redaksiutama.com – Jakarta, CNBC Indonesia – Pada tahun 2023, Pendidikan Bimbingan Belajar dan Konseling Swasta, PT. Lavender Bina Cendikia, Tbk akan melakukan penawaran umum saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) dengan melepas 280 juta saham baru.
Nantinya, hasil dana IPO akan digunakan untuk modal kerja dan operasional perusahaan. Keputusan ini menjadikannya sebagai lembaga bimbingan belajar (bimbel) pertama di Indonesia yang melantai di bursa saham. Prospek bisnis seperti ini dinilai masih menjanjikan karena masih banyaknya pelajar yang ingin berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Berkuliah di PTN memang menjadi impian tiap pelajar menengah atas yang ingin melanjutkan pendidikannya. Selain karena murah, PTN dinilai lebih bergengsi dibanding Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Untuk terdaftar di sana pun tidak mudah. Ada ratusan ribu orang yang daftar tiap kali pendaftaran serentak ujian PTN dibuka. Sementara, tidak semuanya dapat diterima karena ada kuota masing-masing.
Maka, ujian masuk PTN menjadi momen penentu keseluruhan hidup para siswa dan siswi di Indonesia. Mereka yang gagal bakal menganggap momen ini sebagai aib, sebaliknya yang berhasil merayakan diri dengan sukacita. Tak heran, kebanyakan dari mereka harus belajar siang dan malam untuk menembus ujian. Karena tak mau dianggap gagal, banyak dari mereka mengikuti sistem bimbingan belajar atau bimbel oleh lembaga pendidikan.
Mengutip “Sejarah Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) Di DKI Jakarta 1974 -2014” (2016) karya Nurhayati, awal mula bimbel pertama kali terdeteksi pada 1970-an sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah yang mewajibkan pelajar menempuh ujian sekolah. Kurikulum sekolah yang tak dapat mewadahi seluruh materi ujian mendorong kemunculan bimbel. Para pelajar mendapat materi dan soal ujian lebih, serta cara menjawabnya dengan tepat, yang tidak didapatkan ketika bersekolah. Biasanya, sistem ini diikuti oleh mereka yang berada di penghujung jenjang pendidikan, seperti pelajar kelas 3 SMA (kini kelas 12) yang ingin masuk PTN.
Perlahan, lahirlah berbagai nama bimbel, yang sekarang populer. Dari Yogyakarta, Primagama memperkenalkan diri pada 10 Maret 1982. Lalu, dua tahun kemudian Ganesha Operation merinitis usahanya di Bandung. Pada umumnya, lembaga bimbel memiliki tujuan yang terlihat mulia: “memperluas akses pendidikan” atau “membantu siswa untuk menjawab soal secara mudah dan cepat”.
Bimbel jadi menarik bagi pelajar kelas 3 SMA karena beratnya beban yang dipikul mereka. Dalam waktu berdekatan, mereka harus menghadapi Ujian Sekolah (US), Ujian Nasional (UN), dan ujian masuk PTN. Tahapan seleksi pendaftaran PTN pertama berawal dari tahun 1989 lewat Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Urgensi bimbel pun tak terbendung.
Namun, sebetulnya keberadaan bimbel justru menunjukkan keanehan dalam sistem pendidikan Indonesia. Seharusnya, seluruh materi ujian terangkum dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru pun harus piawai dalam mendidik. Sebab, tidak semua pelajar berkesempatan menempuh pembelajaran tambahan lewat bimbel.
Perlahan, hal ini kian parah ketika terbentuk sistem pemeringkatan (ranking) di kelas. Akibatnya, pelajar jadi berlomba-lomba untuk memaksakan diri menjadi yang terbaik di kelas. Pengaruh orang tua yang tidak ingin anaknya kalah menambah rumit masalah. Padahal, tidak semua pelajar memiliki prestasi dan bakat serupa. Ada yang pintar matematika. Ada pula yang tertarik pada seni dan olahraga. Semuanya tidak bisa dipukul rata.
Memasuki tahun 2000, bimbel kian menjamur. Bentuknya pun beragam. Ada yang tatap muka langsung atau kini dilakukan secara daring (online). Lewat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, bimbel diakui legitimasinya sebagai pendidikan non-formal. Semakin beragamnya bentuk bimbel sejalan dengan harganya yang mahal. Bimbel Lavender yang berdiri tahun 2017 saja, yang akan IPO nanti, menawarkan biaya Rp. 49 juta – Rp. 72 juta.
“Penyelenggaran institusi pendidikan harus memenuhi kebutuhan aspek-aspek dasar pembelajaran secara setara bagi setiap anggota institusi itu. Proses pendidikan harus semakin didekatkan pada praksis keadilan sosial dalam masyarakat,” tulis Agus Suwigno dalam Pendidikan, Kekuasaan, dan Kolonialisme (2019), menyikapi ketidakadilan dalam pendidikan, yang relevan dengan konsep bimbel.