redaksiutama.com – Komisi VI DPR RI menyoroti impor beras yang telah direstui oleh pemerintah sebanyak 500.000 ton. Impor beras itu dikhawatirkan akan berdampak buruk pada harga beras petani dalam negeri.
Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Komisi VI DPR RI, Nasim Khan mengatakan makanya sebagian besar petani justru tidak menginginkan adanya impor beras. Selain dikhawatirkan merusak harga beras lokal juga mencederai cita-cita swasembada pangan.
Menurunnya harga beras bisa terjadi jika beras impor itu datang ketika panen raya. Nasim menyebut panen raya itu terjadi pada bulan Maret sampai April 2023 esok.
“Lalu panen lagi akan terjadi pada Juli hingga Agustus 2023. Mestinya Pemerintah menyerap beras dari produsen pada periode tersebut, untuk disalurkan secara tertata dengan baik selama setahun,” kata Nasim, dalam keterangan tertulis, Jumat (6/1/2023).
Beberapa waktu lalu, persoalan beras juga ramai dengan adanya perbedaan data. Untuk menyelesaikan persoalan perbedaan data beras yang kerap tidak sinkron, Nasim mengusulkan agar semua pihak duduk bersama dan meninggalkan ego sektoral.
Selain itu, Nasim juga berharap agar Badan Pangan Nasional memperkokoh sinergitas yang sudah terbangun antar lembaga pemerintah serta bersinergi dengan persatuan penggilingan padi.
“Kami berharap peranan lembaga Pemerintah untuk lebih aktif mendukung ketahanan pangan nasional. Badan Pangan Nasional harus lebih memperkokoh sinergi antara berbagai instansi, misalnya BUMN-BUMD dan Perpadi (Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi Dan Beras Indonesia), berupa kerja sama untuk menghitung setahun, berapa yg dikelola setiap musim panen,” kata Nasim.
Sedangkan, untuk menjaga harga pokok penjualan padi, Nasim menyarankan pemerintah juga harus memperhatikan nasib petani. Menurutnya, petani harus mendapatkan perlindungan dan keadilan harga di tengah ongkos produksi yang kian melonjak.
“Kemudian tingkat harga padi ini harga HPP (harga pokok penjualan), ditentukan agar lebih rasional. Sehingga harga itu terasa adil untuk petani, penggiling, dan buat masyarakat ketika sudah menjadi beras,” tegas Nasim.
Lanjut halaman berikutnya.
Menurut Nasim seharusnya pemerintah di awal memperbaiki dulu persoalan data beras di dalam negeri. Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog menyampaikan bahwa cadangan beras pemerintah (CBP) tidak memenuhi target 1,2 juta ton.
Perum Bulog meyakini data pasokan beras yang disampaikan Kementan dan BPS tidak sesuai fakta dilapangan. Sebab, Hingga 21 Desember 2022, Stok beras Bulog hanya tercatat sebesar 399.160 ton.
“Sepertinya perlu penertiban (data) di lapangan terkait cadangan ini. Apakah benar cadangan Beras Bulog sedemikian mengkhawatirkan?” ungkap Nasim.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian dengan berpijak pada data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan produksi beras di tahun 2022 masih sangat mencukupi kebutuhan domestik karena mengalami surplus sebesar 1,74 juta ton
Surplusnya pasokan beras, kata Nasim, semestinya bisa dimaksimalkan dengan baik oleh para pengambil kebijakan agar goncangan harga tidak bergerak liar dan petani juga bisa menikmati jerih payahnya selama berproduksi yang biayanya kian tahun kian meningkat. Oleh sebab itu dia menyayangkan pemerintah akhirnya menyetujui adanya impor beras sebanyak 500.000 ton.
“(Jika berpegang pada data BPS) Stok di akhir tahun 2022 telah carry over untuk masuk di tahun 2023. Maka seharusnya kebijakan impor perlu ditinjau ulang,” kata Nasim.
“Kami berharap Pemerintah tegas menertibkan para menterinya, sebab wacana impor beras sebenarnya pernah ditentang oleh Kementerian Pertanian karena stok beras Indonesia mencukupi. Tapi, Kementerian Perdagangan yang bersikukuh harus impor,” tutupnya.