangat besar untuk tahun 2023. Konsumen tentu tidak mungkin menunda membeli rumah/apartemen apabila memang sudah waktunya dalam arti merupakan keluarga muda, berpenghasilan, dan memiliki tabungan.

Dari sisi konsumen memang ada dua pilihan untuk mengakses KPR/KPA dalam hal ini menggunakan bunga tetap (fix) atau mengambang (float). Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing yang harus dipertimbangkan saat membeli rumah.

Dengan iklim ekonomi global yang belum jelas, sudah barang tentu calon pembeli rumah cenderung memilih KPR/KPA dengan bunga tetap untuk menghindari naiknya suku bunga di tengah-tengah tenor.

Namun untuk memilih KPR/KPA dengan bunga tetap juga ada konsekuensi yakni bunganya lebih tinggi dibandingkan bunga mengambang. Hal ini karena perbankan sudah memasukkan semua faktor risiko di dalamnya.

Dengan kondisi ekonomi yang belum pasti tahun 2023, calon pembeli rumah/ apartemen bisa memilih alternatif lain dengan mengombinasikan antara bunga tetap dan mengambang dalam arti bunga tetap untuk dua hingga lima tahun ke depan sedangkan sisanya bunga mengambang.

Group Head Consumer Financing Bank Syariah IndonesiaPraka Mulia Agung mengatakan dalam prinsip syariah tidak dikenal kredit namun lebih disebut sebagai pembiayaan.

Dalam hal pembiayaan rumah/apartemen ibarat sewa, pembeli menentukan sendiri berapa besarannya serta jangka waktunya sehingga pada akhirnya pembayaran lunas.

Namun yang jelas kalangan perbankan optimistis pada tahun 2023 sektor perumahan bakal berkembang. Hal ini terlihat dari permohonan KPR/KPA yang disetujui sampai dengan kuartal III 2022.

Pada tahun 2022 pertumbuhan pembiayaan rumah BSI sebesar 14 persen dan tahun 2023 mendatang ditargetkan tumbuh 16-18 persen.

Alasannya,sektor properti tahan tekanan dan terus tumbuh, bahkan saat puncak pandemi COVID-19 sektor ini masih mampu bertahan bahkan ikut memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

BSI selama ini banyak membiayai rumah pertama yang dibeli end user seharga di bawah Rp1 miliar di Jabodetabek. Bank BUMN ini juga menggarap potensi di luar daerah yang sangat besar dengan menawarkan program-program yang menarik. BSI memiliki struktur dana yang baik sehingga bisa kompetitif di pasar.

Ari Indiastomo Head of Consumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mengatakan Bank BRI melakukan beberapa inovasi di sektor KPR berdasarkan pada kebutuhan konsumen.

Salah satunya KPR yang menyasar generasi milenial dengan suku bunga 2,87 persen fix satu tahun atau 4,97 persen fix dua tahun. Agar tidak memberatkan konsumen Bank BRI juga memberikan harga khusus dan bunga khusus.

Pada tahun 2022 ini, realisasi KPR Bank BRI tumbuh 10,5 persen. Meski di masa pandemi pun, KPR Bank BRI tetap mengalami pertumbuhan. Saat ini KPR didominasi rumah komersial dengan harga Rp400 juta hingga Rp500 juta.

Untuk KPR subsidi meningkat 12 persen. Realisasi KPR subsidi tumbuh signifikan. Jika di 2021 hanya 11.000 unit, di 2022 ini naik menjadi 20.000 unit. Pada tahun 2023, bank ini menargetkan penyaluran KPR tumbuh 14 persen, subsidi dan nonsubsidi.

Dengan kondisi demikian, wajar jika kalangan perbankan melihat tahun 2023 ini masih prospektif meski banyak tantangan. Hal ini karena pasar dari sektor rumah masih memberi dukungan.

Tinggal di sini tindak lanjut dari kalangan pengembang rumah selaku pemasok untuk lebih jeli membaca keinginan pasar, tentunya dengan melihat pula daya beli.

Editor: AchmadZaenalM

error: Content is protected !!