redaksiutama.com – Selama ini, usaha pertanian selalu dikaitkan dengan citra negatif seperti kotor, tradisional, dan tidak menghasilkan banyak cuan. Sebab itu, tidak banyak orang mau berbisnis di sektor ini, apalagi anak muda.
Padahal, menurut Fachreza, bisnis pertanian saat ini cukup menjanjikan. Contohnya, di antara banyak sektor yang terdampak pandemi, pertanian adalah salah satu sektor yang tidak terpengaruh, sebaliknya, justru mengalami peningkatan bersama sektor kesehatan dan teknologi. Kebutuhan akan pangan juga akan selalu meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang terus bertambah.
“Bisnis pertanian jelas menjadi sektor andalan dan tahan terhadap resesi, dengan peluang yang sangat cerah. Simpelnya, selagi ada manusia, manusia masih butuh makanan yang didapat dari hasil pertanian ,” tutur pemuda yang pernah menjuarai ajang Banten Youthpreneurs 2022 itu.
Villa Tani didirikan Fachreza bersama dua orang lainnya, Hari Bowo dan Fatoni Putera. Kegiatan bisnisnya berfokus pada penyediaan jasa dan kerja sama bagi petani binaan mereka. Mulai dari pelatihan, mencari investor, hingga membantu pemasaran secara digital. Mereka memosisikan diri sebagai wadah penghubung antara petani dengan investor, pemilik lahan, dan pembeli.
Villa Tani memiliki unit bisnis yakni Vila Preneur, Villa Fund, Villa Mart, Villa Ternak, Villa Buah dan Sayur, Toko Petani, Villa Resto, dan Villa Edukasi. Sehingga, makna petani dalam konsep ini bukan hanya petani dalam arti harfiah, namun juga petani investasi, petani marketing, petani teknologi, serta petani digital.
Fachreza mengibaratkan konsep ini seperti pohon kelapa yang semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Sehingga, tidak ada komoditas yang terbuang.
“Sistem pertanian terpadu itu sistem yang terintegrasi. Misal, di Villa Ternak ada yang namanya kotoran hewan, kambing, sapi, dan domba. Itu kalau dibuang akan jadi limbah., tapi, limbah ini kita optimalkan, kita jadikan media tanam, kita jadiin pupuk buat di Villa Tani. (Terus) dari Villa Tani, kita misalkan nanam rumput odot. Nah, rumputnya ini untuk makan kambing dan domba. Jadi berputar gitu. Sayur-sayur yang reject dan tidak bisa dijual, alih-alih dibuang, itu kita jadikan pupuk juga. Kita mengupayakan semua zero waste,” ujar Fachreza.
Tak hanya itu, mereka juga memanfaatkan rendaman bawang merah dan bawang putih sebagai cairan pestisida nabati. Cangkang telur dari ternak ayam, mereka gunakan untuk pupuk karena mengandung banyak kalsium yang baik untuk tanaman.
Kata Fachreza, sistem ini dapat menghemat bujet, sebab petani tidak perlu mengeluarkan biaya khusus untuk pupuk tanaman. Maka dari itu, ia dan tim Villa Tani kerap mengadakan pelatihan mengolah sampah rumah tangga menjadi pupuk untuk mengajak petani tradisional menerapkan sistem tersebut.
Naik Kelas
Fachreza ingin produk pertanian naik kelas pada era digital. Selain di toko Villa Mart, hasil panen Villa Tani dari petani binaan juga dijual melalui website dan WhatsApp.
“Potensi pangan lokal Indonesia sangat besar, sayang jika hanya menjual mentahannya tanpa pengolahan produk, packaging, dan digitalisasi produk. Karena jika hanya menjual mentahannya saja, maka petani hanya akan bergantung pada tengkulak ,” katanya.
Komoditas sayuran yang diproduksi Villa Tani beragam, mulai dari sayuran umum seperti selada, kangkung, bayam, tomat, wortel, buncis, kentang, hingga buah-buahan unggulan seperti melon golden dan semangka golden.
Dari seluruh komoditas yang ditanam di Villa Tani, komoditas yang permintaannya tinggi antara lain adalah melon, kentang, dan kumis kucing.
“Kumis kucing permintaannya di Villa Tani cukup tinggi, kebutuhannya untuk eksportir. Dalam 1 hektar tanah bisa menghasilkan 400 kg daun kumis kucing yang telah dikeringkan, harga profitable untuk grade A 30 ribu perkilo. Dan panennya pun hanya 20 hari,” tutur Fachreza.
Tak hanya itu, digitalisasi juga mereka gunakan untuk menarik Sumber Daya Manusia (SDM). Cara ini ia nilai jauh lebih efektif dibandingkan penggunaan media lain seperti selebaran atau brosur.
Dengan penggunaan internet, Villa Tani mampu menarik 149 petani binaan yang tersebar di Banten , Jawa Barat, dan Jawa Tengah, juga menjangkau 216 investor dengan total pendanaan Rp6,9 miliar.
Selain jadi jembatan petani dan pembeli, Villa Tani juga memiliki idealisme untuk mendorong regenerasi petani , salah satunya dengan program pelatihan 1.000 petani milenial. Setelah pembekalan selama 3 bulan, petani yang lulus akan dihubungkan ke pendanaan, pasar, praktisi, pendamping, dan kebutuhan produksi.
“Dengan program 1.000 petani milenial, kita create petani memiliki gaji operasional dan memilliki keuntungan setelah panen dengan jaminan pasar Villa Tani dan Villa Ternak,” katanya.
Para petani tersebut kemudian akan diberikan project untuk dikerjakan. “Misalkan, sebelumnya mereka pelatihan tentang domba, (setelahnya) kita tawarkan (project beternak domba). ‘Ini domba, dananya ada, coba pelihara 30 ekor. Nanti, setelah 30 ekor bagus, kita tingkatin jumlahnya.’ Ada juga yang pelatihan melon, cabe, dan lain–lain,” ujarnya.
Selain pelatihan dan membantu pemasaran, Villa Tani juga membantu petani binaan untuk mendapatkan investor. Meskipun Villa Tani baru berdiri dua tahun, orang-orang yang menjadi pendirinya telah lama berkecimpung di bisnis pertanian . Masing-masing dari mereka, setidaknya punya pengalaman berinvestasi dengan para investor pertanian .
Menjawab Permasalahan
Fachreza melihat ada dua permasalahan utama yang dihadapi petani tradisional seluruh Indonesia. Pertama, mereka kebingungan mencari pasar.
Fachreza memberi contoh kasus tentang peternak sapi asal Indonesia di New Zealand yang bernama Reza. Di sana, peternak tidak dipusingkan dengan penjualan. Sebab, hasil panen akan langsung dibeli oleh sebuah koperasi bernama Fonterra. Koperasi itu menampung susu dan produk pertanian dengan harga yang sudah disepakati dan ditetapkan, sehingga petani dan pembeli sama-sama senang.
“Peternak di sana hanya difokuskan untuk bagaimana caranya produksi susu yang bagus. Bedanya, kalau di Indonesia, petani itu bingung mau jualan ke mana. Jadi, kualitas produk kalah bersaing dengan impor, dan harganya pun bisa jadi lebih mahal. Harapan saya, ke depannya ada koperasi seperti Fonterra. Koperasi buah–buahan, koperasi peternakan, dan lain–lain yang bisa menampung hasil petani . Jadi, petani hanya fokus pada produksi,” sebutnya.
Permasalahan kedua, kata Fachreza, tidak sedikit petani Indonesia yang dijadikan objek yang dimanfaatkan para pedagang, investor, atau tengkulak . Kata dia, petani seharusnya menjadi subjek dan partner. Ia ingin meningkatkan derajat petani binaannya.
“Biasanya, petani dijadikan tengkulak untuk sebuah alat. Maksudnya, petani produksi sebesar-besarnya, tapi harganya itu dimainkan atau ditentukan oleh si tengkulak . Jadi, si petani tetap miskin, sementara si tengkulak semakin banyak profitnya,” sebut Fachreza.
Sarjana Agribisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa itu menekankan, solusi untuk menjawab permasalahan itu adalah dengan digitalisasi marketing dan kehadiran perusahaan start up seperti Villa Tani yang mengakomodir penjualan petani .
Dengan begitu, sistem perniagaan petani tidak melalui banyak tangan dan petani bisa mendapat keuntungan lebih. Pada akhirnya, hal itu dapat meningkatkan kesejahteraan petani .
Mengenai ide dan harapannya terhadap sektor pertanian ke depan, Fachreza mengungkapkan ide tentang petani yang menanam by order.
“Kita bisa gunakan data konsumsi Indonesia. Sayuran berapa, daging berapa, lalu pemerintah mengatur. Untuk daging kebutuhannya berapa. Nah, kita bisa cari tempat, provinsi, atau wilayah yang punya fokus di produksi daging, daerah yang fokus di sayur, fokus di ayam atau unggas. Jadi, tiap wilayah punya komoditi fokusan sehingga ketika Indonesia kekurangan, bisa mengambil dari wilayah tersebut. Artinya, itu yang belum bisa diterapin,” katanya.
Sementara itu, selain berdiri sebagai perusahaan start up bidang pertanian , Villa Tani juga membuka wisata pertanian untuk umum yang berlokasi di Cikerai, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon. (Asri Turana, Ginna Vadhya, Muhammad Ilham, Raden Roro Nabiilah)***