Hati-Hati Jokowi, RI Sangat Tergantung Dengan China & Amerika

redaksiutama.comJakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) dan China, dua raksasa ekonomi di dunia sedang mengalami pelambatan ekonomi. Nyaris semua analis maupun ekonom memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan.

Hal ini menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebab dua negara tersebut merupakan pasar ekspor utama Indonesia.

“Oleh sebab itu 2023 betul-betul kita harus waspada saya setuju harus optimis tapi harus tetap hati-hati dan waspada. Yang pertama itu ekspor Indonesia tahun ini tahun lalu melompat jauh tapi hati-hati tahun depan bisa turun,” ujar Jokowi saat berpidato di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) Rabu (30/11/2022).

Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia, Jokowi menyebut kata “hati-hati” sebanyak 9 kali dalam 15 menit.

Hal ini menyiratkan masalah serius yang bisa dihadapi Indonesia di tahun depan. Perekonomian Indonesia di tahun ini diuntungkan oleh kuatnya ekspor, terutama akibat tingginya harga komoditas.

Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 30 bulan beruntun. Selain itu, dengan harga komoditas yang tinggi, industri di dalam negeri tentunya bergeliat.

Di tahun depan ceritanya bisa berbeda, China mengalami pelambatan ekonomi, Amerika Serikat bahkan dunia diprediksi resesi. Ada risiko permintaan komoditas akan menurun. Tanpa permintaan yang kuat, harganya juga terancam turun, hilang sudah “durian runtuh” yang diterima Indonesia.

China merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, nilainya sepanjang Januari – Oktober sebesar US$ 51,5 miliar dan berkontribusi 22,3% dari total ekspor.

Kemudian Amerika Serikat di urutan kedua dengan pangsa pasar 10,4%. Nilainya pada periode yang sama mencapai US$ 24 miliar.

Ada lagi Uni Eropa yang juga terancam resesi, nilai ekspor Indonesia ke sana sebesar US$ 18,1 miliar yang berkontribusi 7,85%.

Jika ketiganya digabungkan, maka total ekspor sebesar lebih dari 40%. Maka wajar Jokowi memperingatkan tahun depan harus hati-hati. Apalagi tidak hanya ketiganya, negara lain juga akan mengalami hal yang sama sehingga tantangan menjadi berat.

Ekonom Senior Chatib Basri, mengatakan Indonesia perlu khawatir dengan China sebab merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia.

“Saya itu sebetulnya, lebih khawatir dengan (dampak) ekonomi China, dibandingkan dengan ekonomi Amerika Serikat terhadap kita karena kalau China kena itu ekspor kita (Indonesia) kena beneran,” kata Chatib pertengahan Oktober lalu.

Menurutnya, dalam jangka panjang ekonomi China akan mengalami new normal atau tidak akan tumbuh tinggi lagi.

“Mungkin long term growth-nya di sekitar 4%, jauh, (tapi) itu yang harus diantisipasi. Saya gak bicara tahun ini, tapi long term growth-nya bisa ke arah sana,” ungkapnya

Dengan demikian, ada risiko permintaan komoditas dari China dalam jangka panjang tidak lagi setinggi saat ini.

Dampak pelambatan ekonomi sudah terasa di dalam negeri, khususnya industri yang berorientasi ekspor.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi yang pertama menderita.

Pelambatan ekonomi dari negara-negara tujuan ekspor memicu penurunan dan pembatasan order ke pabrik-pabrik TPT di Tanah Air.

Akibatnya, terjadi penurunan kapasitas produksi. Hingga menyebabkan efisiensi karyawan, dengan merumahkan bahkan PHK.

“Perumahan karyawan masih terus terjadi,” kata Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta kepada CNBC Indonesia, Rabu malam (30/11/2022).

“Pengurangan karyawan sudah di atas 100 ribu. Ada yang dirumahkan, dikurangi jam kerja, pemutusan kontrak, hingga PHK,” tambahnya.

Kondisi itu, ujarnya, terjadi di industri tekstil dari hulu ke hilir.

“(Lokasinya) Jawa Barat dan Jawa Tengah,” kata Redma.

Gejala merumahkan karyawan ini sudah berlangsung sejak bulan lalu. Redma mengatakan, kapasitas produksi pabrik TPT terus turun bahkan sampai 50% dan dikhawatirkan berlanjut sampai tahun 2023.

error: Content is protected !!