Bhayangkara Membara – Medcom.id

IBARAT membuka kotak pandora. Satu per satu dugaan rekayasa kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J terungkap ke permukaan. Rekayasa yang sulit dipertahankan lagi. Bak bendungan jebol.
 
Terlebih Presiden Joko Widodo memberikan atensi khusus hingga tiga kali bahwa kasus ‘polisi tembak polisi’ di rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (8/7), jangan ditutup-tutupi dan harus diproses hukum secara tuntas.
 
Seiring dengan jebolnya rekayasa kasus yang sudah memakan waktu sebulan lamanya, semua informasi awal tentang kasus kematian Brigadir J menjadi ‘sampah’. Sedari awal publik dengan logikanya sendiri merasa aneh dengan kasus tersebut. Namun, Polri bergeming bahwa terjadi pelecehan dan penodongan senjata oleh Brigadir J kepada istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, hingga berujung kontak senjata antara Brigadir J dan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E. Kontak senjata berakhir dengan kematian Brigadir J.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) seperti membebek. Apa yang disampaikan pihak kepolisian tentang informasi awal kasus yang menyita perhatian publik tersebut ditelan mentah-mentah oleh Kompolnas, seperti yang disampaikan Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto.
Padahal, sesuai Peraturan Presiden No 17 Tahun 2011, Kompolnas bukan bawahan Kapolri. Lembaga ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden RI.Tugas lembaga yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ini pun keren, yakni membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Republik Indonesia dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
 
Selain secara kelembagaan kuat, secara personel pun sejumlah pejabat Kompolnas adalah orang-orang yang berpengalaman di kepolisian dan bidang lain. Artinya, sikap kritis seharusnya ditunjukkan apalagi menyangkut kasus yang menjadi sorotan publik. Pengalaman dalam teknis penyelidikan dan penyidikan sejumlah pejabat di Kompolnas lebih mumpuni ketimbang masyarakat yang mengandalkan logika dan common sense semata.
 
Namun, kelucuan juga tampak di Kompolnas. Pernyataan Ketua Kompolnas yang juga Menko Polhukam Mahfud MD berbeda dengan Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto. Mahfud sejak awal kritis dan mengaku mencium kejanggalan dari kasus kematian Brigadir J, sedangkan Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto terkesan memberikan ‘stempel’ atas rilis yang disampaikan pihak kepolisian. Tak mengherankan apabila warganet meminta Presiden Jokowi mencopot Benny Mamoto dari Kompolnas seiring terbongkarnya rekayasa kasus kematian Brigadir J.
 
Kini, kasus kematian Brigadir J sudah berada di ujung. Lorong gelap nan berliku kasus tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda ‘cahaya’ yang memberikan harapan kasus itu akan terungkap secara terang benderang. Irjen Ferdy Sambo sudah diamankan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Sabtu (6/8), dengan dugaan pelanggaran kode etik karena menghalang-halangi pengusutan kasus kematian J.
 
Penahanan Ferdy Sambo diawali ketegangan kedatangan sejumlah pasukan Brimbo dengan baju lengkap dan senjata laras panjang dengan kendaraan taktis merapat ke Gedung Bareskrim.
 
Kasus kematian J diindikasikan akan mengarah ke Ferdy Sambo. Pertama, Bharada E, sebagaimana disampaikan pengacaranya, Deolipa Yumara, membantah terjadi tembak-menembak dengan Brigadir J. Bahkan, meski tanpa menyebut nama, Deolipa mengatakan Bharada E disuruh atasan menembak. Bharada E sudah meminta perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dia pun siap menjadi justice collaborator dan akan mengungkap aktor intelektual kasus tersebut. Kedua, sopir Bharada RE dan ajudan istri Ferdy Sambo, Brigadir RR, ditahan Bareskrim Polri.
 
Bola sudah bergulir kencang menuju sasaran. Hendaknya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera menendangnya lebih cepat menuju gol, yakni terungkapnya dalang kasus pembunuhan Brigadir J. Pengungkapan secara terang benderang kasus yang menghebohkan jagat Republik ini akan membuktikan bahwa Polri Presisi adalah mantra yang menakutkan bagi para pelaku kejahatan, khususnya dari kalangan Polri, terlebih lagi yang berpangkat bintang.
 
Sebanyak 25 anggota Polri, tiga di antaranya berpangkat brigadir jenderal, sudah dimutasi karena diduga tidak profesional dalam pengusutan kasus kematian Brgadir J. Mereka pun harus bersiap menjalani proses hukum karena dugaan menghambat proses penyidikan (obstruction of justice).
 
Menjadi Bhayangkara sejati bukan ilusi. Dia akan lahir manakala berani menenggelamkan ambisi pribadi dari kekuasaan yang digenggamnya, sebagaimana dicontohkan Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso, Kapolri ke-5 Indonesia pada 1968-1971. Selain pernah menjabat Kapolri, Hoegeng juga pernah menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet dan Menteri Iuran Negara, serta Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia.
 
Orang-orang baik di negeri ini harus bersatu, termasuk di komunitas Bhayangkara. Jangan biarkan orang-orang jahat bersatu dan mengonsolidasikan kekuatan karena mereka akan mudah memenangi pertarungan. “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” kata sang teladan Hoegeng Iman Santoso. Siap, Jenderal. Tabik!
 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!